“In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes” – Benjamin Fraklin (1789) – tidak adayang pasti kecuali “Kematian” dan “Pajak”. Kutipan surat Benjamin Franklin kepada Sahabatnya di Perancis sangat popular.
“Kematian” adalah soal takdir – “setiap yang bernyawa akan mati (QS. Al Ankabut:57)” dan oleh Franklin ‘disejajarkan’ dengan “Pajak”. Jika “Pajak” sifatnya pasti, lantas apakah dengan keberadaan Tax Haven Countries maka kutipan the Founding Father of the USA tersebut menjadi terbantahkan? Ini yang menarik untuk dibahas.
Tax Haven Countries, istilah yang kerap muncul di saat Wajib Pajak menyusun strategi perencanaan pajak. Pajak yang sangat rendah bahkan nol, prosedur pendirian badan hukum yang super mudah, dan tingkat kerahasiaan keuangan yang tinggi bagi non-residen adalah faktor yang membuat Tax Haven Countries menarik. Namundemikian, penggunaan tax haven sering beririsan dengan isu penggerusan basis pajak dan pengalihan laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS), pencucian uang, dan pelanggaran kewajiban pelaporan lintas negara.
Penggunaan Special Purpose Vehicle (SPV) di yurisdiksi tax haven atau treaty hub lazim ditujukan untuk menekan tarif pajak melalui penurunan with holding tax (WHT), penundaan pengenaan pajak (deferral), pengelolaan hak kekayaan intelektual (IP), atau intra group financing.
Namun efektivitasnya kini jauh lebih terbatas. Kombinasi ketentuan CFC/deemed dividend, uji beneficial owner dan anti–treaty shopping (PPT/MLI), dokumentasi transfer pricing, pembatasan thin capitalization (DER 4:1), serta AEOI/CRS menjadikan struktur SPV hanya efektif bila ada substansi ekonomi nyata, keselarasan fungsi–aset–risiko, dan tujuan komersial yang jelas—bukan sekadar conduit.
Apa itu SPV dan Mengapa Ditempatkan di Tax Haven/Treaty Hub?
SPV adalah entitas yang didirikan untuk tujuan terbatas—menampung investasi, memegang aset/IP, atau memfasilitasi pembiayaan intra‑grup. Penempatan di tax haven (tarif rendah/ nol) atau treaty hub (jaringan P3B luas) biasanya ditujukan untuk menurunkan Withholding Tax (WHT) , menunda pengenaan pajak atas laba luar negeri, mengonsolidasikan kepemilikan aset, dan mempermudah exit/fund‑raising. Standar BEPS dan MLI kini membatasi penyalahgunaan P3B melalui Principal Purpose Test (PPT).
Penghalang Utama Efektivitas SPV (Kerangka Indonesia & Internasional)
a. CFC Rules / Deemed Dividend
Indonesia menerapkan aturan CFC yang memungkinkan dividen dari penyertaan pada badan luar negeri tertentu dianggap terutang pada saat tertentu (deemed). Skema parkir laba di SPV pasif menjadi kurang efektif karena deferral dapat dipatahkan.
b. Beneficial Owner & Anti–Treaty Shopping
Untuk menikmati tarif P3B, penerima penghasilan harus lulus uji beneficial owner dan substansi. SPV yang bertindak sebagai agen/nominee/conduit berisiko ditolak manfaat P3B. Implementasi MLI melalui PPT memungkinkan otoritas pajak menolak manfaat P3B jika tujuan utama transaksi adalah memperoleh penghematan pajak.
c. Transfer Pricing & Dokumentasi
Dokumentasi Master File, Local File, dan CbCR menjadi dasar evaluasi keselarasan fungsi‑aset‑risiko dengan imbal hasil. SPV dengan substansi rendah(kantor virtual, direktur nominee) rawan koreksi.
d. Thin Capitalization (DER 4:1)
Batas rasio utang terhadap modal 4:1 untuk tujuan penghitungan PPh membatasi praktik interest stripping melalui SPV pembiayaan. Perlu perencanaan struktur modal yang seimbang.
e. Kewenangan Anti‑Penghindaran (UU HPP)
UU HPP mempertegas kewenangan otoritas pajakuntuk menentukan kembali penghasilan/biaya yang tidak wajar (substance over form), termasuk penilaian atas transaksi dan aset tak berwujud.
f. AEOI/CRS (Keterbukaan Informasi)
Pertukaran informasi otomatis (CRS) sejak 2018 membuat kerahasiaan lintas‑negara jauh berkurang, sehingga struktur yang mengandalkan opasitas menjadi kurang efektif.
Kapan SPV Masih Efektif?
SPV masih dapat efektif bila syarat berikut terpenuhi:
• Substansi nyata di yurisdiksi SPV (direksi lokal aktif, staf, kantor, keputusan bisnis dibuktikan dengan board minutes).
• Tujuan komersial non‑pajak yang kredibel (ring‑fencing risiko, fund‑raising, konsolidasi IP, joint venture multi‑negara).
• Pemilihan yurisdiksi treaty hub yang kompatibel dengan jaringan P3B Indonesia (bukan sekadar tax haven murni).
• Kepatuhan transfer pricing, perjanjian intra‑grup yang jelas, dan DER ≤ 4:1.
• Mitigasi CFC dengan perencanaan arus kas dan kebijakan dividen yang selaras aturan.
Dua Skenario Ringkas & Dampak Pajak
A. Inbound: Investor Asing → SPV → PT di Indonesia
Tujuan umum: menurunkan WHT dividen dari tarif domestik ke tarif P3B (mis. 10%/5%). Syarat krusial: SPV adalah beneficial owner, lulus PPT, dan memiliki substansi memadai. Tanpa itu, manfaat P3B dapat ditolak dan WHT kembali ke tarif domestik.
B. Outbound: Perusahaan Indonesia → SPV di Tax Haven
Tujuan umum: menunda pajak atas laba luar negeri. Risiko utama: aturan CFC/deemed dividend memicu pengenaan pajak di Indonesia meski belum ada cash dividend. Efektivitas deferral rendah jika SPV pasif atau substansinya minim.
Mitigasi Praktis Sebelum Memilih SPV
1. Uji tujuan non‑pajak (dokumen bisnis, kontrak komersial, notulen).
2. Peta P3B: analisis tarif WHT hasil look‑through terhadap treaty hub realistis.
3. Uji beneficial owner & PPT: kontrol atas dana, hak menikmati manfaat, dan struktur kepemilikan yang transparan.
4. Substance plan: direksi, kantor, staf, biaya, dan keputusan strategis benar‑benar berada di SPV.
5. Transfer pricing & DER: dokumentasi MF/LF/CbCR, bench marking imbal hasil, DER ≤ 4:1.
6. CFC impact: evaluasi potensi deemed dividend dan waktu pengakuannya.
7. AEOI/CRS & kepatuhan lintas‑batas: pelaporan, KYC bank, dan governance dokumen.
Kesimpulan
SPV di tax haven/treaty hub masih dapat memberikan efisiensi pajak, terutama untuk inbound holding atau intra group financing, asalkan substansi ekonominya nyata dan tujuan bisnisnya kuat. Dengan keberlakuan PPT (MLI), uji beneficial owner, CFC/deemed dividend, dokumentasi transfer pricing, pembatasan DER 4:1, dan AEOI/CRS, struktur kosmetik berisiko tinggi terkoreksi. Pendekatan terbaik adalah tax planning berbasis substansi: mengoptimalkan operasi, rantai nilai, dan pendanaan sehingga manfaat pajak menjadi konsekuensi dari desain bisnis yang beralasan—bukan tujuan utama.
Penulis adalah Anggota Departemen Humas IKPI
Donny Danardono
Email: donnydanardono@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis
