Siap Bayar Pajak, Pedagang Barang Bekas Pasar Senen Minta Dilegalkan

IKPI, Jakarta: Para pedagang barang bekas atau thrifting di Pasar Senen kembali menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah. Mereka meminta legalisasi penuh atas kegiatan impor pakaian bekas, sekaligus menyatakan kesediaan untuk membayar pajak asalkan usaha mereka tidak lagi dianggap ilegal.

Aspirasi itu disampaikan langsung oleh Rifai Silalahi, perwakilan pedagang thrifting, saat menyampaikan keluhan kepada Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR di Kompleks Parlemen, Rabu (19/11/2025).

“Kami ini sudah puluhan tahun hidup dari thrifting. Ada sekitar 7,5 juta orang yang bergantung pada usaha ini. Kalau dimatikan, bagaimana nasib kami?” kata Rifai di depan pimpinan BAM DPR.

Menurut Rifai, bisnis thrifting bukan sekadar perdagangan barang bekas. Di banyak daerah, usaha ini sudah diwariskan lintas generasi dan menjadi sumber penghasilan utama keluarga.

“Dari Sabang sampai Merauke, kami hidup dari thrifting. Dari hasil jualan inilah kami sekolah dan bertahan hidup. Karena itu kami berharap pemerintah melegalkan usaha ini. Kami tidak keberatan bayar pajak,” tegasnya.

Ia menyebut selama larangan berlaku, pedagang justru terjebak pada praktik ilegal yang melibatkan oknum tertentu. Setiap kontainer, ujarnya, bisa dipungut hingga Rp 550 juta agar bisa lolos melalui jalur tidak resmi.

“Bayar pajak justru jauh lebih murah. Pajak itu jelas persentasenya. Masalahnya sekarang yang menikmati keuntungan justru oknum-oknum itu. Makanya bisa masuk sekitar 100 kontainer per bulan secara ilegal,” ungkapnya.

Rifai menilai pemerintah bisa memilih opsi selain legalisasi penuh, yakni menerapkan larangan terbatas (lartas) atau pemberian kuota impor. Dengan skema ini, impor tetap dikontrol tanpa mematikan mata pencaharian jutaan orang.

“Yang kami inginkan bukan kebebasan tanpa aturan. Silakan dibatasi, tapi jangan dimatikan. Kuota bisa jadi solusi,” tambahnya.

Wakil Ketua BAM DPR, Adian Napitupulu, menyambut aspirasi tersebut dengan menekankan pentingnya kajian menyeluruh sebelum pemerintah mengambil keputusan.

Ia memaparkan data riset global yang menunjukkan bahwa 67% generasi milenial dan Gen Z memilih thrifting bukan karena sekadar harga murah, melainkan karena pertimbangan lingkungan hidup.

“Satu celana saja membutuhkan 3.781 liter air bersih untuk diproduksi. Anak-anak muda sekarang menyadari dampak itu. Ada pergeseran cara pandang soal konsumsi,” jelas Adian.

Selain tren dalam negeri, Adian juga mengingatkan bahwa impor thrifting bukan hal asing di dunia. Beberapa negara bahkan menjadi importir besar, seperti:

• Amerika Serikat – Rp 2,19 triliun

• Belanda – Rp 2,76 triliun

• Rusia – Rp 2,184 triliun

“Bukan cuma Indonesia yang impor barang bekas. Banyak negara lain juga melakukan hal yang sama. Artinya ada ekosistem perdagangan global yang harus kita pahami,” ujarnya.

Adian menekankan bahwa keputusan pemerintah nantinya harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan lingkungan secara seimbang.

“Sebagai regulator, kita harus mengambil keputusan yang hadir dengan pemahaman komprehensif dan mewakili keadilan di masyarakat,” tutupnya. (alf)

id_ID