Pajak Gula: Solusi atau Beban Baru?

Darah kita manis, tapi kantong semakin pahit. Itulah mungkin yang dirasakan banyak orang ketika mendengar wacana penerapan pajak gula. Pemerintah berencana mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sebuah langkah yang digadang-gadang bisa menekan konsumsi gula berlebih dan mengurangi beban penyakit seperti diabetes dan obesitas. Tapi, benarkah kebijakan ini akan efektif di Indonesia, atau hanya sekadar menjadi pemasukan baru bagi negara tanpa dampak signifikan bagi kesehatan publik?

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, beralasan bahwa langkah ini bukan sekadar mencari tambahan pendapatan, melainkan investasi jangka panjang untuk kesehatan masyarakat. “Ini tentang mengoreksi perilaku konsumsi. Kita ingin masyarakat lebih sehat, mengurangi risiko penyakit tidak menular yang biaya pengobatannya justru sangat membebani negara,” jelas seorang pejabat Kementerian Keuangan yang enggan disebutkan namanya. Mereka merujuk pada kesuksesan negara-negara seperti Inggris, Meksiko, dan Thailand yang berhasil menurunkan konsumsi minuman manis melalui kebijakan serupa.

Namun, para ahli kesehatan masyarakat melihatnya dengan mata yang lebih skeptis sekaligus penuh harap. Dr. Ahmad Syafiq, Ph.D., Pakar Gizi Masyarakat, mengapresiasi niat baik pemerintah namun mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak bisa berdiri sendiri. “Pajak gula ibarat pil penurun demam, bukan obat penyembuh. Ia bisa menurunkan angka konsumsi dalam jangka pendek, tetapi tanpa edukasi nutrisi yang masif dan akses pada pilihan minuman yang lebih sehat, dampaknya bisa terbatas,” ujarnya. Ia menekankan bahwa masyarakat miskin justru bisa paling terdampak secara finansial tanpa benar-benar mengubah pola konsumsi mereka jika alternatif sehatnya tidak tersedia atau terlalu mahal.

Di sisi lain, pengamat ekonomi kebijakan publik, Faisal Basri, menyoroti sisi implementasi. “Tantangan terbesarnya ada pada pengawasan dan struktur tarif. Harus jelas, apa saja yang kena pajak, berapa besar tarifnya agar benar-benar berpengaruh pada harga, dan yang paling penting, menghindari manipulasi dari industri,” tegasnya. Ia khawatir, tanpa desain yang matang, industri akan mencari celah, misalnya dengan mengurangi volume kemasan tetapi mempertahankan harga, sehingga beban akhirnya tetap jatuh ke konsumen tanpa mengubah kebiasaan beli.

Lalu, akankah efektif? Jawabannya tidak hitam putih. Keberhasilan pajak gula sangat bergantung pada apa yang dilakukan dengan penerimaannya. Jika uang dari pajak ini dialokasikan kembali (earmarked) untuk program Kesehatan, seperti subsidi buah dan sayur, edukasi gizi di sekolah, atau fasilitas olahraga public maka dampaknya akan berlipat ganda. Namun, jika hanya masuk ke kas umum tanpa tujuan yang jelas, ia berisiko menjadi sekadar pajak regresif yang membebani rakyat kecil.

Menurut Penulis, pajak gula adalah sebuah langkah berani yang patut didukung, tetapi dengan catatan. Ia bukan solusi ajaib. Ia adalah sebuah puzzle kecil dalam gambar besar reformasi sistem pangan dan kesehatan kita. Tanpa komitmen kuat untuk membangun lingkungan yang mendukung pola hidup sehat, kebijakan ini hanya akan menjadi pemanis buatan di atas masalah yang jauh lebih pahit.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

id_ID