Eks Hakim Pajak Soroti Ketimpangan dan “Kepastian Semu” dalam Hukum Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) periode 1997–1999, Nuryadi Mulyodiwarno, melontarkan kritik terhadap lemahnya kepastian hukum dan ketimpangan dalam sistem perpajakan Indonesia.

“Kalau putusan dibacakan dua tahun setelah diputus, lalu di mana certainty principle?” sindir Nuryadi saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jumat (24/10/2025).

Dalam forum yang turut menghadirkan pakar pajak seperti Guru Besar Fakulyas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak periode (2010-2015) Catur Rini Widosari, dan Henro Susanto (Wakil Ketua Departemen Hukum IKPI), Nuryadi menilai praktik perpajakan di Indonesia sering kali hanya terlihat tertib secara administratif, namun jauh dari efisien dan pasti dalam penerapannya.

“Dulu di BPSP, putusan dibacakan sehari setelah ditetapkan. Sekarang? Bisa setahun lebih. Bagaimana mau disebut efisien dan pasti?” ujarnya.

Ia menyoroti lamanya proses keberatan dan sengketa pajak yang dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. “Sudah empat puluh tahun sistem keberatan tetap 12 bulan seperti tahun 1983. Katanya reformasi, tapi praktiknya stagnan,” tegasnya.

Tak hanya soal waktu penyelesaian perkara, Nuryadi juga menyoroti dasar hukum sejumlah kebijakan modern di bidang perpajakan yang menurutnya terlalu lemah. Ia mencontohkan sistem Coretax yang disebutnya belum memiliki payung hukum yang memadai. “Sistem sebesar itu seharusnya diatur undang-undang, bukan sekadar surat keputusan atau edaran. Ini contoh form yang mengalahkan substance,” ujarnya.

Pria yang pernah menjabat Kepala Pusat Pengolahan Data dan Informasi Perpajakan (1992–1997) itu menegaskan, perdebatan substance over form bukan hanya isu akademik, melainkan menyangkut arah kebijakan fiskal dan keadilan ekonomi. “Kalau aturan dibuat tanpa memahami substansi ekonomi, yang lahir hanyalah kepatuhan semu,” katanya.

Ia juga menyoroti ketimpangan sosial dalam kebijakan pajak yang masih berpihak pada kelompok kuat. “Rakyat kecil beli sarung kena PPN, sementara pengusaha besar mendapat insentif. Ini bukan sekadar soal regulasi, tapi moralitas fiskal,” ujarnya.

Nuryadi menekankan, reformasi pajak sejati harus dimulai dari perubahan paradigma. “Pajak bukan sekadar alat pungut, tapi alat pemerataan. Dan pemerataan tidak mungkin terjadi kalau hukum pajak sendiri tidak adil,” tegasnya.

Ia menyerukan agar para konsultan pajak tidak hanya terpaku pada teks peraturan, tetapi juga memahami makna ekonominya. “Kalau kita ingin memperbaiki penerimaan negara, jangan hanya bicara form. Dalami substansinya. Karena hukum pajak yang kuat hanya lahir dari niat yang adil,” pungkasnya. (bl)

id_ID