Apakah Menkeu Purbaya Merupakan Game Changer Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?

(Foto: DOK. Pribadi)

Tanggal 8 September 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh perombakan kabinet yang dilakukan oleh Presiden Prabawo, walau kita mengetahui bahwa perombakan kabinet merupakan hak prerogative seorang Presiden dan yang dirombak ada 5 menteri, namun yang menjadi perhatian atau kekagetan adalah penunjukkan Menkeu yang baru yaitu Purbaya Yudhi Sadewa yang menggantikan Sri Mulyani Indrawati.

Perombakan Kabinet diduga sebagai respon atas situasi beberapa minggu lalu, dimana Indonesia baru saja mengalami demo besar-besaran yang berujung aksi anarkis bukan hanya di Jakarta tetapi di beberapa daerah serta adanya penjarahan terhadap beberapa rumah pejabat, demo tersebut diduga dipicu oleh situasi ekonomi yang berat, inflasi meningkat, daya beli menurun, angka kemiskinan menunjukkan tren mengkhawatirkan, sikap dan gaya hidup wakil rakyat yang kurang simpatik. Kondisi yang tidak baik tersebut juga tercermin dalam penerimaan pajak yang sampai 11 Agustus 2025 yang baru mencapai 996,5 Triliun (45,5% dari target).

Gebrakan Menkeu Yang Baru :

Setelah dilantik Menkeu Purbaya langsung membuat gebrakan dengan rencananya mengucurkan dana simpanan Pemerintah di Bank Indonesia sebesar Rp. 200 triliun yang merupakan sisa anggaran lebih (SAL) untuk disalurkan ke Masyarakat melalui bank Himbara, dengan tujuan agar dana tersebut dapat disalurkan kepada dunia usaha untuk melumasi roda-roda perekonomian.

Setelah itu, Menkeu Purbaya membuat pernyataan yang cukup membuat adem suasana, bahwa Masyarakat tidak perlu kuatir jika Target Penerimaan Pajak 2025 tidak tercapai ! karena Pemerintah masih mempunyai ruang fiskal yang memadai untuk menjaga Pembangunan tetap berjalan. Terus terang pernyataan Menkeu Purbaya memberikan sedikit ketenangan, karena biasanya jika target pajak tidak tercapai, maka dunia usaha kuatir akan terus ditekan untuk dapat memenuhi target tersebut.

Kemudian hari ini tanggal 15 September 2025, Pemerintah melalui Menko Perkonomian Airlangga Hartarto mengumumkan 17 Paket stimulus ekonomi, yang 3 diantaranya merupakan paket kebijakan perpajakan, yaitu : diperpanjangnya PPh Final UMKM sampai dengan tahun 2029; Perpanjangan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor Pariwisata; perluasan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor padat karya.

Adapun detail dari 17 paket stimulus ekonomi tersebut yaitu :

8 (delapan) program akselerasi program stimulus ekonomi 2025 :

  1. Program magang lulusan perguruan tinggi (maksimal fresh graduate 1 tahun)
  2. Perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja di sektor terkait pariwisata
  3. Bantuan pangan periode Oktober-November 2025
  4. Bantuan Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Bukan Penerima Upah (BPU) transportasi online/ojol (termasuk ojek pangkalan, sopir, kurir, dan logistik) selama 6 bulan
  5. Program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan BPJS Ketenagakerjaan
  6. Program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum
  7. Percepatan Deregulasi PP28 (Integrasi Sistem K/L dan RD TR Digital ke OSS)
  8. Program Perkotaan (Pilot Project DKI Jakarta): peningkatan kualitas pemukiman dan penyediaan tempat untuk Gig Economy

4 (empat) program dilanjutkan di program 2026

  1. Perpanjangan jangka waktu pemanfaatan PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM Tahun 2029 serta Penyesuaian Penerima PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM
  2. Perpanjangan PPh 21 DTP untuk Pekerja di Sektor terkait Pariwisata (APBN 2026)
  3. PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Industri Padat Karya (APBN 2026)
  4. Diskon iuran JKK dan JKM untuk semua penerima Bukan Penerima Upah (BPU)

5 (lima) program penyerapan tenaga kerja

  1. Operasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih diharapkan menyerap tenaga kerja di atas 1 juta tenaga kerja pada Desember.
  2. Kampung Nelayan Merah Putih ditargetkan jangka panjang menciptakan 200.000 lapangan kerja.
  3. Revitalisasi tambak pantura seluas 20.000 hektar diharapkan menyerap 168.000 tenaga kerja.
  4. Modernisasi 1.000 Kapal Nelayan diharapkan menciptakan 200.000 lapangan kerja.
  5. Perkebunan Rakyat dengan penanaman kembali 870.000 hektar oleh Kementerian Pertanian yang diharapkan membuka 1,6 juta lapangan kerja dalam 2 tahun.

Paradigma Baru: Fokus pada Efektivitas Pengeluaran, Bukan Semata Penerimaan

Di tengah situasi sulit dan kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, Langkah Pemerintah mulai meluncurkan 17 paket stimulus ekonomi dan mendorong belanja Pemerintah lebih cepat maka diharapkan akan mengerakkan roda-roda perekonomian, ibarat sebuah roda yang macet, maka perlu pelumas agar roda tersebut bisa berjalan cepat, dan salah satu pelumas tersebut adalah pengeluaran Pemerintah, hal ini sesuai dengan Teori Keynesian.

Disini kehadiran Menkeu Purbaya seolah sebagai game changer yang mengubah pola permainan ekonomi Indonesia yang selama ini mengalami kelesuan, sebenarnya dalam perekonomian persepsi Masyarakat itu harus diubah menjadi optimis dan jika Menkeu Purbaya mampu mengubah persepsi tersebut, maka tepat jika beliau disebut sebagai game changer.

Selain mempercepat belanja Pemerintah, ada baiknya Pemerintah juga melakukan reorientasi dan refocusing bagaimana belanja Pemerintah menjadi lebih efektif tentunya disesuaikan dengan visi dan misi Presiden Prabowo yaitu Asta Cita 8.

Beberapa ekonom berpendapat, kunci utama pertumbuhan ialah pada penerimaan negara, dan mereka kurang memberikan porsi pada sisi pengeluaran. Padahal pengeluaran pemerintah yang efektif justru akan mendorong pertumbuhan, dan dengan pertumbuhan yang baik akan meningkatkan penerimaan pajak. Jadi sekarang harus dilakukan refocusing cara pandangnya.

Selama ini diskursus fiskal di Indonesia terlalu terfokus pada aspek penerimaan pajak. Pemerintah didorong untuk memperluas basis pajak, mengejar kepatuhan, bahkan memperkenalkan skema pajak baru seperti pajak karbon atau pajak kekayaan. Dorongan tersebut bukan hanya di tingkat Pusat, namun sampai ke Daerah, beberapa daerah menaikkan besarnya PBB P2 hingga ratusan dan ribuan % hal ini membuat rakyat marah. Yang harus dipikirkan kembali oleh pengambil kebijakan, peningkatan penerimaan pajak tidak akan membawa dampak nyata jika pengeluarannya tidak efisien dan tidak tepat sasaran.

Studi Bank Dunia dan IMF menunjukkan bahwa negara-negara dengan belanja publik yang efisien mampu menurunkan tingkat kemiskinan lebih cepat, walau penerimaan pajaknya relatif moderat.

Kenaikan target pembiayaan di APBN khususnya dari utang akhirnya akan membebani rakyat di masa mendatang, walau Pemerintah berargumen untuk mencapai target-target Pembangunan (Indonesia Emas) memerlukan utang baru dan % hutang masih relative aman (berdasarkan UU max 60% dari PDB), merujuk saat Pemerintah Jokowi membuat hutang yang besar dalam mendukung proyek infrastruktur besar-besaran mulai berbuah, tahun 2025 sebesar 552,9 Triliun digunakan untuk membayar hutang bunga  yang jatuh tempo. Tabel berikut ini menggambarkan kenaikan pembayaran bunga utang dalam 5 tahun terakhir :

Keterangan (dlm Triliun)202020212022202320242025
Bunga Utang314,1343,5386,3439,9499552,9

Kerangka Teori

Kebijakan fiskal adalah instrumen utama dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Dalam konteks ini, efektivitas pengeluaran negara dapat dianalisis melalui teori-teori berikut:

  1. Teori Fungsi Alokatif, Distribusi, dan Stabilitas (Musgrave, 1959) Ada 3 fungsi utama kebijakan fiskal: fungsi alokatif, distribusi dan stabilisasi.

Dalam konteks ini, pengeluaran negara yang efektif harus memenuhi fungsi distribusi dan alokasi secara simultan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan.

  1. Teori Pengeluaran Publik (Wagner’s Law vs. Keynesian Approach)
  • Wagner’s Law menyatakan bahwa pengeluaran publik akan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan permintaan akan layanan sosial.
  • Keynesian melihat pengeluaran pemerintah sebagai alat stimulus dalam situasi resesi atau krisis, untuk mendorong permintaan agregat dan penyerapan tenaga kerja.

Konteks Indonesia pasca-krisis 2025 lebih sesuai dengan pendekatan Keynesian, di mana pengeluaran negara perlu difokuskan pada sektor dengan multiplier effect tinggi terhadap konsumsi rumah tangga miskin.

  1. Teori Targeting dalam Kebijakan Sosial

The Principle of Targeting (van de Walle, 1998) menyatakan bahwa keberhasilan program sosial bergantung pada akurasi penargetan penerima manfaat (targeting accuracy). Kualitas data Adalah syarat penting

Efektivitas Belanja adalah Solusi Jangka Pendek & Panjang

Dalam situasi krisis fiskal seperti saat ini, menaikkan pajak bukan solusi cepat. Bahkan bisa kontraproduktif bila membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara itu, belanja yang efisien dan terfokus dapat memberi dampak langsung ke masyarakat, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

  1. Menjadi pioneer sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dalam situasi dunia usaha sedang tidak baik-baik saja.
  2. Reformasi Penganggaran Berbasis Kinerja

Belanja negara harus dikaitkan langsung dengan output dan outcome yang terukur. Bukan hanya “berapa besar anggaran disalurkan,” tetapi “berapa besar dampak sosial dan ekonomi yang dihasilkan.”

  1. Digitalisasi dan Transparansi Anggaran

Pemerintah harus mendorong sistem pelacakan digital untuk seluruh program bantuan.

  1. Pemangkasan Belanja Tidak Produktif

Evaluasi ulang belanja kementerian/lembaga, termasuk tunjangan yang diterima anggota DPR/DPRD, direksi BUMN, proyek infrastruktur yang mangkrak, serta belanja  pemerintah yang tidak mendesak. Uang tersebut lebih baik dialihkan ke sektor prioritas seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

  1. Penguatan Sistem Data Sosial-Ekonomi. Akurasi data penerima bantuan masih menjadi masalah utama.

Kesimpulan dan Rekomendasi : Momen untuk Reorientasi Fiskal

Kesimpulan :

  1. Penunjukan Menkeu Purbaya bisa dijadikan momentum perubahan kebijakan fiskal agar Pemerintah menjadi penggerak roda ekonomi, sampai saatnya dunia usaha sudah kembali bergairah.
  2. Demonstrasi besar-besaran Agustus 2025 harus dibaca sebagai alarm keras. Pemerintah tidak hanya dituntut untuk “mengumpulkan lebih banyak uang,” tetapi menggunakan setiap rupiah secara lebih bijaksana dan adil.
  3. Kemiskinan bukan hanya masalah kurangnya pendapatan, tapi juga kurangnya keberpihakan dalam alokasi anggaran, program stimulus ekonomi akan menunjukan keberpihakan Pemerintah kepada rakyat kebanyakan.
  4. Saatnya menggeser paradigma: dari mengejar penerimaan ke memastikan efektivitas pengeluaran. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat bangkit lebih cepat dan adil dari krisis ini.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pinno Siddharta
Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

 

 

id_ID