Yon Arsal Ungkap Sebab Tax Ratio Indonesia Terlihat Rendah, Padahal Realisasinya Lebih Tinggi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengungkap alasan mengapa tax ratio Indonesia kerap terlihat rendah dibandingkan negara lain. Menurutnya, angka tersebut tampak kecil karena perhitungannya belum memasukkan seluruh sumber penerimaan negara, seperti pajak daerah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan iuran jaminan sosial.

“Kalau kita membandingkan tax ratio dengan luar negeri tapi hanya menghitung penerimaan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, hasilnya tentu kurang lengkap. Padahal jika kita tambahkan PNBP, terutama dari sumber daya alam, serta pajak daerah, angkanya akan jauh lebih tinggi,” jelas Yon dalam Diskusi Publik CELIOS dikutip, Kamis (14/8/2025).

Ia memaparkan, pajak daerah berkontribusi sekitar 1–1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahun, sementara setoran BPJS juga masuk dalam kontribusi sosial. PNBP sendiri bersifat fluktuatif karena bergantung pada harga komoditas, namun kontribusinya pernah mencapai 3–5 persen dari PDB.

Yon menegaskan, ada sejumlah jenis pajak yang awalnya dikelola pusat namun kemudian dialihkan ke daerah, sehingga membuat tax ratio pusat terlihat mengecil meski realisasi pajak tidak menurun. Contohnya, sejak 2010 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak lagi menjadi penerimaan pusat, melainkan masuk ke kas daerah.

“Di daerah, ada pajak hiburan, BPJT (barang jenis tertentu), hingga pajak hotel yang sebenarnya bisa dikenakan PPN pusat. Tapi demi menghindari double taxation, kewenangannya diserahkan ke pemerintah daerah,” katanya.

Berdasarkan perhitungannya, tax ratio Indonesia tahun lalu tercatat 10,2 persen. Namun, jika ditambahkan PNBP dari sumber daya alam sekitar 1,5–2 persen serta pajak daerah 1,5 persen, maka angka nasional sesungguhnya berada di kisaran 13–13,5 persen per tahun.

“Kalau mau dibandingkan, posisi kita sebenarnya tidak terlalu tertinggal. Malaysia saja berada di kisaran 12–13 persen. Memang Vietnam lebih tinggi, 17–18 persen, tapi itu karena mereka memasukkan social security contribution sebesar 5,4 persen dalam struktur penerimaan negara, sebagaimana dicatat OECD,” ujar Yon.

Dengan penjelasan ini, ia berharap publik memahami bahwa tax ratio Indonesia tidak sepenuhnya rendah, melainkan perhitungannya yang selama ini belum mencakup seluruh sumber penerimaan. (alf)

 

id_ID