Migrasi Digital Startup Indonesia : Tinjauan Perencanaan Pajak di Balik Perpindahan ke Singapura

Tahun 2025 menjadi titik balik penting dalam lanskap ekonomi digital Indonesia ketika Traveloka salah satu perusahaan unicorn kebanggaan nasional secara resmi memindahkan kantor pusatnya ke Singapura. Keputusan ini tidak berdiri sendiri. Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, telah terjadi gelombang perpindahan yang sistematis oleh sejumlah perusahaan teknologi Indonesia ke negeri tetangga tersebut. Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan kini Traveloka, telah mengalihkan domisili hukum mereka ke Singapura.

Sebagai profesional di bidang perpajakan internasional yang telah menangani restrukturisasi lintas yurisdiksi selama lebih dari sepuluh tahun, penulis menilai bahwa fenomena ini merupakan refleksi dari meningkatnya persaingan antarnegara dalam merebut basis pajak di era ekonomi digital. Meskipun alasan yang sering dikemukakan adalah “akses terhadap pendanaan global” atau “perluasan pasar,” terdapat pula strategi perencanaan pajak yang kompleks dan sistematis di balik keputusan ini.

Struktur Perpindahan: Lebih dari Sekadar Relokasi Fisik

Polanya relatif seragam, perusahaan-perusahaan ini tetap menjalankan kegiatan usaha dan operasional di Indonesia. Traveloka, misalnya, masih mengelola sekitar 2.000 karyawan di kawasan BSD—namun mereka memindahkan entitas induk (holding company) ke Singapura. Ini bukan relokasi usaha dalam pengertian konvensional, melainkan perombakan struktur korporasi yang dirancang secara cermat.

Dalam dunia perpajakan internasional, ini disebut sebagai bentuk “migrasi korporasi yang didorong oleh motif pajak” (tax-driven corporate migration). Kegiatan usaha tetap di Indonesia, namun kedudukan hukum berpindah ke yurisdiksi yang memberikan beban pajak lebih ringan. Tidak mengherankan bila dalam laporan resmi Google-Temasek, sejumlah unicorn asal Indonesia kini dikategorikan sebagai entitas asal Singapura menunjukkan bahwa secara hukum dan administratif, migrasi ini telah rampung.

Pemilihan Waktu yang Tepat

Yang menarik, keputusan relokasi dilakukan pada saat perusahaan telah menunjukkan kinerja keuangan yang stabil dan mendekati rencana penawaran saham perdana (IPO). Dalam praktik perencanaan pajak, momentum ideal untuk migrasi korporasi adalah ketika perusahaan telah mencapai kematangan finansial namun belum melakukan peristiwa likuiditas besar seperti IPO atau merger dan akuisisi (M&A).

Singapura menawarkan banyak keunggulan bagi perusahaan yang ingin berkembang secara global. Sebagai pusat keuangan utama di Asia, negara ini memiliki sistem hukum yang berbasis common law, regulasi yang stabil, dan rekam jejak yang kuat dalam mendukung IPO besar. Domisili di Singapura mempermudah akses terhadap investor institusional dan memperkecil biaya pendanaan.

Skema dual listing yang memungkinkan pencatatan saham di Singapura dan Jakarta secara bersamaan juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan apabila perusahaan tetap berdomisili di Indonesia.

Perluasan ke Kawasan Regional

Secara geografis dan strategis, Singapura merupakan lokasi ideal untuk ekspansi ke kawasan Asia Tenggara. Dengan lebih dari 80 perjanjian pajak berganda (P3B), Singapura menyediakan struktur fiskal yang lebih efisien untuk ekspansi lintas batas tanpa terbebani pajak potong yang tinggi.

Selain dari sisi pajak, perusahaan juga mempertimbangkan aspek regulasi. Singapura dikenal dengan efisiensi birokrasi, kepastian hukum yang tinggi, serta kebijakan yang mendukung kegiatan usaha secara konsisten. Dalam industri teknologi yang sangat dinamis, stabilitas regulasi menjadi keunggulan tersendiri.

Jika kita telaah lebih dalam, motivasi perpindahan ini banyak dipengaruhi oleh pertimbangan perpajakan. Berikut adalah beberapa komponen utama strategi pajak yang digunakan:

1. Arbitrase Tarif Pajak Penghasilan Badan

Meskipun selisih tarif pajak antara Indonesia (22%) dan Singapura (17%) tampak kecil, lima persen perbedaan ini sangat signifikan bagi perusahaan yang memiliki laba tahunan besar. Misalnya, untuk laba sebesar US$100 juta, selisih ini berarti penghematan pajak hingga US$5 juta per tahun.

Singapura juga menawarkan berbagai insentif pajak, seperti Skema Pembebasan Pajak Startup (SUTE) yang memberikan pembebasan pajak penuh atas S$100.000 pertama dan 50% pembebasan atas S$200.000 berikutnya dalam tiga tahun pertama.

2. Optimalisasi Pajak atas Keuntungan Modal

Salah satu alasan terkuat untuk relokasi adalah karena Singapura tidak mengenakan pajak atas capital gains dari penjualan saham. Sebaliknya, Indonesia mengenakan pajak final sebesar 5% bagi entitas asing. Sebagai contoh, jika pendiri Traveloka menjual saham senilai US$1 miliar, mereka akan membayar US$50 juta di Indonesia, sedangkan di Singapura: nol.

3. Pengelolaan Pajak Dividen

Struktur holding di Singapura memungkinkan penghematan pajak atas dividen dari anak perusahaan di Indonesia. Berdasarkan P3B Indonesia–Singapura, tarif potongan pajak atas dividen dapat ditekan menjadi 10% atau 15%, tergantung persentase kepemilikan saham.

Selain dividen, repatriasi laba juga bisa dilakukan melalui pembayaran royalti, jasa manajemen, atau pinjaman antar perusahaan, dengan tarif pajak yang lebih optimal.

4. Struktur Pajak Internasional yang Lebih Kompleks

Dengan menjadi entitas hukum di Singapura, perusahaan memiliki fleksibilitas untuk menyusun struktur pajak internasional yang lebih efisien. Contohnya, untuk ekspansi ke negara-negara seperti Thailand atau Vietnam, repatriasi laba melalui Singapura akan dikenakan pajak lebih rendah dibandingkan langsung ke Indonesia.

Aset kekayaan intelektual (intellectual property) yang sering kali menjadi nilai utama dalam perusahaan teknologi dapat dialihkan ke entitas induk di Singapura. Anak perusahaan di Indonesia kemudian membayar royalti, sehingga laba dipindahkan dari yurisdiksi pajak tinggi ke yang lebih rendah.

Fungsi seperti manajemen risiko, perencanaan keuangan, litbang, hingga pembiayaan, dapat dikonsentrasikan di Singapura. Entitas di Indonesia akan membayar jasa atas fungsi-fungsi tersebut, menciptakan pengalihan laba secara sah.

Holding company di Singapura dapat memberikan pinjaman kepada anak perusahaan di Indonesia, sehingga pendapatan bunga dikenakan pajak lebih rendah. Dengan struktur yang sesuai dan kepatuhan terhadap ketentuan thin capitalization, skema ini menjadi mekanisme pengalihan laba yang efektif.

Meski strategi ini sah secara hukum, risiko tetap ada. Otoritas pajak Indonesia kini semakin canggih dalam mengidentifikasi dan menindak praktik penghindaran pajak yang agresif, termasuk melalui penerapan inisiatif BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) serta penguatan aturan transfer pricing.

Tren global saat ini mengarah pada pajak berbasis substansi nyata. Sekadar memindahkan alamat hukum tidak lagi cukup perusahaan harus menunjukkan aktivitas bisnis riil, keputusan strategis, dan kehadiran operasional yang valid di Singapura.

Respons Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia mulai merancang kebijakan baru, seperti pajak atas layanan digital, penguatan definisi beneficial ownership, serta revisi perjanjian pajak internasional. Langkah-langkah ini dapat mengurangi efektivitas strategi migrasi yang berbasis pajak.

Jika fungsi manajemen dan strategis berpindah ke luar negeri, Indonesia berisiko kehilangan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar terutama di bidang manajerial dan pengambilan keputusan.

Pusat pengambilan keputusan biasanya menjadi motor penggerak inovasi, kemitraan strategis, dan pengembangan ekosistem. Perpindahan ini berpotensi menghambat visi Indonesia menjadi pusat digital di kawasan.

Keberhasilan awal pelaku migrasi dalam mengoptimalkan struktur pajak dapat memicu perusahaan lain untuk mengikuti jejak serupa, memperluas skala eksodus digital dari tanah air.

Sebagai praktisi di bidang ini, penulis menyarankan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan langkah-langkah berikut:

Menurunkan tarif pajak penghasilan badan ke tingkat 17–19% serta memberikan insentif bagi sektor teknologi agar Indonesia tetap kompetitif.

Penerapan aturan Controlled Foreign Corporation (CFC), pelaksanaan penuh rekomendasi BEPS, serta penegakan transfer pricing secara ketat.

Menegosiasikan ulang P3B dengan memasukkan klausul anti-penyalahgunaan, persyaratan substansi minimum, dan mekanisme pertukaran informasi yang lebih efektif.

Menyusun paket insentif investasi yang menarik khususnya bagi perusahaan teknologi yang berkomitmen menjalankan kegiatan operasional substansial di Indonesia.

Fenomena perpindahan startup Indonesia ke Singapura harus menjadi peringatan serius bagi para pembuat kebijakan. Dalam ekonomi digital yang sangat mobile, negara tidak hanya perlu menarik investasi asing, tetapi juga mempertahankan perusahaan dalam negeri yang telah tumbuh.

Strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut memang sah dan dirancang dengan cermat. Namun, dengan arah kebijakan global menuju tarif minimum dan pembatasan agresivitas skema pajak, ruang untuk melakukan perencanaan pajak agresif semakin menyempit.

Indonesia berada pada titik krusial: melakukan reformasi untuk tetap relevan, atau kehilangan lebih banyak perusahaan unggulan nasional ke yurisdiksi yang lebih efisien secara pajak.

Akhirnya, isu ini bukan hanya soal penerimaan negara, tetapi tentang kemampuan Indonesia dalam membina dan mempertahankan perusahaan inovatif yang akan menjadi pendorong transformasi ekonomi di masa depan.

Penulis adalah Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan

DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL

Email : wistonmlg@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

id_ID