Pada 27 Maret 2025, para pemikir, pembuat kebijakan, dan praktisi perpajakan internasional berkumpul di Brussels dalam acara CFE’s 2025 Forum yang mengangkat tema “Navigating Tax Transformation: From Compliance to Competitiveness”.
Forum ini bukan sekadar ajang diskusi teknis pajak, melainkan panggung bagi negosiasi kepentingan global yang berpotensi mengubah wajah sistem perpajakan dunia.
Dalam forum ini, penulis tampil sebagai pembicara kunci dan membahas dua isu strategis yang saat ini memecah arah kebijakan perpajakan global: potensi penarikan diri Amerika Serikat dari Two Pillars Solution yang dipelopori OECD/G20, serta masa depan UN Framework Convention on International Tax Cooperation yang digagas oleh PBB.
Penulis menggarisbawahi bahwa mundurnya AS dari Pilar 1 dan Pilar 2 bukan hanya soal geopolitik, tetapi soal nyawa konsensus global. Pilar 1, yang berupaya mendistribusikan kembali hak pemajakan ke negara-negara pasar, bergantung pada partisipasi negara-negara tempat induk perusahaan multinasional bermarkas dan banyak di antaranya ada di AS. Tanpa mereka, kesepakatan ini bisa karam sebelum sempat berlayar.
Pilar 2, yang mengusung Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan multinasional, pun menghadapi tantangan serupa. Negara-negara mungkin memilih bersikap wait and see termasuk Indonesia. Jika diterapkan secara sepihak tanpa dukungan AS, bukan mustahil terjadi retaliasi dan konflik ekonomi. Perang tarif bisa kembali menghantui dunia.
Sebagai alternatif, PBB mendorong lahirnya UN Framework Convention on International Cooperation in Tax Matters. Ambisinya jelas: membangun sistem perpajakan global yang lebih adil dan inklusif bagi negara-negara berkembang. Indonesia, bersama China dan Vietnam, termasuk pendukung inisiatif ini.
Namun, jalan ini tidak mulus. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan menentangnya dengan alasan tumpang tindih kebijakan dan potensi ketidakpastian regulasi. Mekanisme pengambilan keputusan berbasis mayoritas yang diusung PBB juga ditolak, karena dianggap melemahkan prinsip konsensus yang selama ini dijunjung tinggi dalam OECD.
Satu hal yang menarik dan perlu ditelaah lebih dalam adalah sikap Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mendukung OECD dan bahkan bercita-cita menjadi anggota penuh. Di sisi lain, Indonesia juga mendukung penuh kerangka kerja PBB, yang justru digagas sebagai tandingan OECD.
Apakah ini strategi jitu menjaga keseimbangan? Ataukah cerminan kegamangan dalam mengambil posisi? Yang jelas, Indonesia harus jeli membaca arah angin. Dunia sedang membentuk ulang aturan main perpajakan lintas negara.
Jika Indonesia tak menentukan posisi dengan cermat, bukan hanya kehilangan kesempatan memungut pajak dari ekonomi digital global, tetapi juga terjebak dalam sistem yang tidak menguntungkannya.
Saatnya Strategi, Bukan Sekadar Simpati
Forum di Brussels adalah pengingat bahwa pajak kini bukan hanya urusan fiskal, tetapi juga geopolitik. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara berkembang dan anggota G20, punya peluang untuk menjadi suara penengah yang menjembatani dua kutub kekuatan pajak global ini.
Namun untuk itu, dibutuhkan strategi yang tak hanya berbasis kepentingan jangka pendek, tetapi visi jangka panjang: bagaimana memastikan sistem perpajakan global yang adil, berkelanjutan, dan memberi ruang yang layak bagi negara-negara seperti kita. Dunia sedang menyusun ulang peta pajak global Indonesia tidak boleh sekadar jadi penonton.
Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)
Ruston Tambunan
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.