60 Tahun IKPI Dari Pendamping Wajib Pajak Hingga Pilar Penerimaan dan Kepatuhan Pajak Nasional

Di bulan Agustus yang termasuk bulan istimewa bagi bangsa Indonesia, tahun 2025 bertepatan dengan HUT 80 Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan di bulan yang sama ada kisah menarik yaitu bertepatan juga dengan 60 tahun HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Tidak terasa 60 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 27 Agustus 1965, atas prakarsa J. Sopaheluwakan, Drs. A. Rahmat Abdisa, Erwin Halim, dan A.J.L. Loing dan Drs. Hidayat Saleh, yang saat itu menjabat Direktur Pembinaan Wilayah, Direktorat Jenderal Pajak ditunjuk selaku ketua Kehormatan.

Setelah terbentuk di tahun 1965, diadakan Kongres IKPI pertama kali yaitu pada tanggal 31 Oktober 1975 di Jakarta dengan menyepakati nama organisasi menjadi Ikatan Konsulen Pajak Indonesia. Selanjutnya melalui Kongres tanggal 21 Nopember 1987 di Bandung, nama organisasi diubah menjadi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia yang disingkat dengan IKPI sampai saat ini. Dan pada Kongres Pertama tersebut dipilih Drs. A.R Abdisa sebagai ketua umum, sejak pertama kali berdiri IKPI sudah melakukan kongres sebanyak 12 kali, hal ini menunjukkan roda organisasi berjalan dengan baik, walau diakui pada saat Kongres ke-11 tahun 2019 Di Malang telah terjadi gesekan yang cukup keras, dimana beberapa anggota keluar dari IKPI dan mendirikan asosiasi sejenis, namun setelahnya IKPI semakin dewasa menyikapi riak-riak pesta demokrasi 5 tahunan ini.

Usia 60 tahun bukan usia pendek bagi sebuah asosiasi profesi, IKPI telah melewati perjalanan panjang yang sarat dengan dinamika, tantangan, dan pencapaian. Perayaan 60 tahun ini bukan hanya ceremony belaka, tetapi yang paling penting ialah ajang refleksi untuk menatap masa depan yang penuh tantangan, apalagi saat ini semua negara memasuki era ekonomi digital yang batas-batas negara menjadi tidak jelas (borderless) dan di sisi lain penerimaan pajak menyumbang sekitar 75% penerimaan negara.

Sebagai asosiasi Konsultan Pajak yang tertua, dan terbesar dari sisi jumlah anggota, IKPI telah memainkan peran yang sangat penting dalam menjalankan fungsinya, tidak hanya membantu wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, tetapi sebagai mitra strategis Pemerintah dalam mendukung penerimaan negara. Dengan peran yang sangat strategis tersebut IKPI sebagai tonggak utama di dalam meningkatkan kepatuhan sukarela, atau dengan kata lain IKPI sebagai garda terdepan dalam kepatuhan pajak secara nasional.

Mau tidak mau, kita harus menerima kenyataan bahwa perekonomian global telah mengalami transformasi besar-besaran, hal ini dipicu semakin berkembangnya artificial intelligence (AI), big data, dan blockchain. Ahli ekonomi dunia Joseph Schumpeter mengungkapkan teori creative destruction (penghancuran kreatif), suatu teori yang menjelaskan mengenai pembongkaran praktik-praktik lama demi membuka jalan bagi inovasi dan dipandang sebagai kekuatan pendorong kapitalisme.

Schumpeter membuat teori kehancuran kreatif sebagai inovasi dalam proses manufaktur yang meningkatkan produktivitas, menggambarkannya sebagai “proses mutasi industri yang terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, tanpa henti menghancurkan sistem ekonomi” yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru, namun prakteknya creative dectruction juga berkembang di bidang jasa dan teknologi bukan hanya di bidang manufaktur, dengan cara menawarkan produk atau jasa yang lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat, produk dan jasa tersebut dapat diakses secara real time tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu sehingga hal tersebut mengubah total lanskap perekonomian dan persaingan antar negara, negara yang tidak bisa mengantisipasi perubahan tersebut akan tertinggal dan mati.

Di sisi lain, isu-isu baru seperti ekonomi digital lintas negara, pajak karbon, dan perpajakan internasional (BEPS, transfer pricing, global tax minimum dan AEOI) menuntut konsultan pajak untuk memperluas kompetensi dan wawasan globalnya.

Keterbukaan informasi perbankan baik di dalam negeri maupun antar negara mau tidak mau akan membuka kotak pandora mengenai kerahasian data perbankan, isu mengenai kerahasiaan perbankan sudah bukan tembok tebal bagi wajib pajak dalam upaya menghalangi otoritas pajak untuk dapat mengakses informasi keuangan, sehingga sudah waktunya baik wajib pajak maupun konsultan pajak untuk meninggalkan cara pandang lama, aplikasi coretax yang diluncurkan DJP di awal tahun 2025 menjadi contoh nyata begitu transparannya data-data keuangan wajib pajak.

Semua hal tersebut membuat hal-hal yang awalnya tidak terbayangkan menjadi kenyataan, keterbukaan informasi lintas negara, batasan mengenai domisili / tempat usaha menjadi tidak relevan lagi, kesepakatan multilateral (minimum global tax) untuk membatasi penghindaran pajak semakin menutup peluang bagi wajib pajak melakukan penghindaran, walau terpilihnya Presiden Donald Trump sedikit mengerem kesepakatan tersebut, karena sebagai negara no 1 di bidang ekonomi Amerika Serikat tentu mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kesepakatan multilateral.

Pergeseran Peran Konsultan Pajak

Jika dahulu konsultan pajak identik dengan perhitungan, penyusunan laporan, serta pelaporan perpajakan dan kepatuhan administrative, maka dengan semakin dimudahkannya adminstrasi perpajakan ada kecenderungan wajib pajak lebih memilih untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan perubahan lanskap system perpajakan tersebut, maka peran konsultan pajak dituntut menjadi penasihat strategis (strategic advisor) bagi dunia usaha, membantu klien tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga mampu mengelola risiko pajak dalam konteks bisnis yang lebih luas.

Sehingga agar tetap eksis maka seorang konsultan pajak harus berubah dari sekedar compliance adviser menjadi business partner yang mendukung keputusan manajemen dan strategi perusahaan, dalam hal ini multi disiplin ilmu menjadi prasarat utama agar seorang konsultan pajak bisa berperan sebagai business partner.

Di tengah kompleksitas system perpajakan di Indonesia (malah di klaim sebagai system perpajakan paling rumit sedunia oleh salah seorang pejabat), maka integritas dan profesionalisme menjadi pondasi yang tidak bisa ditawar lagi. Seorang konsultan pajak tidak boleh dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari celah untuk mengurangi kewajiban perpajakan (baik tax planning apalagi tax evasion) tetapi justru harus menjadi penjaga etika dan keadilan perpajakan, dengan menjunjung tinggi kode etik profesi, maka seorang konsultan pajak akan semakin dihormati tidak hanya oleh klien, tetapi juga oleh publik dan pemerintah.

Sebagai mitra strategis pemerintah, IKPI tidak hanya membantu Pemerintah dalam mengumpulkan pundi-pundi pajak negara melalui peran meningkatkan kepatuhan sukarela, namun IKPI harus juga menjadi mitra yang sejajar dan jika perlu mengingatkan Pemerintah secara professional dan sesuai keilmuannya mengenai keadilan, kepastian hukum, dan juga menjaga ekosistem perpajakan yang sehat, walaupun di sisi lain payung hukum setingkat Undang-Undang untuk profesi Konsultan Pajak masih menemui jalan yang terjal, dalam hal ini seharusnya Pemerintah melihat profesi konsultan pajak menjadi profesi yang harus dilindungi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, karena perannya yang sangat vital bagi penerimaan negara.

Visi dan Harapan 60 Tahun ke Depan

Tentunya perjalanan yang cukup Panjang yang telah dilalui oleh IKPI menjadi bahan renungan untuk melihat visi dan harapan 60 tahun ke depan agar tujuan para founding father Indonesia yaitu menjadikan rakyat Indonesia mencapai adil dan Makmur segera terwujud, ada beberapa arah yang besar dan strategis yang harus ditempuh oleh setiap asosiasi profesi konsultan pajak di Indonesia, antara lain :

1. Penguatan kompetensi, sertifikasi dan integritas

Sumber daya manusia di profesi konsultan pajak harus terus diperbaharui agar mampu menghadapi kompleksitas perpajakan domestic dan juga global termasuk integritasnya.

2. Kolaborasi dengan Pemerintah khususnya DJP

Konsultan pajak yang menjadi mitra strategis, harus memaknai nya dalam perspektif mitra strategis yang aktif dan positif, artinya mendukung penerimaan negara dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan juga menjaga ekosistem yang kondusif.

3. Adaptasi teknologi khususnya artificial intelligent

Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas khususnya di bidang AI, big data, dan system perpajakan digital dengan tujuan memberikan layanan yang lebih efektif.

4. Membangun kepercayaan publik

Citra profesi harus ditingkatkan melalui integritas dan profesionalisme, seorang konsultan pajak tidak boleh menjadi bemper bagi klien nya yang tidak patuh, dia harus berdiri di posisi tengah untuk mengingatkan pentingnya kepatuhan sukarela sesuai peraturan yang berlaku.

Jika diibaratkan sebagai bangunan besar, maka periode enam puluh tahun pertama adalah pondasinya, enam puluh tahun ke depan adalah kesempatan untuk menjadikan profesi konsultan pajak bukan hanya sebagai penghitung angka-angka, tetapi menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) baik posisinya sebagai mitra strategis bangsa dalam membangun keadilan pajak dan kemandirian ekonomi Indonesia juga sebagai intermediari wajib pajak.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta

Email: Pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

id_ID