Menko Airlangga Tanggapi Viral Seruan Boikot Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, memberikan tanggapan singkat mengenai seruan boikot pajak yang ramai beredar di media sosial terkait dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Menurutnya, itu merupakan aspirasi dari masyarakat di negara demokrasi, yang harus juga dihargai.

“Ada yang setuju, ada yang tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dan itu lah demokrasi,” kata Airlangga saat ditemui wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis malam (19/12/2024).

Sekadar informasi, seruan boikot pajak ini sempat viral setelah akun @salam4jari mengunggah cuitannya di platform X pada 21 November 2024 yang menyarankan agar masyarakat tidak membayar pajak sebagai bentuk protes terhadap kenaikan PPN.

“Jika PPN dipaksakan naik 12%, mari kita boikot bayar pajak. Jadi pemerintah kok bisanya cuma malakin rakyat,” tulis akun tersebut.

Pada 18 Desember 2024, akun yang sama kembali mengunggah ulang cuitannya dengan tambahan kalimat, “Ada ide untuk boikot pemerintah?” Cuitan ini mendapat respon besar dari pengguna media sosial, dengan lebih dari 6.700 pengguna yang me-retweet dan 31 ribu yang menyukai postingan tersebut.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih untuk tidak memberikan komentar ketika ditanya wartawan mengenai seruan boikot pajak. Sri Mulyani, yang baru saja menghadiri rapat terkait anggaran di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menghindari pertanyaan yang berhubungan dengan protes kenaikan PPN. Saat keluar dari rapat, Sri Mulyani hanya memberikan jawaban singkat mengenai topik lain yang dibahas dalam rapat tersebut, seperti penambahan anggaran kementerian dan lembaga (K/L) pada tahun 2025.

Seperti diketahui, pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan kenaikan tarif PPN meskipun kebijakan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat, anggota DPR, dan ekonom. Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% rencananya akan diterapkan pada tahun depan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan negara.

Sementara itu, seruan boikot pajak ini terus menjadi perbincangan hangat di media sosial, menunjukkan adanya ketidakpuasan di kalangan sebagian masyarakat terkait kebijakan pemerintah tersebut. (alf)

Ratusan Poster Tolak Kenaikan PPN 12% Hiasi Kawasan Taman Aspirasi

IKPI, Jakarta: Ratusan demonstran dari berbagai elemen masyarakat menggelar aksi protes menentang rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Aksi tersebut berlangsung di kawasan Taman Aspirasi, tepatnya di halaman Plaza Barat Laut Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis petang.

Para demonstran yang berasal dari kelompok perempuan, mahasiswa, generasi muda (Gen-Z), hingga K-Popers tersebut membawa beragam poster dengan kritik keras terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu poster menyoroti ketimpangan antara tingginya tarif pajak dengan rendahnya upah rata-rata pekerja di Indonesia. “Pajak tertinggi se-ASEAN, upah terendah No.5 di dunia. Dimana otaknya?” demikian bunyi salah satu poster yang dibawa demonstran.

Poster lainnya mengkritik kebijakan kenaikan PPN sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatan negara. Demonstran menilai bahwa seharusnya pemerintah mencari sumber pendapatan alternatif, seperti melalui pengesahan RUU Perampasan Aset. “Negara butuh uang cepat? Perampasan aset solusinya! #TolakPPN12%,” tulis poster yang turut menampilkan gambar Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Ada juga poster yang menanggapi kebijakan tersebut dengan cara kreatif, mengadaptasi lirik lagu populer dari Nadin Amizah berjudul “Semua Aku Dirayakan,” yang disadur menjadi “Semua aku dipajakkan,” sebagai bentuk sindiran terhadap kebijakan pajak yang dinilai memberatkan masyarakat.

Pemerintah sebelumnya mengumumkan bahwa kenaikan PPN 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendongkrak pendapatan negara.

Namun, meskipun alasan kenaikan PPN telah dijelaskan, protes dari berbagai kelompok masyarakat tetap mencuat, menunjukkan ketidakpuasan atas kebijakan tersebut. Para demonstran berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan tersebut sebelum implementasi penuh pada tahun depan. (alf)

Muhammadiyah Minta Pemerintah Kaji Ulang Kenaikkan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, menyampaikan keprihatinannya terkait rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 mendatang. Haedar meminta agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan tersebut dan menekankan pentingnya dasar keadilan sosial dalam setiap kebijakan yang diterapkan, terutama yang menyangkut pajak.

Hal ini diungkapkan Haedar saat ditemui oleh wartawan seusai acara Dies Natalis Universitas Gadjah Mada (UGM) di Grha Sabha Pramana, Sleman, pada Kamis (19/12/2024). Haedar menegaskan bahwa setiap kebijakan, termasuk yang berkaitan dengan pajak, seharusnya memperhatikan aspek keadilan sosial, agar tidak memberatkan masyarakat yang berada pada kelas menengah ke bawah.

“Perlu betul-betul dikaji ulang ya, sehingga kebijakan pajak itu juga ya memperhatikan aspek keadilan sosial,” ujar Haedar. Pernyataan tersebut mencerminkan keprihatinannya terhadap potensi dampak negatif dari kenaikan PPN yang dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya kalangan kelas menengah dan usaha kecil.

Haedar menyadari bahwa pajak selalu menjadi topik yang sensitif, terutama terkait dengan perusahaan berskala kecil dan masyarakat kelas menengah yang rentan terhadap perubahan kebijakan pajak. Oleh karena itu, ia berharap agar kebijakan soal pajak tidak hanya memikirkan sisi pendapatan negara semata, tetapi juga tidak menghambat semangat kemajuan masyarakat Indonesia yang lebih luas.

Rencana kenaikan PPN menjadi 12% ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, pemerintah memastikan bahwa kenaikan ini tidak berlaku untuk seluruh barang dan jasa, melainkan hanya untuk barang dan jasa tertentu yang telah ditentukan. Meskipun demikian, kebijakan ini diperkirakan akan berdampak pada daya beli masyarakat dan biaya hidup, terutama bagi kalangan menengah ke bawah yang menjadi bagian terbesar dari konsumen.

Seiring dengan persiapan pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini pada awal tahun depan, sejumlah kalangan, termasuk Haedar Nashir, berharap agar evaluasi lebih lanjut dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Pemerintah pun diharapkan dapat menyusun kebijakan pajak yang benar-benar adil dan merata, dengan mempertimbangkan berbagai lapisan masyarakat yang ada di Indonesia.

Dengan adanya pernyataan tersebut, Haedar mengingatkan pentingnya pemerintah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dan melakukan perhitungan matang sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. Sebagai pemimpin organisasi besar seperti Muhammadiyah, Haedar selalu menekankan agar segala kebijakan yang diambil pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan sosial dan pemerataan ekonomi, sehingga tidak ada golongan masyarakat yang merasa dirugikan.

Menurutnya, kenaikan PPN ini merupakan salah satu kebijakan penting yang akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memastikan keberlanjutan ekonomi negara tanpa menambah beban bagi rakyat kecil. (alf)

IKPI Pengda Sumbagteng Kunjungi KPP Pratama Bukittinggi: Optimalisasi Sinergi Edukasi WP

IKPI, Jakarta: Di tengah seminar dua hari yang digelar di Bukittinggi, Sumatera Barat, Pengurus Daerah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) melakukan kunjungan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bukittinggi pada Selasa, 17 Desember 2024. Kunjungan tersebut disambut hangat oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bukittinggi, Rahmad Siswoyo.

Acara ini dihadiri Ketua Pengda IKPI Sumbagteng Lilisen dan jajaran pengurus, Narpika Yendra (Sekretaris), Karyono (Bendahara), dan Anggota IKPI Cabang Padang Puspita Marchianggita. Dalam suasana yang santai namun penuh kehangatan, diskusi mengalir tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh wajib pajak (WP) serta solusi yang bisa diambil untuk mengatasi kendala tersebut.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah)

Lilisen berharap agar sinergi antara IKPI dan KPP Pratama Bukittinggi dapat terus terjalin dalam bentuk edukasi kepada WP. Melalui sosialisasi mengenai peraturan perpajakan, baik yang sudah berlaku maupun yang terbaru, diharapkan pemahaman wajib pajak terhadap hak dan kewajiban mereka semakin meningkat.

“Pemahaman yang lebih baik akan meningkatkan kesadaran WP untuk lebih taat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan penerimaan pajak negara,” ujar Lilisen, Kamis (19/12/2024).

Pada kesempatan itu, Rahmad Siswoyo juga menyampaikan apresiasinya terhadap kunjungan IKPI Pengda Sumbagteng. “Kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua IKPI Sumbagteng, Ibu Lilisen, dan pengurus lainnya atas kunjungannya. IKPI adalah mitra strategis kami dalam mengedukasi dan mengasistensi wajib pajak agar lebih memahami hak dan kewajiban perpajakannya. Semoga sinergi ini dapat membantu meningkatkan kesadaran pajak yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan penerimaan pajak untuk negara,” kata Rahmad.

Rahmad menambahkan, pihaknya sangat terbuka terhadap masukan atau kritik yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan pelayanan KPP Pratama Bukittinggi. Diharapkan, melalui kolaborasi lebih lanjut antara KPP Pratama Bukittinggi dan IKPI Sumbagteng, semakin banyak WP yang memahami pentingnya pajak, serta dapat menjalankan kewajiban perpajakan mereka dengan baik.

“Pajak Kuat, APBN Sehat, Indonesia Sejahtera. Salam Satu Bahu,” kata Rahmad, seraya menegaskan Tagline Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (bl)

Tarif PPN Naik Jadi 12% pada 1 Januari 2025, Apa Dampaknya pada Biaya Transaksi Digital?

IKPI, Jakarta: Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN ini menimbulkan pertanyaan, apakah biaya transaksi menggunakan uang elektronik atau dompet digital (e-wallet) akan ikut meningkat?

Mengutip informasi dari Kementerian Keuangan, PPN adalah pajak tidak langsung yang dibayarkan oleh konsumen akhir, meskipun pajak tersebut disetorkan oleh pedagang atau penyedia layanan. Dalam konteks penggunaan uang elektronik, PPN dikenakan pada biaya layanan atau fee yang dikenakan oleh penyedia teknologi finansial.

Saat ini, PPN untuk layanan teknologi finansial seperti e-wallet sebesar 11 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/2022, yang berlaku sejak 1 Mei 2022. Misalnya, jika seorang pengguna melakukan top-up e-money sebesar Rp10 juta, biasanya akan dikenakan biaya jasa sekitar Rp500 hingga Rp1.500, tergantung penyedia layanan. Pada fee Rp500, PPN yang dikenakan saat ini adalah 11 persen, atau sekitar Rp55.

Namun, dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, biaya tambahan yang harus dibayar konsumen pun meningkat. Contohnya, jika transaksi belanja sebesar Rp100.000 dikenakan biaya layanan Rp5.000, maka PPN yang dikenakan akan naik menjadi Rp600 (dari sebelumnya Rp550). Begitu pula, untuk pembayaran tagihan sebesar Rp500.000 dengan biaya layanan Rp3.000, PPN yang dikenakan akan menjadi Rp360 (dari sebelumnya Rp330).

Meski demikian, pemerintah menjelaskan bahwa tarif PPN 12 persen tidak berlaku untuk barang-barang kebutuhan pokok penting. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa yang termasuk dalam kategori premium. Beberapa contoh barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN 12 persen antara lain:

1. Beras super premium
2. Buah-buahan premium
3. Daging premium
4. Ikan mahal seperti salmon dan tuna premium
5. Udang dan crustacea premium (king crab)
6. Jasa pendidikan premium
7. Jasa pelayanan kesehatan medis premium
8. Listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500–6.600 VA

Dengan demikian, meski biaya transaksi uang elektronik mungkin sedikit lebih mahal setelah kenaikan tarif PPN, kebutuhan pokok masyarakat tetap akan terhindar dari dampak langsung tarif pajak yang baru ini. Pemerintah pun memastikan bahwa kenaikan PPN ini ditujukan untuk barang dan jasa non-esensial serta barang premium yang konsumsi masyarakatnya relatif terbatas. (alf)

Mantan Dirjen Pajak Tegaskan Kenaikan PPN 12% Harus Disertai Transparansi dan Aturan Pendukung

IKPI, Jakarta: Seminar akademik terkait kebijakan pajak yang dihadiri oleh sejumlah pakar dan mahasiswa hukum menghasilkan diskusi menarik mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini dianggap membawa dampak positif sekaligus negatif terhadap perekonomian nasional.

Dirjen Pajak 2001-2006 Hadi Poernomo mengatakan, peningkatan meskipun kenaikan PPN ini bertujuan meningkatkan rasio pajak dan pendapatan negara, implementasinya harus disertai transparansi dan peraturan pendukung yang jelas.

“Kenaikan ini bisa berdampak pada harga barang dan daya beli masyarakat. Namun, jika dilaksanakan dengan baik, kita dapat menurunkan beban pajak dalam jangka panjang,” ujarnya dalam diskusi akademik hasil kolaborasi antara Ikatan Konsultan Pajak Indonesia dengan Prodi Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Pelita Harapan (UPH), Rabu (18/12/2024).

Menurut pri yang akrab disapa Pung ini, tax ratio Indonesia yang stagnan di bawah 12% menunjukkan perlunya reformasi struktural dalam pengelolaan pajak. Dibandingkan dengan negara-negara OECD yang rata-rata memiliki tax ratio di atas 30%, Indonesia masih jauh tertinggal.

Pada kesempatan itu, Pung menekankan perlunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 yang belum maksimal. Ia menyatakan bahwa masih ada inkonsistensi dalam peraturan pelaksanaannya, seperti subdelegasi peraturan pemerintah kepada peraturan menteri yang seharusnya tidak terjadi.

“Undang-undang ini sudah ada sejak 2008, namun integrasi data perpajakan belum terealisasi sepenuhnya. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen lembaga terkait untuk menjalankan amanat undang-undang,” katanya.

Anggota Kehormatan IKPI ini juga menyoroti pentingnya transparansi untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan mencegah korupsi. Ia juga mengajak semua pihak untuk mendukung reformasi pajak yang berimbang antara kebijakan fiskal dan kebutuhan masyarakat.

“Tujuan akhirnya adalah Indonesia yang sejahtera, dengan sistem perpajakan yang adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Dengan waktu yang semakin dekat menuju implementasi kebijakan ini, Pung berharap pemerintah segera menyelesaikan regulasi pendukung serta meningkatkan literasi masyarakat mengenai manfaat dan dampak dari kenaikan tarif PPN ini. (bl)

Ekonom Sebut Tarif PPN 12% Dapat Berdampak pada Kenaikan Harga Barang Sehari-hari

IKPI, Jakarta: Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada tahun 2025 menuai kekhawatiran dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia mengungkapkan, kebijakan menaikkan PPN berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama barang-barang yang selama ini dianggap terjangkau.

Menurut Bhima, barang-barang seperti peralatan elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, hingga produk-produk sehari-hari seperti deterjen dan sabun mandi kemungkinan akan terpengaruh oleh tarif PPN yang lebih tinggi.

“Dengan tarif PPN 12%, barang-barang yang semula terjangkau bagi masyarakat kini bisa jadi lebih mahal. Bahkan barang-barang pokok seperti deterjen dan sabun mandi bisa terkena dampak. Ini bertentangan dengan narasi bahwa pajak hanya dikenakan pada barang orang mampu,” kata Bhima dalam siaran pers yang diterima Kamis, (19/12/2024).

Meskipun demikian, pemerintah menjelaskan bahwa beberapa komoditas tertentu, seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, akan diberikan tarif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1%, yang memungkinkan harga barang-barang tersebut tetap dikenakan tarif PPN 11% sepanjang tahun 2025. Namun, kebijakan tarif PPN 12% akan tetap berlaku untuk barang dan jasa lainnya.

Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menegaskan bahwa kebijakan PPN berlaku secara umum untuk semua barang dan jasa yang menjadi objek pajak, kecuali yang telah dikecualikan secara eksplisit oleh pemerintah.

“Pengelompokan barang dan jasa yang terkena tarif PPN sudah jelas. Mana yang terkena PPN 1%, mana yang DTP, mana yang dibebaskan. Semua barang dan jasa lainnya akan dikenakan tarif PPN 12%, kecuali yang sudah disebutkan dalam regulasi,” kata Susiwijono.

Terkait dengan isu barang mewah, yang sebelumnya disinggung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Susiwijono menegaskan bahwa tarif PPN 12% tetap akan berlaku untuk barang dan jasa secara umum, dengan pengecualian untuk barang dan jasa tertentu yang memenuhi kriteria mewah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022.

Meskipun kebijakan PPN 12% diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi negara, berbagai kalangan, terutama masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, masih meragukan dampak sosial dan ekonominya. Banyak yang khawatir akan dampak kenaikan harga barang sehari-hari, yang dapat membebani daya beli masyarakat, terlebih bagi mereka yang sudah menghadapi kesulitan ekonomi.

Penerapan tarif PPN 12% ini juga menuai kritik dari sejumlah ekonom yang menilai kebijakan tersebut tidak konsisten dengan tujuan awal pemerintah yang semula ingin mengenakan PPN hanya pada barang mewah. Kini, rencana tersebut berubah menjadi kebijakan yang mencakup hampir semua barang dan jasa yang dikenakan pajak, dengan beberapa pengecualian.

Pemerintah telah menegaskan bahwa barang-barang tertentu seperti bahan pangan sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, serta transportasi akan tetap dikecualikan dari tarif PPN 12%. Namun, pengecualian tersebut diperkirakan akan semakin terbatas, mengingat bahan pangan premium dan jasa pendidikan serta kesehatan mewah akan segera dikeluarkan dari daftar pengecualian tersebut. (alf)

Penyelenggaraan Diskusi Coretax IKPI Dihadiri 1.500 Peserta Hybrid

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengelar diskusi sistem administrasi perpajakan terbaru (Coretax) di Hotel Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Kamis (19/6/2024). Sistem ini rencananya akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2025.

Ketua Panitia Diskusi Rindi Elina, mengatakan kegiatan yang diselenggarakan secara hybrid, baik online maupun offline, dihadiri oleh lebih dari 1.500 peserta. Mereka nampak terlihat antusias mengikuti pembahasan tentang modernisasi administrasi perpajakan tersebut.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Diungkapkan Rindi, Coretax merupakan terobosan dalam pengelolaan pajak yang bertujuan untuk menyederhanakan dan memodernisasi proses administrasi perpajakan.

“Sistem ini mengintegrasikan berbagai proses inti, seperti pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan. Dengan penerapan Coretax, pemerintah berharap dapat meningkatkan efisiensi administrasi dan mendongkrak rasio pajak menjadi 11,5% dari produk domestik bruto (PDB),” ujarnya di lokasi acara.

Pada kesempatan ini, IKPI menghadirkan beberapa narasumber, sepertu Dian Anggraini dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Ajib Hamdani dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suwardi Hasan dari IKPI serta Jemmi Sutiono (moderator) yang juga dari IKPI.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Para narasumber memberikan pemaparan komprehensif mengenai pentingnya penerapan Coretax dan dampaknya terhadap dunia usaha, profesional, serta masyarakat umum,” katanya.

Rindi juga menyampaikan apresiasinya kepada seluruh peserta dan narasumber. “Terima kasih kepada semua pihak, baik yang hadir langsung maupun secara online, termasuk melalui Zoom dan YouTube. Partisipasi aktif ini menunjukkan besarnya antusiasme masyarakat untuk memahami kebijakan baru ini,” ujarnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Menurutnya, acara ini juga bertujuan untuk mendorong wajib pajak, pengusaha, dan profesional agar mendukung implementasi Coretax. IKPI berharap masyarakat dapat secara sukarela berpartisipasi dalam sistem ini guna mendukung tujuan pemerintah menciptakan administrasi perpajakan yang lebih efisien dan transparan.

“Kami optimistis Coretax akan menjadi langkah maju bagi reformasi perpajakan di Indonesia,” katanya.

Sekadar informasi, pada kesempatan tersebut IKPI juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan lima rekanan, yakni: Pramita laboratorium, Prodia Laboratorium, STPI (Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia), Aston Kartika Grogol dan Pajak.com. (bl)

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

 

IKPI Hargai Kebijakan PPN 12%: Dukungan Menuju Kemandirian Bangsa Melalui Pajak yang Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyikapi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan itu dinilai sebagai perubahan dan langkah penting dalam memperkuat sistem perpajakan Indonesia ke depan, untuk Menuju Kemandirian Bangsa Melalui Kebijakan Pajak yg berkeadilan.

Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI, Pino Siddharta, dalam konferensi persnya di Hotel Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Kamis (19/12/2024) menyampaikan, kenaikan PPN ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, yang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia, IKPI menghargai keputusan kebijakan Pemerintah ini, dengan catatan bahwa pelaksanaannya harus memperhatikan keseimbangan antara kewajiban pajak dan kemudahan bagi wajib pajak, serta program penyanggah ekonomi berupa stimulus ekonomi/fiskal dijalankan dengan baik dan tepat.

Pino juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi perubahan tersebut. Menurutnya, sosialisasi yang lebih intensif akan sangat membantu masyarakat dan dunia usaha dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan tarif PPN.

“Sebagai asosiasi yang memiliki peran strategis dalam pendampingan pajak, kami akan terus mendukung implementasi kebijakan ini dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada wajib pajak, agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada,” kata Pino.

Ia juga menekankan bahwa kenaikan PPN ini diharapkan dapat mendorong perbaikan struktur perpajakan di Indonesia, menciptakan iklim usaha yang lebih adil, serta memberikan kesempatan untuk memajukan sistem pelayanan publik melalui pendapatan negara yang lebih optimal.

Dengan adanya peningkatan tarif PPN, IKPI berkomitmen untuk mendampingi pemerintah dalam proses transisi ini, serta terus berperan aktif dalam memastikan bahwa kebijakan perpajakan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.

Kenaikan PPN yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 ini diharapkan dapat menjadi tonggak baru dalam memperkuat fondasi ekonomi Indonesia, mengingat potensi peningkatan penerimaan negara yang lebih besar.

IKPI sebagai organisasi yang memiliki jaringan luas di kalangan konsultan pajak, akan tetap mendukung penuh implementasi kebijakan ini dengan memberikan konsultasi dan edukasi yang diperlukan kepada masyarakat dan dunia usaha. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

Wimboh Santoso Soroti Pentingnya Peningkatan Jumlah Pekerja untuk Meningkatkan Rasio Pajak Indonesia

IKPI, Jakarta: Mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengingatkan bahwa ambisi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan jumlah pekerja di negara ini. Dalam acara Economic and Financial Report 2014-2024 yang digelar di Jakarta, Wimboh menekankan pentingnya peran pekerja dalam mendorong pendapatan negara melalui pajak.

Menurut Wimboh, pajak yang diterima negara sebagian besar berasal dari mereka yang bekerja. Semakin banyak pekerja, semakin tinggi pula kontribusi pajak yang dapat diperoleh negara. “Orang bekerja itu bayar pajak, demand menjadi tinggi,” ungkapnya.

Namun, Wimboh juga menegaskan bahwa rasio pajak yang lebih tinggi sulit tercapai jika angka pengangguran tetap stagnan atau bahkan meningkat. “Kalau kita mengatakan tax ratio, tax ratio, kalau penganggurannya stagnan atau naik, emang mungkin? Enggak mungkin,” tegasnya.

Pentingnya penciptaan lapangan kerja juga berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Menurutnya, tanpa peningkatan jumlah pekerja, daya beli akan tetap rendah, yang pada gilirannya mempengaruhi aktivitas ekonomi, termasuk penjualan barang dan jasa.

“Orang kalau enggak (bekerja), belanjanya enggak akan nambah. Orang jual barang-barang, enggak laku,” jelasnya.

Wimboh menambahkan bahwa pembangunan ekonomi harus memperhatikan dampak berganda atau multiplier effect, yang salah satunya adalah penciptaan lapangan kerja. “Apapun yang kita lakukan itu, multiplier, penciptaan tenaga kerja, ada enggak? Itu yang harus selalu dicek, apapun,” katanya.

Dengan demikian, bagi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak dan memperkuat daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja yang signifikan menjadi kunci utama dalam upaya memperbaiki kondisi ekonomi negara. (alf)

id_ID