Pengusaha Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, Dampaknya Bisa Matikan Industri Pariwisata

IKPI, Jakarta: Tarif pajak hiburan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mendapat protes. Mulai dari pelaku industri hingga pengacara kondang Hotman Paris dan penyanyi dangdut Inul Daratista, yang juga pemilik tempat karaoke Inul Vizta.

Inul protes karena menganggap tarif yang ditetapkan dalam UU HKPD minimal sebesar 40% dan paling tinggi 75% naik pesat dari yang selama ini ia ketahui sebesar 25%. Hotman juga menilai besaran tarif baru itu bisa mematikan industri di sektor pariwisata. Hotman diketahui pernah menjadi pemegang saham Hollywings.

“Pajak hiburan naik dari 25% ke 40-75% sing nggawe aturan mau ngajak modyar tah!!!!,” tulis Inul, dikutip dari akun X @daratista_inul, Senin (15/1/2024).

Lantas bagaimana ketetapan tarif pajak hiburan sebenarnya yang diatur dalam UU HKPD dan ketentuan sebelumnya?

Merujuk pada UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022, pajak hiburan dikategorikan sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Dalam Pasal 58 UU itu ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10%. Namun, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. PBJT dalam UU itu dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota.

Dibanding ketentuan lama yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009, pajak hiburan juga merupakan jenis pajak kabupaten/kota. Namun, tidak menggunakan istilah PBJT dalam pengelompokannya seperti di UU HKPD.

Pasal 45 UU PDRD hanya menyebutkan, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%, tanpa menyebutkan batas tarif minimal seperti di UU HKPD.

Penetapan batas tarif minimal pajak hiburan dalam UU HKPD inilah yang menurut Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA Fajry Akbar membuat berat pelaku usaha di sektor hiburan, dan membuat bingung daerah untuk menentukan tarif pajak hiburan yang sesuai dengan iklim industri dan kondisi perekonomian daerah pemungut.

“Karena ada ketentuan minimum 40% di UU HKPD jadi pada bingung semua, pengusaha teriak terlalu tinggi tapi Pemda-pun tak bisa berbuat banyak karena ditentukan dalam UU HKPD ditentukan minimum 40%,” ujar Fajry seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (16/1/2024).

Karena diatur oleh UU besaran tarifnya, Fajry menekankan maka juga membuat penyesuaian tarif minimal pajaknya menjadi sulit diubah. Opsi yang ada untuk perubahan hanya judicial review di Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah asosiasi yang terdampak aturan itu.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono menambahkan, opsi yang harus ditanggung daerah untuk menyesuaikan tarif sesuai kondisi perekonomian pun menjadi sangat minimum, bahkan hanya tersisa pembebasan pengenaan pajaknya sama sekali atau beban tarif 40%.

“Besaran tarif 40%-75% itu merupakan keputusan politis antara DPR dan Pemerintah pusat sesuai Pasal 23A UUD 1945,” tegas Prianto.

“Kalau pemerintah daerah (kabupaten/kota) tidak setuju, mereka tidak bisa menurunkan range tarif tersebut karena sudah ada pengaturannya di UU HKPD. Paling tidak, mereka (bupati/walikota dan DPRD) dapat sepakat untuk tidak menerapkan pajak hiburan,” ungkapnya.

Menurut Prianto, jika pemda tertekan untuk mengambil keputusan penerapan tarif minimal 40% maka mereka harus mencari substitusi untuk mengisi pendapatan asli daerah (PAD) di masing-masing kota/Kabupaten. Pertimbangannya hanya dua, pajak berfungsi budgetair untuk meningkatkan penerimaan APBN/APBD, dan/atau fungsi regulerlend untuk mengatur perilaku masyarakat.

“Memang tarif tersebut cukup tinggi sehingga berpotensi penurunan konsumsi masyarakat atas hiburan. Akan tetapi, tarif tersebut hanya berlaku untuk jasa hiburan berupa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Dengan kata lain, tarif pajak hiburan selain di atas masih tetap 10% paling tinggi,” tegasnya. (bl)

MK Kembali Sidangkan Uji Materi Pemisahan DJP

IKPI, Jakarta: Sangap Tua Ritonga yang merupakan konsultan pajak kembali mengikuti sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 155/PUU-XXI/2023 ini mempersoalkan Pasal 5 dan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Hadir langsung di Ruang Sidang Panel MK, ia menyebutkan beberapa yang diperbaiki pada permohonannya, yaitu kedudukan hukum yang telah disertai dengan uraiannya; kualifikasi kerugian konstitusional Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan; pokok-pokok permohonan tentang penempatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan.

“Hal ini tidak memenuhi syarat berupa asas kemanfaatan dan kedayagunaan. Selain itu, kami juga telah memperbaiki tentang pembentukan badan otoritas pajak. Pada hal ini penanganan pajak harus efektif dan terpadu dan ini kamu uraikan pada perbaikan ini,” kata Sangap dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang dikutip dari website resmi MK, Selasa (16/1/2024).

Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Selasa (12/12/2023), Pemohon mengatakan Direktorat Jenderal Pajak menyosialisasikan slogan Kemenkeu “SATU” sejak 2022. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibatnya terjadi pencampuradukan nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak. Menurut Pemohon hal ini wujud dari pencampuradukan nomenklatur yang berakibat pada tercampur segala aspek yaitu, organisasi, SDM, sistem Informasi Teknologi (IT) dan banyak lagi aspek operasional.

Bagi Pemohon, hal ini mempengaruhi interaksi Pemohon dalam melaksanakan pelayanan klien Pemohon. Semenstinya fungsi treasury dan fungsi pembuat kebijakan pajak dan administrasi pajak yang menjadi satu komando tentunya akan diwujudkan dalam APBN setiap tahunnya. Namun dalam kenyataannya, hal tersebut akan melahirkan adanya target pajak yang naik tanpa didasari oleh dasar perhitungan kenaikan yang didasarkan gap potensi pajak yang belum dilaporkan oleh wajib pajak.

Kondisi demikian akan membuat para wajib pajak menjadi sasaran untuk selalu harus menambah konstribusi pajaknya karena adanya kebutuhan APBN yang sangat meningkat. Padahal Pemohon selaku profesi konsultan yang mendapat kuasa dari klien sering mengedukasi klien untuk membayar pajak secara self assesment dengan jujur dan terbuka sesuai dengan gap potensi pajak yang terbuka dan riil.

Pemohon juga mendalilkan seharusnya ada pemisahan Direktorat Perpajakan dengan Kementerian Keuangan bertujuan agar secara umum tata kelola kelembagaan Ditjen Pajak sebagai lembaga otonom bisa mengurangi kewenangan berlebih Kementerian Keuangan karena terdapat pemisahan kewenangan penerimaan negara dan perbendaharaan negara.

Selain itu, pemisahan ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan pengawasan, dan mengurangi potensi conflict of interest. Sehingga, pada petitum, ia mengharapkan MK menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara inkonstitusional sepanjang tidak mencantumkan kata “pajak” sebagai nomenklatur yang terpisah dari nomenklatur “keuangan”. Kemudian, dengan mendasarkan pada Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 yang tidak secara tersurat membatasi jumlah kementerian, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 UU a quo. (bl)

Ketum IKPI Sebut Kenaikan Pajak Hiburan Seharusnya Bertahap

IKPI, Jakarta: Kebijakan kenaikan pajak hiburan 40-75% belakangan memang menjadi kekhawatiran bagi para pengusaha maupun UMKM di Indonesia.

Tarif Pajak Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) khusus untuk Jasa Kesenian dan Hiburan berupa diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa paling rendah 40% dan paling tinggi 75% adalah berdasarkan Pasal 58 UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Dalam UU PDRD sebelumnya, tarif paling tinggi untuk Pajak Hiburan adalah 35% tapi khusus jenis hiburan tertentu seperti diskotik, karaoke, klab malam, mandi uap/spa ditetapkan paling tinggi 75%. Jadi untuk tarif tertingginya tidak ada perubahan dari sebelumnya.

Kewenangan pemungutan PBJT ada di Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk untuk tarif pajak daerah untuk diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, sehingga penetapan tarif juga berdasarkan Perda Kab/Kota. Pemkab/kota diberi oleh UU No. 1 Tahun 2022 kewenangan menentukan besaran tarif tetapi paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Yang menanggung pajak tersebut adalah konsumen atau pengguna jasa, tetapi yang diwajibkan memungut dan menyetorkan ke Kas Daerah adalah Pelaku Usaha / Penyedia Jasa hiburan. Jadi pajak ini sesungguhnya tidak membebani Pelaku Usaha tetapi menambah jumlah yang harus dibayar oleh Konsumen/Pengguna Jasa.

Namun demikian, kenaikan tarif menjadi minimum 40% dari sebelumnya misalnya 10%, 15% atau 25% tentu saja berdampak pada Pengusaha karena dapat mempengaruhi pasar industri hiburan. Keberatan Pengusaha disitu. Apalagi justru pariwisata Pasca Covid baru saja bangkit kembali Pasca Covid. Hiburan itu sendiri merupakan faktor penunjang utama pariwisata. Pelaku Usaha hiburan keberatan karena meyakini bahwa jika tarif Pajak Daerah atas hiburan akan mengurangi pengunjung / komsumen dan akan berdampak pada kelangsungan bisnis hiburan.

Menurut saya kenaikan pajak atas hiburan kontradiktif dengan tujuan untuk menarik pariwisata yang justru harusnya diberi insentif berupa pengurangan tarif, bukan sebaliknya menaikkan tarif.

Kebijakan menaikkan tarif malah dapat membatasi konsumsi wisatawan domestik maupun mancanegara karena harga yang mereka harus bayar menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, meskipun untuk kalangan konsumen tertentu kenaikan tarif pajak ini tidak mempengaruhi sama sekali demand nya atas hiburan.

Kebijakan menaikkan tarif sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan mengkaji perkembangan industri hiburan, tidak semata-mata hanya menjadi cara singkat untuk meningkatan penerimaan pajak daerah. (bl)

 

Pajak Progresif Kendaraan Bermotor di DKI Naik 0,5-10 Persen

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan aturan baru mengenai pajak kendaraan bermotor. Dalam aturan itu, pajak progresif kendaraan bermotor naik.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Aturan itu diundangkan sejak 5 Januari 2024.

Tertuang dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2024, tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) khusus kendaraan kedua dan seterusnya naik 0,5 persen dari aturan sebelumnya.

Untuk kendaraan kedua, yang sebelumnya ditetapkan pajak progresif sebesar 2,5 persen naik menjadi 3 persen. Kendaraan ketiga juga naik menjadi 4 persen dan kendaraan keempat menjadi 5 persen. Namun, untuk kepemilikan kendaraan kelima dan seterusnya ditetapkan sebesar 6 persen. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang menetapkan kenaikan pajak progresif 0,5 persen hingga kepemilikan kendaraan ke-17 dan seterusnya dengan persentasenya sebesar 10%.

Berikut rincian tarif PKB kepemilikan dan/atau penguasaan oleh orang pribadi:

2% (dua persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama;
3% (tiga persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua;
4% (empat persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor ketiga;
5% (lima persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor keempat; dan
6% (enam persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kelima dan seterusnya.
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.

Namun, tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan oleh Badan tidak dikenakan pajak progresif. Pajak kendaraan milik Badan ditetapkan sebesar 2 persen.
Sebagai pembanding, berikut tarif pajak progresif untuk wilayah DKI Jakarta sebelumnya, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2015:

Kendaraan pertama pajak 2%
Kendaraan kedua pajak 2,5%
Kendaraan ketiga pajak 3%
Kendaraan keempat pajak 3,5%
Kendaraan kelima pajak 4%
Kendaraan keenam pajak 4,5%
Kendaraan ketujuh pajak 5%
Kendaraan kedelapan pajak 5,5%
Kendaraan kesembilan pajak 6%
Kendaraan kesepuluh pajak 6,5%
Kendaraan kesebelas pajak 7%
Kendaraan keduabelas pajak 7,5%
Kendaraan ketiga belas pajak 8%
Kendaraan keempat belas pajak 8,5%
Kendaraan kelima belas pajak 9%
Kendaraan keenam belas pajak 9,5%
Kendaraan ketujuh belas dan seterusnya pajak 10%
Namun, kebijakan tarif pajak progresif ini belum sepenuhnya berlaku. Ketentuan itu mulai berlaku pada tahun depan.

“Ketentuan mengenai PKB dan BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal 5 Januari 2022,” demikian dikutip dari pasal 115 ayat (1) Perda No. 1 Tahun 2024. (bl)

 

Pengamat Sarankan Dana Kampanye Dikenakan Pajak

IKPI, Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan transaksi mencurigakan dari pada calon anggota legislatif (caleg). Hal ini disinyalir imbas dari sistem pendanaan kampanye politik yang belum solid.

Pengamat dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita berkaca pada sistem pengumpunan dan pengelolaan dana politik di Amerika Serikat. Salah satunya bertujuan untuk memberikan transparansi sumber keuangan untuk dana kampanye.

“Di Amerika, misalnya, pembiayaan politik dikenai pajak di satu sisi dan penghimpunan dana politik dilakukan secara terbuka di sisi lain,” ujar Ronny seperti dikutip dari Liputan6.com, Senin (15/1/2024).

Melalui sistem ini, arus pendanaan kampanye bisa terlihat jelas usai proses pemilu. Ini didapat dari laporan pajak dari dana-dana gang disetor sebelumnya.

“Walhasil, tak lama setelah pemilihan kita sudah bisa mengetahui dana kampanye para caleg dan kandidat dari laporan tax return-nya. Di dalam laporan tersebut terlihat secara jelas dari mana sumber dananya,” tuturnya.

Ronny mengatakan, masih di AS, proses pembiayaan dilakukan secara terbuka. Dengan memanfaatkan relawan politik seperti Political Action Committee (PAC) ke para caleg. Kemudian, ada tambahan dengan munculnya laporan tax return dari para relawan dan caleg.

“Capres pun demikian, selain melalui relawan dan partai, mereka juga menghimpun dana secara online yang laporan perkembangan dananya muncul secara real time. Jadi di Amerika, media langsung tau berapa dana politik kandidat tertentu saat itu juga,” jelasnya.

Melalui sistem ini, arus pendanaan kampanye bisa terlihat jelas usai proses pemilu. Ini didapat dari laporan pajak dari dana-dana gang disetor sebelumnya.

“Walhasil, tak lama setelah pemilihan kita sudah bisa mengetahui dana kampanye para caleg dan kandidat dari laporan tax return-nya. Di dalam laporan tersebut terlihat secara jelas dari mana sumber dananya,” tuturnya.

Ronny mengatakan, masih di AS, proses pembiayaan dilakukan secara terbuka. Dengan memanfaatkan relawan politik seperti Political Action Committee (PAC) ke para caleg. Kemudian, ada tambahan dengan munculnya laporan tax return dari para relawan dan caleg.

“Capres pun demikian, selain melalui relawan dan partai, mereka juga menghimpun dana secara online yang laporan perkembangan dananya muncul secara real time. Jadi di Amerika, media langsung tau berapa dana politik kandidat tertentu saat itu juga,” jelasnya. (bl)

 

 

Ini Rumus Penghitungan Pemotongan PPh 21 Sesuai PP/58/2023 dan PMK 168/2023

IKPI, Jakarta: Penghitungan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi telah berubah sejak 1 Januari 2024. Seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 58 tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.

Melalui ketentuan itu, pemerintah menetapkan penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan metode tarif efektif rata-rata atau TER, yang terbagi menjadi dua kategori, yakni tarif efektif bulanan untuk setiap masa pajak selain masa pajak terakhir dalam satu tahun, serta tarif efektif harian.

Dengan metode baru itu, rumus penghitungan PPh Pasal 21 bulanan dari Januari-November menjadi hanya penghasilan bruto sebulan dikalikan dengan tarif efektif bulanan. Barulah pada Desember atau masa pajak terakhir rumusnya kembali normal, seperti sebelumnya.

Penghitungan normal atau selain menggunakan metode TER itu ialah penghasilan bruto setahun dikurangi biaya jabatan/pensiun, iuran pensiun, zakat atau sumbangan keagamaan wajib yang dibayar melalui pemberi kerja, untuk memperoleh nilai pajak neto setahun.

Setelah itu, baru dikurangi dengan pendapatan tidak kena pajak, untuk memperoleh nilai penghasilan kena pajak setahun. Penghasilan kena pajak itulah yang baru dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh supaya mendapatkan nilai PPh terutang setahun. Dan setelahnya dikurangi total PPh yang telah dipotong dari Januari-November untuk mengetahui PPh 21 yang harus dipotong pada Desember.

“Jadi mudah hitungnya, yang ribet sekali saja dalam setahun. Jadi dari Januari-November dimudahkan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti di kantornya, Jakarta, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (15/1/2024).

Untuk tarif efektif bulanan, DJP telah menyusun dalam tabel berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan. Tarif ini telah mempertimbangkan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan/atau Penghasilan Tidak Kena Pajak yang menjadi pengurang penghasilan bruto.

Berikut ini daftar lengkap tarif efektif bulanan yang dibagi ke dalam tiga kategori sesuai status perkawinan dan tanggungan per penghasilan bruto:

1. Kategori TER A

PTKP: Tidak Kawin dan Tak Ada Tanggungan (TK/0); TK/1; K/0 dengan penghasilan bruto:

Rp 5.400.001 s.d. 5.650.000 tarifnya 0,25%

Rp 5.650.001 s.d. 5.950.000 tarifnya 0,50%

Rp 5.950.001 s.d. 6.300.000 tarifnya 0,75%

Rp 6.300.001 s.d. 6.750.000 tarifnya 1,00%

Rp 6.750.001 s.d. 7.500.000 tarifnya 1,25%

Rp 7.500.001 s.d. 8.550.000 tarifnya 1,50%

Rp 8.550.001 s.d. 9.650.000 tarifnya 1,75%

Rp 9.650.001 s.d. 10.050.000 tarifnya 2,00%

Rp 10.050.001 s.d. 10.350.000 tarifnya 2,25%

Rp 10.350.001 s.d. 10.700.000 tarifnya 2,50%

Rp 10.700.001 s.d. 11.050.000 tarifnya 3,00%

Rp 11.050.001 s.d. 11.600.000 tarifnya 3,50%

Rp 11.600.001 s.d. 12.500.000 tarifnya 4,00%

Rp 12.500.001 s.d. 13.750.000 tarifnya 5,00%

Rp 13.750.001 s.d. 15.100.000 tarifnya 6,00%

Rp 15.100.001 s.d. 16.950.000 tarifnya 7,00%

Rp 16.950.001 s.d. 19.750.000 tarifnya 8,00%

Rp 19.750.001 s.d. 24.150.000 tarifnya 9,00%

Rp 24.150.001 s.d. 26.450.000 tarifnya 10,00%

Rp 26.450.001 s.d. 28.000.000 tarifnya 11,00%

Rp 28.000.001 s.d. 30.050.000 tarifnya 12,00%

Rp 050.001 s.d. 32.400.000 tarifnya 13,00%

Rp 32.400.001 s.d. 35.400.000 tarifnya 14,00%

Rp 35.400.001 s.d. 39.100.000 tarifnya 15,00%

Rp 39.100.001 s.d. 43.850.000 tarifnya 16,00%

Rp 43.850.001 s.d. 47.800.000 tarifnya 17,00%

Rp 47.800.001 s.d. 51.400.000 tarifnya 18,00%

Rp 51.400.001 s.d. 56.300.000 tarifnya 19,00%

Rp 56.300.001 s.d. 62.200.000 tarifnya 20,00%

Rp 62.200.001 s.d. 68.600.000 tarifnya 21,00%

Rp 68.600.001 s.d. 77.500.000 tarifnya 22,00%

Rp 77.500.001 s.d. 89.000.000 tarifnya 23,00%

Rp 89.000.001 s.d. 103.000.000 tarifnya 24,00%

Rp 103.000.001 s.d. 125.000.000 tarifnya 25,00%

Rp 125.000.001 s.d. 157.000.000 tarifnya 26,00%

Rp 157.000.001 s.d. 206.000.000 tarifnya 27,00%

Rp 206.000.001 s.d. 337.000.000 tarifnya 28,00%

Rp 337.000.001 s.d. 454.000.000 tarifnya 29,00%

Rp 454.000.001 s.d. 550.000.000 tarifnya 30,00%

Rp 550.000.001 s.d. 695.000.000 tarifnya 31,00%

Rp 695.000.001 s.d. 910.000.000 tarifnya 32,00%

Rp 910.000.001 s.d. 1.400.000.000 tarifnya 33,00%

lebih Rp 1.400.000.000 tarifnya 34,00%

2. Kategori TER B

PTKP: TK/2 dan K/1; TK/3 dan K/

sampai dengan Rp 6.200.000 tarifnya 0,00%

Rp 6.200.001 s.d. 6.500.000 tarifnya 0,25%

Rp 6.500.001 s.d. 6.850.000 tarifnya 0,50%

Rp 6.850.001 s.d. 7.300.000 tarifnya 0,75%

Rp 7.300.001 s.d. 9.200.000 tarifnya 1,00%

Rp 9.200.001 s.d. 10.750.000 tarifnya 1,50%

Rp 10.750.001 s.d. 11.250.000 tarifnya 2,00%

Rp 11.250.001 s.d. 11.600.000 tarifnya 2,50%

Rp 11.600.001 s.d. 12.600.000 tarifnya 3,00%

Rp 12.600.001 s.d. 13.600.000 tarifnya 4,00%

Rp 13.600.001 s.d. 14.950.000 tarifnya 5,00%

Rp 14.950.001 s.d. 16.400.000 tarifnya 6,00%

Rp 16.400.001 s.d. 18.450.000 tarifnya 7,00%

Rp 18.450.001 s.d. 21.850.000 tarifnya 8,00%

Rp 21.850.001 s.d. 26.000.000 tarifnya 9,00%

Rp 26.000.001 s.d. 27.700.000 tarifnya 10,00%

Rp 27.700.001 s.d. 29.350.000 tarifnya 11,00%

Rp 29.350.001 s.d. 31.450.000 tarifnya 12,00%

Rp 31.450.001 s.d. 33.950.000 tarifnya 13,00%

Rp 33.950.001 s.d. 37.100.000 tarifnya 14,00%

Rp 100.001 s.d. 41.100.000 tarifnya 15,00%

Rp 41.100.001 s.d. 45.800.000 tarifnya 16,00%

Rp 45.800.001 s.d. 49.500.000 tarifnya 17,00%

Rp 49.500.001 s.d. 53.800.000 tarifnya 18,00%

Rp 53.800.001 s.d. 58.500.000 tarifnya 19,00%

Rp 58.500.001 s.d. 64.000.000 tarifnya 20,00%

Rp 64.000.001 s.d. 71.000.000 tarifnya 21,00%

Rp 71.000.001 s.d. 80.000.000 tarifnya 22,00%

Rp 80.000.001 s.d. 93.000.000 tarifnya 23,00%

Rp 93.000.001 s.d. 109.000.000 tarifnya 24,00%

Rp 109.000.001 s.d. 129.000.000 tarifnya 25,00%

Rp 129.000.001 s.d. 163.000.000 tarifnya 26,00%

Rp 163.000.001 s.d. 211.000.000 tarifnya 27,00%

Rp 211.000.001 s.d. 374.000.000 tarifnya 28,00%

Rp 374.000.001 s.d. 459.000.000 tarifnya 29,00%

Rp 459.000.001 s.d. 555.000.000 tarifnya 30,00%

Rp 555.000.001 s.d. 704.000.000 tarifnya 31,00%

Rp 704.000.001 s.d. 957.000.000 tarifnya 32,00%

Rp 957.000.001 s.d. 1.405.000.000 tarifnya 33,00%

lebih dari Rp 1.405.000.000 tarifnya 34,00%

3. Kategori TER C

PTKP : K/3

sampai dengan Rp 6.600.000 tarifnya 0,00%

Rp 6.600.001 s.d. 6.950.000 tarifnya 0,25%

Rp 6.950.001 s.d. 7.350.000 tarifnya 0,50%

Rp 7.350.001 s.d. 7.800.000 tarifnya 0,75%

Rp 7.800.001 s.d. 8.850.000 tarifnya 1,00%

Rp 8.850.001 s.d. 9.800.000 tarifnya 1,25%

Rp 9.800.001 s.d. 10.950.000 tarifnya 1,50%

Rp 10.950.001 s.d. 11.200.000 tarifnya 1,75%

Rp 11.200.001 s.d. 12.050.000 tarifnya 2,00%

Rp 12.050.001 s.d. 12.950.000 tarifnya 3,00%

Rp 12.950.001 s.d. 14.150.000 tarifnya 4,00%

Rp 14.150.001 s.d. 15.550.000 tarifnya 5,00%

Rp 15.550.001 s.d. 17.050.000 tarifnya 6,00%

Rp 17.050.001 s.d. 19.500.000 tarifnya 7,00%

Rp 19.500.001 s.d. 22.700.000 tarifnya 8,00%

Rp 22.700.001 s.d. 26.600.000 tarifnya 9,00%

Rp 26.600.001 s.d. 28.100.000 tarifnya 10,00%

Rp 28.100.001 s.d. 30.100.000 tarifnya 11,00%

Rp 30.100.001 s.d. 32.600.000 tarifnya 12,00%

Rp 32.600.001 s.d. 35.400.000 tarifnya 13,00%

Rp 35.400.001 s.d. 38.900.000 tarifnya 14,00%

Rp 38.900.001 s.d. 43.000.000 tarifnya 15,00%

Rp 43.000.001 s.d. 47.400.000 tarifnya 16,00%

Rp 47.400.001 s.d. 51.200.000 tarifnya 17,00%

Rp 51.200.001 s.d. 55.800.000 tarifnya 18,00%

Rp 55.800.001 s.d. 60.400.000 tarifnya 19,00%

Rp 60.400.001 s.d. 66.700.000 tarifnya 20,00%

Rp 66.700.001 s.d. 74.500.000 tarifnya 21,00%

Rp 74.500.001 s.d. 83.200.000 tarifnya 22,00%

Rp 83.200.001 s.d. 95.600.000 tarifnya 23,00%

Rp 95.600.001 s.d. 110.000.000 tarifnya 24,00%

Rp 110.000.001 s.d. 134.000.000 tarifnya 25,00%

Rp 134.000.001 s.d. 169.000.000 tarifnya 26,00%

Rp 169.000.001 s.d. 221.000.000 tarifnya 27,00%

Rp 221.000.001 s.d. 390.000.000 tarifnya 28,00%

Rp 390.000.001 s.d. 463.000.000 tarifnya 29,00%

Rp 463.000.001 s.d. 561.000.000 tarifnya 30,00%

Rp 561.000.001 s.d. 709.000.000 tarifnya 31,00%

Rp 709.000.001 s.d. 965.000.000 tarifnya 32,00%

Rp 965.000.001 s.d. 1.419.000.000 tarifnya 33,00%

lebih dari Rp 1.419.000.000 tarifnya 34,00%

Ketum IKPI: Jadikan Perayaan Natal Sebagai Momentum Miningkatkan Kompetensi dan Integritas

IKPI, Jakarta: Sekitar 1.000 anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Indonesia berpartisipasi meramaikan kegiatan Natal nasional 2023 di Gedung House of Blessing GBI, Jakarta, Sabtu (13/1/2023). Kegiatan bertema “Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah Dalam Hatimu” itu dilakukan secara daring dan luring.

Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan mengatakan, kegiatan ini merupakan acara keagamaan Kristen/ Katolik yang dirayakan setiap tahun. Begitu juga dengan hari besar keagamaan lainnya, IKPI juga rutin merayakannya, seperti Idul Fitri, Dharma Sakti, dan lain sebagainya.

(Foto: Departemen Humas PP- IKPI/Bayu Legianto)

Pada perayaan natal ini, Ruston berharap agar kedamaian selalu hadir di hati seluruh anggota IKPI, baik pusat hingga cabang dan kedepan semakin kompak.

Lebih lanjut Ruston mengatakan, anggota IKPI terdiri dari berbagai macam suku dan agama. “Saya berharap persatuan terus terjalin di tengah keberagaman, saling mengasihi dan terus mengingatkan untuk selalu berjalan di dalam kebaikan,” kata Ruston saat menghadiri perayaan Natal Nasional IKPI 2023 di Jakarta, Sabtu (13/1/2024).

(Foto: Departemen Humas PP- IKPI/Bayu Legianto)

Ruston mengungkapkan, dari sekitar 1.000 peserta yang berpartisipasi melalui daring dan luring dalam perayaan Natal ini, tidak semuanya beragama Kristen/Katolik. “Ada juga dari agama lain yang ikut memeriahkan acara ini. Semoga bentuk toleransi ini bisa terus dijaga, dan kekompakan selalu menyertai setiap langkah anggota IKPI,” ujarnya.

Menyambung kepada tema perayaan Natal ini kata Ruston, pesan yang disampaikan Romo dalam acara tersebut bahwa konsultan pajak harus selalu memberikan kedamaian untuk orang lain.

(Foto: Departemen Humas PP- IKPI/Bayu Legianto)

“Jadi yang kita bisa petik dari pesan itu, konsultan pajak harus terus meningkatkan kompetensinya, karena perubahan peraturan pajak itu sangat cepat dan dinamis. Selain itu setiap anggota diingatkan untuk tetap menjaga integritasnya. Dengan begitu, klien juga akan merasa nyaman dan damai menggunakan jasa kita,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Natal Nasional IKPI 2023 Tan Alim, mengucapkan terima kasih kepada seluruh panitia dan donatur yang sudah terlibat langsung dan membantu dalam suksesnya gelaran acara ini.

(Foto: Departemen Humas PP- IKPI/Bayu Legianto)

“Terima kasih atas waktu, tenaga, dan donasinya untuk menyukseskan acara ini. Harapannya, kegiatan ini bisa dijadikan pelajaran untuk kepanitian dalam gelaran-gelaran acara IKPI selanjutnya,” kata Tan Alim.

Dia juga berharap, kedepan acara Natal IKPI akan semakin meriah dan lebih sukses dibandingkan kegiatan sebelumnya.

Tan Alim mengungkapkan, sebelumnya acara puncak perayaan, jajaran panitia juga melakukan kegiatan santunan kepada panti jompo dan rumah yatim piatu di wilayah Bekasi, Jawa Barat.

“Kegiatan sosial itu kami lakukan sebagai bentuk kepedulian IKPI terhadap sesama, dan itu juga termasuk dalam kasih Natal,” katanya. (bl)

DJP Jaksel II Kumpulkan Pajak 2023 Rp67,83 Triliun

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II (Kanwil DJP Jaksel II) berhasil mengumpulkan penerimaan pajak tahun 2023 sebesar Rp67,83 Triliun atau 103,2 persen dari target Perpres 75/2023 sebesar Rp65,73 Triliun.

“Capaian penerimaan pajak tahun 2023 ini mengalami pertumbuhan positif sebesar 5,4 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya,” kata Kepala Kanwil DJP Jaksel II Neilmaldrin Noor seperti dikutip dari Liputan6.com, Jumat (12/1/2024).

Menurutnya, capaian tersebut menjadi keberhasilan Kanwil DJP Jaksel II dalam merealisasikan target penerimaan pajak selama empat tahun berturut-turut. Dimana pada tahun 2020, 2021, dan 2022 Kanwil DJP Jaksel II juga berhasil melampaui target penerimaan yang diamanahkan.

“Keberhasilan ini tidak terlepas dari partisipasi masyarakat dan stakeholder khususnya wajib pajak yang telah melakukan kewajiban perpajakannya dengan baik,” ujarnya.

Adapun keberhasilan ini dialami oleh seluruh Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Selatan II.

Secara rinci realisasi penerimaan pajak dari masing-masing KPP tersebut adalah sebagai berikut, KPP Madya Jakarta Selatan II Rp24,45 triliun (101,73 persen).

Kemudian KPP Madya Dua Jakarta Selatan II Rp16,58 triliun (102,34 persen); KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu Rp10,27 triliun (106,14 persen).

Kemudian KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua Rp2,62 triliun (103,73 persen); KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama Rp4,18 triliun (105,26 persen); KPP Pratama Jakarta Pesanggrahan Rp908,89 Miliar (104,29 persen).

Selain itu, KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu Rp4,22 triliun (104,63 persen); KPP Pratama Jakarta Cilandak Rp3,73 triliun (104,31 persen); dan KPP Pratama Jakarta Jagakarsa Rp826,99 Miliar (103,68 persen). (bl)

 

Menkeu Gratiskan PPN Impor Barang Keperluan Hankam

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menggratiskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang-barang untuk keperluan pertahanan dan/atau keamanan (hankam) negara.

Pajak gratis itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 157 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis dan Penyerahan di Dalam Daerah Pabean dan/atau Pemanfaatan dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Jasa Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis Untuk Keperluan Pertahanan dan/atau Keamanan Negara.

“Dengan penerbitan PMK ini DJP berupaya menghilangkan dispute di lapangan terkait kriteria pembebasan barang dan jasa kena pajak strategis untuk keperluan pertahanan dan keamanan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (12/1/2024).

Dwi menambahkan PMK 157/2023 menetapkan kriteria barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) tertentu yang bersifat strategis berupa senjata, amunisi, helm antipeluru dan jaket/rompi antipeluru, kendaraan darat khusus, serta radar.

Pembebasan PPN diberikan dengan mekanisme Surat Keterangan Bebas (SKB). Wajib pajak dapat memperoleh SKB dengan memenuhi syarat kepatuhan serta kelengkapan dokumen dan informasi.

“Layanan pemberian fasilitas pembebasan PPN BKP dan JKP strategis untuk pertahanan dan keamanan negara ini juga semakin mudah diakses karena sudah menggunakan saluran elektronik. Dengan peningkatan layanan dari yang sebelumnya dilakukan secara manual ini diharapkan dapat membangun tata Kelola pembebasan PPN yang sesuai dengan prinsip trust and verify,” pungkas Dwi.

Adapun rincian barang bebas PPN yang diatur dalam PMK 157/2023 yaitu:

1. Senjata
Yang dapat gratis PPN dalam aturan ini adalah senjata perorangan, senjata kelompok, senjata artileri dan sistem senjata artileri, senjata kavaleri dan sistem senjata kavaleri, senjata dan sistem senjata roket dan peluru kendali. Lalu, sistem senjata pesawat udara (yang tidak melekat di pesawat udara), sistem senjata pertahanan udara, flash bang bermesiu, kelengkapan utama yang melekat di senjata, dan suku cadang senjata.

2. Amunisi
Munisi kaliber kecil (MKK), munisi kaliber besar (MKB), dan munisi khusus (musus). Kemudian ranjau, bom, roket, peluru kendali, torpedo, amunisi, sistem pertahanan udara, amunisi senjata khusus, granat, gas air mata, dan suku cadang amunisi di atas.

3. Helm antipeluru
4. Jaket atau rompi antipeluru
5. Kendaraan darat khusus :
Kendaraan patroli dan pengawalan, tank, panser, kendaraan khusus angkut alat utama sistem senjata, kendaraan khusus penarik alat utama sistem senjata. Lalu, kendaraan khusus yang dilekati alat utama sistem senjata, kendaraan khusus angkut personel pasukan, kendaraan taktis baik antipeluru maupun tidak antipeluru.

Selanjutnya kendaraan khusus tahanan, kendaraan khusus olah TKP, kendaraan darat khusus laboratorium forensik, kendaraan darat khusus
mobile tactical communication, kendaraan darat khusus disaster victim identification (DVI), kendaraan darat khusus explosive ordnance disposal (EOD), kendaraan penjinak bom dan/atau kendaraan penjinak ranjau, dan suku cadang kendaraan darat khusus di atas.

6. Radar
Radar dan sistem radar di darat, laut, dan udara. Lalu suku cadang radar dan sistem radar, dan alat pendeteksi keberadaan objek.

7. Peralatan data batas
Peralatan data batas, peralatan hidrografi dan topografi, peralatan survei dan pemotretan udara, dan peralatan kartografi serta suku cadang peralatan. (bl)

Cortax Belum Rampung, Isi SPT Masih Pakai E-Form dan E-Filling

IKPI, Jakarta: Masa pelaporan surat pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan 2023 telah mulai pada bulan ini hingga akhir Maret 2024 untuk wajib pajak (WP) pribadi dan akhir April 2024 untuk WP Badan. Proses pelaporannya pun masih serupa dengan tahun lalu.

Para wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan bisa melaporkan SPT secara online dengan mengakses layanan DJP Online pada website https://djponline.pajak.go.id/. Baik melalui fitur e-Form maupun e-Filling, sedangkan mekanisme pelaporan melalui e-SPT telah ditutup sejak Mei 2021.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan, skema itu masih berlaku karena sistem baru pelaporan melalui Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax administration system (CTAS) masih dipersiapkan.

“Masih sesuai yang lama, karena kan sebentar lagi pakai coretax kan, jadi kita masih pakai sistem tahun lalu,” kata Dwi seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (10/1/2023).

Core tax sendiri menurutnya kini masih terus dilakukan pengujian, untuk meminimalisir error atau permasalahan saat diimplementasikan pertengahan tahun ini. Sebagai informasi Ditjen Pajak menargetkan core tax mulai meluncur pada 1 Juli 2024.

“Mudah-mudahan pertengahan tahun kita akan bisa segera implementasi, jadi ini jalan terus untuk habituasinya, kita terus kerja keras sesuai jadwal ditetapkan,” tegasnya.

DJP mencatat jumlah pelapor surat pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan 2023 hingga 8 Januari 2024 telah mencapai 219.593. Terdiri dari SPT wajib pajak orang pribadi sebanyak 208.997 dan wajib pajak badan 10.596.

“Ini terima kasih nih kepada wajib pajak yang sudah menyampaikan SPT tahunannya bahkan baru tanggal 8,” ujar Dwi.

Jumlah pelapor SPT 2023 itu pun jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pelapor SPT Tahunan 2022 per 10 Januari 2023. Saat itu, jumlahnya hanya 203.538.

Sebagaimana pola tahun-tahun sebelumnya, Ditjen Pajak akan mengirimkan email pengingat pelaporan SPT kepada para wajib pajak nantinya mulai Februari 2024.

“Kita biasanya akan mengirimkan email blast mengingatkan kepada teman-teman WP mana tau lupa untuk OP bahwa 31 Maret itu batas akhirnya untuk WP Badan tanggal 30 April itu adalah kebiasaan yang baik dan kita lanjut terus kita email blast terus,” tuturnya. (bl)

id_ID