Anggota Berperan Aktif Dalam Memilih Logo HUT ke-60

IKPI, Jakarta: Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengajak seluruh anggotanya untuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan logo resmi perayaan tersebut. Voting terbuka hingga 17 Juni 2025 pukul 23.59 WIB dan dilakukan secara online melalui tautan resmi panitia.

Ketua Panitia HUT, Nuryadin Rahman, menyampaikan pentingnya partisipasi anggota dalam menentukan simbol visual yang akan merepresentasikan perjalanan panjang organisasi. “Partisipasi Bapak/Ibu sangat berarti bagi kesuksesan acara ini,” ujarnya dalam pengumuman resmi kepada seluruh anggota, Senin (16/6/2025).

Anggota diberi kesempatan untuk memilih hingga lima desain logo terbaik dari sejumlah karya yang telah dipilih. Setiap desain dapat dinilai dengan skala 1 sampai 5, di mana 1 berarti tidak menarik dan 5 berarti sangat menarik.

Namun, satu orang hanya dapat melakukan voting satu kali, dan jika memilih lebih dari lima desain, maka hanya lima pilihan pertama yang akan dihitung.

Lima desain dengan suara terbanyak akan masuk ke tahap penilaian akhir oleh dewan juri. Logo pemenang akan ditetapkan oleh juri secara final dan tidak dapat diganggu gugat.

Voting dapat dilakukan melalui tautan berikut: https://bit.ly/VotingLogo_HUTIKPI60

IKPI berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota demi memilih logo terbaik yang akan menjadi wajah perayaan 60 tahun kontribusi organisasi di bidang perpajakan nasional. (bl)

IKPI Siap Sukseskan AOTCA International Conference 2025 di Nepal

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyatakan kesiapan penuh untuk berpartisipasi aktif dalam AOTCA International Tax Conference 2025 yang akan diselenggarakan di Kathmandu, Nepal pada 18–21 November 2025. Konferensi internasional ini mengangkat tema “The Evolution of Taxation Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals.”

Pernyataan kesiapan tersebut disampaikan oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Tjhai Fung Njit.

Ia menegaskan bahwa IKPI akan mengambil peran aktif dalam konferensi, baik sebagai peserta maupun kontributor dalam berbagai forum diskusi dan sesi presentasi. Keterlibatan ini dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya meningkatkan kiprah organisasi di tingkat internasional.

“Partisipasi dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) 2025 merupakan wujud komitmen IKPI untuk tampil sebagai organisasi konsultan pajak yang adaptif terhadap perubahan global serta terbuka terhadap kolaborasi lintas negara,” ujar Tjhai Fung Njit.

Sebagai anggota aktif AOTCA, IKPI memandang konferensi ini sebagai ajang penting untuk:

  • Meningkatkan eksistensi IKPI di kancah internasional
  • Membangun jejaring global bagi para anggota
  • Mengadopsi praktik terbaik dalam tata kelola perpajakan
  • Mendorong transformasi IKPI menjadi organisasi konsultan pajak kelas dunia
  • Konferensi ini juga akan mengangkat isu-isu krusial seputar perpajakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Terdapat lima topik utama yang akan dibahas dalam konferensi tersebut, yaitu:

1. Sejarah Evolusi Sistem Perpajakan di Negara Berkembang, yang akan menyoroti transformasi hukum pajak dari masa ke masa, serta dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan pembentukan negara.

2. Tantangan Implementasi Kebijakan Pajak di Negara Berkembang, terkait isu-isu seperti penghindaran pajak, sektor informal yang besar, kapasitas administrasi yang terbatas, dan intervensi politik.

3. Peran dan Cakupan Konsultan Pajak dalam Kepatuhan Pajak Global, yang meliputi peran konsultan pajak dalam membantu pelaku bisnis memenuhi kewajiban lintas negara, seperti BEPS, CRS, dan FATCA, dll

4. Peluang dan Tantangan Transformasi Digital dalam Administrasi Pajak, terkait penggunaan teknologi seperti e-filing, blockchain, dan analitik data dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi sistem pajak.

5. Tanggung Jawab Etis dan Profesionalisme Konsultan Pajak di Negara Berkembang, yang menggali tantangan etika, keseimbangan antara kepentingan klien dan tanggung jawab sosial, tax planning serta peran konsultan pajak dalam mendorong keadilan pajak.

IKPI mendorong seluruh anggotanya untuk ikut serta dalam konferensi ini sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas individu dan kolektif.

Menurut Tjhai Fung Njit, AOTCA 2025 tidak hanya menjadi ajang pembelajaran, tetapi juga panggung penting untuk menunjukkan kualitas profesional konsultan pajak Indonesia di mata dunia.

“Kami ingin mendorong partisipasi aktif anggota dalam sesi-sesi yang bersifat substantif, sehingga mereka dapat membawa pulang pengetahuan baru, memperluas perspektif, dan menjalin kerja sama internasional yang saling menguntungkan,” tuturnya.

Lebih lanjut, IKPI menilai forum internasional seperti AOTCA Conference memiliki dampak positif terhadap pembaruan wawasan dan praktik konsultan pajak nasional dalam menghadapi perubahan regulasi global yang semakin kompleks.

“Ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas perpajakan internasional, sekaligus mempertegas peran IKPI sebagai organisasi profesi yang mampu menjawab tantangan zaman,” ujarnya. (bl)

Apindo Soroti Kegentingan Fiskal, Tax Amnesty Diklaim Bisa Jadi Terobosan

IKPI, Jakarta: Ketua Komite Tetap Perpajakan Apindo, Ajib Hamdani, menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi tekanan fiskal yang tidak bisa diatasi dengan kebijakan rutin. Dalam diskusi panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” di Jakarta, Jumat (13/6), ia menyatakan perlunya langkah luar biasa seperti Tax Amnesty Jilid III sebagai solusi konkret.

Ajib menyoroti bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.180 triliun meningkat lebih dari 13% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Namun, capaian kuartal I baru menyentuh 14,7% dari target tahunan jauh di bawah ambang ideal 20%.

Jika tren ini terus berlanjut tanpa kebijakan strategis, Ajib memperkirakan potensi shortfall bisa mencapai Rp130 triliun di akhir tahun. “Kalau hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5,2% dan inflasi 2,5%, target itu sulit dicapai. Harus ada terobosan,” ujarnya.

Empat Tekanan Fiskal

Ajib memetakan empat tantangan utama yang membuat situasi fiskal semakin mendesak:

• Pertumbuhan ekonomi yang melambat (hanya 4,87% pada kuartal I-2025).

• Grey economy yang belum terjangkau sistem perpajakan, berpotensi hilangnya ratusan triliun rupiah.

• Beban utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada tahun ini.

• Implementasi sistem Cortex yang belum optimal, memicu gangguan cash flow pengusaha.

Ia juga menyinggung banyaknya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan yang membuat pelaku usaha berada dalam tekanan administrasi, di tengah sistem pelaporan pajak yang belum stabil.

Selain itu, dalam pandangan Ajib, Tax Amnesty Jilid III layak dipertimbangkan sebagai langkah strategis. Ia mengacu pada keberhasilan dua program sebelumnya yang berhasil menghimpun penerimaan total sekitar Rp184 triliun dan memperluas basis pajak nasional.

“Kalau dilakukan dengan tata kelola yang baik, tax amnesty bisa menjadi solusi yang adil dan inklusif, tanpa merugikan wajib pajak yang patuh,” tegasnya.

Ajib menekankan pentingnya mempercepat pembentukan otoritas penerimaan negara untuk menyatukan fungsi perpajakan dan bea cukai secara lebih efisien. Ia juga mendorong insentif fiskal bagi sektor-sektor strategis seperti properti, melalui skema REIT yang lebih fleksibel.

“Fungsi pajak bukan hanya mengejar target, tapi juga mengatur arah ekonomi. Kalau ekonomi tumbuh, penerimaan akan ikut naik,” ujarnya.(bl)

Skema Pemungutan PPN, Berdasarkan Pasal 4(1) atau Pasal 16D UU PPN

Adanya koreksi DPP atas penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri dari fiskus atas penyerahan BKP sering menjadi perdebatan apakah menggunakan dasar hukum Pasal 4 (1) UU PPN atau Pasal 16D UU PPN

Perlu diteliti terlebih dahulu apakah BKP dihasilkan atau diperoleh dengan maksud :

• dijual (kembali)…dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4(1)huruf a UU PPN

• tidak ada tujuan untuk menjual namun karena kondisi tertentu (usang, rusak, tidak terpakai lagi, dll) yang menyebabkan PKP akhirnya menjual BKP tersebut…dikenakan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN

Penggunaan Dasar Hukum Pasal 4(1) UU PPN

Penjelasan Pasal 4 ayat (1 ) huruf a dan huruf c UU PPN, penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN harus memenuhi syarat antara lain penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya;

Secara gramatikal, frasa: ‘dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya’ mengandung makna bahwa penyerahan tersebut merupakan kegiatan usaha sesuai dengan proses bisnis usahanya, baik sebagai produk kegiatan usaha utama (core business) maupun produk usaha sampingan;

Hal ini sudah sejalan dengan netralitas PPN bahwa pemungutan PPN tidak menyebabkan distorsi timbulmya perbedaan BKP berupa produk utama atau sampingan; sejalan dengan norma dalam Pasal 8 ayat (4) PP No. 44 Tahun 2022, bahwa penyerahan terutang PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a merupakan seluruh penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan baik dalam aktivitas operasional maupun aktivitas nonoperasional;

Penggunanaan Dasar Hukum Pasal 16D UU PPN

PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN;

Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN dan perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan, walaupun kemudian huruf c sudah dihapuskan di UU HPP.

Pemungutan PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPN, yaitu penyerahan BKP yang semula memang untuk diperjualbelikan sesuai dengan proses bisnis usahanya, sedangkan pengenaan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN atas penyerahan BKP yang semula tidak untuk diperjualbelikan, di mana tidak ada tujuan atau maksud awal saat perolehan untuk menjual (kembali) BKP

Pemungutan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN adalah untuk menetralisasi Pajak Masukan yang telah dikreditkan,tujuan awal perolehan BKP a quo untuk menghasilkan penyerahan yang terutang PPN sehingga dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Ketika BKP ternyata dijual, sesuai dengan prinsip pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Keluaran dalam pemungutan PPN, harus terdapat Pajak Keluaran atas penjualan BKP a quo karena Pengusaha Kena Pajak telah mengkreditkan Pajak Masukannya;

Apabila PKP menghasilkan produk sampingan yang dari awal sudah direncanakan akan dijual, dianggap masih mempunyai nilai ekonomis dan tidak ada niat untuk disimpan sebagai aset, sehingga telah menjadi proses bisnis, ini dapat diartikan produk tersebut memang ditujukan untuk dijual kembali yang terutang Pasal 4(1) huruf a UU PPN.

Sebaliknya apabila atas produk yang sedari awal tidak direncanakan akan dijual yang disimpan sebagai aset, bukan bagian dari proses bisnis dikategorikan sebagai aktiva yang tidak semula untuk diperjual belikan yang terutang Pasal 16D UU PPN.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IKPI Ingatkan Tax Amnesty Jangan Jadi Agenda Politik, Perlu Jeda Waktu Ideal

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menggulirkan Tax Amnesty Jilid III menuai tanggapan serius dari kalangan profesional pajak. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, mengingatkan pentingnya mempertimbangkan waktu yang tepat sebelum kebijakan pengampunan pajak kembali diluncurkan.

Menurut Robert, keberhasilan program tax amnesty sangat dipengaruhi oleh jarak waktu antara satu program dengan program berikutnya. “Kalau waktunya terlalu dekat dengan amnesti sebelumnya, hasilnya cenderung tidak optimal. Tapi kalau diberi jeda 10 sampai 15 tahun, dampaknya bisa jauh lebih positif, baik dari sisi penerimaan maupun kepatuhan wajib pajak,” kata Robert di sela penyelenggaraan diskusi panel “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Ia mengacu pada pengalaman global dan literatur yang menunjukkan bahwa jarak waktu yang panjang memberi ruang bagi sistem perpajakan untuk berkembang dan membangun kepercayaan publik. Menurutnya, jika terlalu sering diberlakukan, tax amnesty justru berisiko menurunkan moral wajib pajak yang selama ini patuh.

“Jangan sampai wajib pajak yang sudah patuh merasa dikhianati karena pemerintah kembali memberi karpet merah bagi yang tidak patuh,” tegas Robert.

Selain aspek waktu, ia juga menekankan bahwa tujuan dari tax amnesty seharusnya untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, bukan sekadar menjadi proyek politik sesaat. “Kalau administrasi perpajakan kita sudah baik, data lengkap, dan sistem sudah terintegrasi, kenapa harus mengulang lagi? Jangan sampai ini hanya jadi produk politik atau pencitraan menjelang masa jabatan tertentu,” ujarnya.

Robert juga menyarankan agar rencana ini dikaji secara akademik dan menyeluruh, termasuk melihat tingkat kepatuhan saat ini dan efektivitas sistem pemungutan pajak yang sudah berjalan. Ia menilai, jika semua ekosistem perpajakan sudah tertata, maka urgensi tax amnesty perlu dipertanyakan.

“Kalau pun mau dilakukan, pastikan ini bukan karena alasan politik. Tapi karena memang sudah melalui analisis akademik yang matang, dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan kondisi wajib pajak yang benar-benar membutuhkan solusi,” tutupnya. (bl)

Sah! Kota Malang Pungut Pajak 10% untuk  Usaha Beromzet Rp15 Juta 

IKPI, Jakarta: DPRD Kota Malang akhirnya mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan usaha dengan omzet minimal Rp15 juta per bulan akan dikenakan pajak sebesar 10 persen. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang sempat berlangsung panas dan bahkan diskors selama 15 menit akibat perdebatan tajam antar fraksi.

Salah satu penolakan datang dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menganggap batasan omzet Rp15 juta terlalu rendah dan dapat memberatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Anggota DPRD dari Fraksi PKB, Arif Wahyudi, menilai seharusnya batas minimum omzet yang dikenai pajak dinaikkan menjadi Rp25 juta per bulan.

“Rp15 juta itu kecil bagi pelaku usaha kecil. Kita dari PKB mengusulkan batasan Rp25 juta agar tidak membebani UMKM,” tegas Arif di sela sidang paripurna.

Namun, usulan PKB tersebut tidak diakomodasi dalam keputusan akhir. DPRD bersama Pemerintah Kota Malang tetap bersikukuh pada angka Rp15 juta, sebagaimana telah dirumuskan oleh Panitia Khusus (Pansus) Raperda.

Arif juga menyoroti ketidakhadiran klausul perlindungan terhadap pedagang kaki lima (PKL) dalam draf perda tersebut. “Tidak ada satu kata pun yang menyebutkan PKL atau usaha tenda bongkar-pasang. Padahal mereka sangat rentan,” ujarnya dengan nada kecewa.

Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menilai ketetapan omzet minimal sebesar Rp15 juta justru sudah merupakan bentuk kompromi. “Dari awalnya Rp5 juta menjadi Rp15 juta itu sudah hasil dari proses evaluasi. Soal teknis pelaksanaan, kita kawal lewat Perwali nantinya,” kata Amithya.

Ia menambahkan bahwa saat ini fokus utama adalah pada penetapan standar omzet. Mengenai jenis usaha yang terdampak, termasuk PKL dan restoran, masih akan dikaji lebih lanjut melalui regulasi pelaksana.

Di pihak eksekutif, Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin menyampaikan bahwa keberadaan PKL dalam skema pajak ini masih akan dibahas lebih detail. Ia membuka kemungkinan adanya perda tambahan atau ketentuan khusus dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) sebagai bentuk perlindungan bagi sektor usaha informal tersebut.

“Soal PKL akan menjadi perhatian. Bisa saja ada Perwali yang mengatur lebih rinci agar mereka tidak dirugikan,” ujar Ali.

Dengan pengesahan perda ini, pelaku usaha di Kota Malang diimbau bersiap menghadapi penerapan pajak 10% yang akan diberlakukan dalam waktu dekat. Pemerintah kota pun berjanji akan terus melakukan sosialisasi dan pendampingan agar kebijakan ini tidak menjadi beban yang menyulitkan pelaku usaha kecil. (alf)

 

 

Filipina Permudah Restitusi PPN, Sinyal Positif bagi Investor Asing

IKPI, Jakarta: Pemerintah Filipina terus mendorong reformasi perpajakan guna meningkatkan iklim investasi, salah satunya dengan menyederhanakan proses pengembalian kelebihan pembayaran atau restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Inisiatif ini diharapkan mampu menarik lebih banyak investor asing untuk menanamkan modal di negara tersebut.

Kepala Biro Pendapatan Dalam Negeri (Bureau of Internal Revenue/BIR), Romeo Lumagui, menjelaskan bahwa penyederhanaan prosedur restitusi PPN merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Corporate Recovery and Tax Incentives for Enterprises to Maximize Opportunities for Reinvigorating the Economy (CREATE MORE), yang dirancang untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.

“Kami ingin menunjukkan kepada komunitas bisnis internasional bahwa Filipina serius menciptakan lingkungan usaha yang ramah. Penyederhanaan restitusi PPN adalah langkah konkret kami untuk itu,” ujar Lumagui dalam keterangan resminya, dikutip, Sabtu (14/6/2025).

Melalui regulasi baru ini, pelaku usaha kini tidak perlu lagi menyertakan sejumlah dokumen yang sebelumnya diwajibkan saat mengajukan restitusi. Berdasarkan Surat Edaran BIR No. 37/2025 yang diterbitkan pada 10 April lalu, dokumen yang diperlukan telah dipangkas untuk mempercepat proses klaim.

Antara lain, salinan faktur atau tanda terima yang sah kini dapat menggantikan dokumen asli. Selain itu, tiga jenis dokumen administratif seperti bukti pendaftaran di Komisi Sekuritas dan Bursa Efek atau Kementerian Perdagangan dan Industri, serta dokumen impor seperti single administrative document, tidak lagi diwajibkan dalam beberapa kasus.

Untuk klaim atas pajak masukan terkait barang modal, pelaku usaha juga dapat menggunakan ulang sertifikasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai apabila dokumen tersebut telah diajukan sebelumnya. Bahkan, khusus eksportir, bukti pengiriman asli seperti bill of lading kini dapat diganti dengan sertifikasi dari Kementerian Perdagangan dan Industri.

Lumagui menegaskan bahwa penyederhanaan ini bukanlah langkah terakhir. “Kami sedang meninjau lebih banyak proses bisnis yang bisa dipangkas atau dipermudah. Tujuannya jelas: menjadikan Filipina destinasi investasi yang lebih kompetitif di kawasan,” tutupnya.

Reformasi ini menandai komitmen kuat pemerintah Filipina dalam mendorong kemudahan berusaha dan memperkuat daya tariknya di mata investor global. (alf)

 

Penerimaan Neto PPN dan PPnBM April 2025 Terkontraksi 19,6%, Relaksasi Jatuh Tempo Jadi Pemicu

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hingga April 2025 mencapai Rp175,7 triliun. Angka ini mencerminkan penurunan atau kontraksi sebesar 19,6% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Dwi Astuti, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, menjelaskan bahwa kontraksi ini dipengaruhi oleh kebijakan relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN dalam negeri (DN). Menurutnya, kebijakan ini memberi keleluasaan waktu bagi wajib pajak untuk menyetor kewajiban mereka, yang berdampak langsung pada realisasi penerimaan di awal tahun.

“Kontraksi ini salah satunya karena terdapat relaksasi jatuh tempo pembayaran PPN DN,” ujar Dwi dikutip, belum lama ini.

Kendati mengalami penurunan secara neto, Dwi mengungkapkan bahwa dari sisi bruto, penerimaan PPN dan PPnBM justru menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 1,1%. Hal ini menjadi indikasi bahwa aktivitas ekonomi dan konsumsi barang tetap berlangsung meski pelunasan pajaknya ditunda.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menaikkan tarif PPN menjadi 12% sejak awal 2025, namun hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah tertentu. Ketika ditanya mengenai kontribusi kebijakan ini terhadap total penerimaan negara, Dwi menyampaikan bahwa evaluasi masih terus dilakukan.

“Dapat kami sampaikan bahwa dampak kenaikan tarif PPN untuk barang tertentu masih dalam perhitungan lebih lanjut,” imbuhnya. (alf)

 

 

 

Lonjakan Wisman Kembali Dongkrak Penerimaan Pajak di Bali 

IKPI, Jakarta: Bali kembali bersinar sebagai primadona pariwisata dunia. Dalam lima bulan pertama tahun 2025, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Pulau Dewata mencatat lonjakan signifikan. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Pemprov Bali, BPS, dan Kantor Imigrasi Bandara Ngurah Rai, jumlah wisman yang masuk ke Bali mencapai lebih dari 2,66 juta orang naik 11,29% dibanding periode Januari–Mei 2024 yang berjumlah 2,39 juta. Angka ini bahkan jauh melampaui capaian sepanjang periode yang sama tahun 2023 yang hanya 1,87 juta kunjungan.

Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Partha Adnyana, menyampaikan bahwa lonjakan kunjungan wisatawan ini tidak hanya membawa semarak di destinasi wisata, tetapi juga berdampak nyata terhadap penerimaan daerah. Ia menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak melonjak tajam di tiga kawasan utama Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar.

“Realisasi penerimaan pajak di Mei 2025 di ketiga wilayah ini melampaui capaian dua tahun terakhir. Ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi Bali terus bergerak ke arah positif, dengan sektor pariwisata dan jasa sebagai penggerak utama,” ujar Gus Agung, sapaan akrabnya, Jumat (13/6/2025).

Secara rinci, Pemkab Badung berhasil menghimpun pajak sebesar Rp2,41 triliun, Pemkab Gianyar mencatat Rp423 miliar, sementara Pemkot Denpasar meraup Rp639 miliar. Kontribusi terbesar bersumber dari pajak hotel, restoran, dan hiburan (PHR), yang menyumbang sekitar 75% dari total penerimaan pajak daerah di ketiga wilayah tersebut.

“Setiap kamar hotel yang ditempati, setiap hidangan yang disantap di restoran, dan setiap atraksi yang disaksikan pengunjung semuanya ikut menambah pemasukan daerah. Ini menunjukkan bagaimana sektor pariwisata menjadi jantung perekonomian Bali,” tambah Gus Agung.

Ia menambahkan, kawasan favorit seperti Nusa Dua, Kuta, Seminyak, Canggu, Sanur, dan Ubud menunjukkan tingkat hunian hotel (occupancy rate) yang meningkat signifikan sepanjang Januari hingga Mei 2025 jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Optimisme pun menguat, bahwa sisa tahun 2025 akan terus menjadi momentum emas bagi kebangkitan ekonomi Bali yang berbasis pariwisata. (alf)

 

Pajak Saham di Filipina Kini Hanya 0,1%, Siap Bersaing Dengan Bursa Asia 

IKPI, Jakarta: Mulai 1 Juli 2025, Bursa Efek Filipina (PSE) akan menerapkan tarif pajak transaksi saham (stock transaction tax/STT) yang jauh lebih rendah, dari sebelumnya 0,6% menjadi hanya 0,1%. Kebijakan ini diharapkan menjadi magnet baru bagi investor global.

Penurunan drastis ini merupakan hasil dari pengesahan Republic Act No. 12214 atau Capital Markets Efficiency Promotion Act (CMEPA) yang diteken Presiden Ferdinand Marcos Jr pada 29 Mei 2025. Undang-undang ini menjadi tonggak reformasi perpajakan pasar modal di Filipina.

“Jika publikasi undang-undang selesai sebelum 1 Juli, maka STT 0,1% akan mulai berlaku untuk seluruh transaksi di bursa pada tanggal tersebut,” jelas Presiden dan CEO PSE, Ramon S. Monzon, dalam keterangannya tertanggal 11 Juni.

Lebih Murah dari Tetangga ASEAN

CMEPA menurunkan STT lima kali lipat langsung dalam satu kebijakan. Penurunan ini membuat Filipina menjadi salah satu negara dengan biaya transaksi saham terendah di kawasan Asia Tenggara. Langkah ini dinilai strategis untuk meningkatkan daya saing pasar modal domestik.

“Biaya transaksi yang lebih rendah akan mendorong lebih banyak investor besar—baik lokal maupun asing—untuk masuk ke pasar saham Filipina,” ujar Michael L. Ricafort, Kepala Ekonom Rizal Commercial Banking Corp.

PSE sendiri meyakini penurunan STT akan menjadi katalis utama bagi peningkatan volume perdagangan dan likuiditas pasar. Reformasi ini juga memberikan kepastian hukum terkait perlakuan pajak pada berbagai instrumen pasar modal, tidak hanya saham.

Dorong Aktivitas Perdagangan

Kepala Riset First Metro Investment Corp, Cristina S. Ulang, menilai kebijakan ini sebagai angin segar yang dapat memperkuat pasar dalam jangka panjang.

“Penurunan friction cost membuat investasi saham menjadi lebih efisien dan menarik, serta akan membantu meningkatkan nilai transaksi harian di bursa,” ujarnya.

Senada, Managing Director China Bank Capital Corp, Juan Paolo E. Colet, menyebut penurunan STT sangat menguntungkan trader aktif.

“Trader jangka pendek akan sangat diuntungkan. Spread harga beli dan jual (bid-ask spread) akan menyempit karena biaya transaksi yang lebih rendah,” ucapnya.

Reformasi Pajak Pasif Ikut Dirombak

CMEPA tidak hanya fokus pada STT. Sejumlah aturan pajak atas penghasilan pasif juga disederhanakan dan diseragamkan. Berikut beberapa poin penting lainnya:

• Bunga deposito dan dana keuangan: Kini dikenai pajak final 20%, termasuk simpanan dalam mata uang asing. Sebelumnya, tarifnya bervariasi atau bahkan bebas pajak.

• Royalti: Dikenai pajak final 20%, kecuali untuk buku, musik, dan karya sastra yang dikenai tarif 10%.

• Capital gain saham asing: Kini dikenai pajak final 15%, selaras dengan saham domestik.

• Bea meterai saham baru: Turun dari 1% menjadi 0,75%.

• Insentif pensiun (PERA): Perusahaan dapat mengklaim pengurangan pajak tambahan hingga 50% dari kontribusinya, maksimal 100.000 peso (sekitar Rp29 juta) per tahun.

Sinyal Positif bagi Pasar Modal Filipina

CMEPA disebut sebagai langkah berani yang menunjukkan komitmen pemerintah Filipina dalam memperbaiki iklim investasi. Dengan beban pajak yang lebih ringan dan kepastian hukum yang lebih jelas, pasar modal negara itu diproyeksikan akan semakin atraktif, tidak hanya bagi investor lokal, tapi juga regional dan global.

“Ini reformasi yang telah lama dinanti. Bukan hanya menguntungkan investor, tapi juga membuka jalan bagi modernisasi dan efisiensi pasar modal Filipina ke depan,” kata Monzon. (alf)

 

id_ID