Tax Amnesty Jilid III: Solusi Instan atau Ancaman Jangka Panjang?

Isu mengenai pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III kembali mengemuka dalam diskursus perpajakan Indonesia. Di satu sisi, pengampunan pajak dipandang sebagai alat cepat untuk menambah penerimaan negara. Namun, sejarah dan data menunjukkan bahwa program ini tidak selalu membawa manfaat jangka panjang. Bahkan, jika dijalankan berulang kali, tax amnesty justru dapat menjadi bumerang bagi sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Artikel ini mencoba mengurai akar persoalan, membedah efektivitas amnesti sebelumnya, serta menawarkan pendekatan alternatif yang lebih berkelanjutan untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional.

Sukses Jangka Pendek, Tantangan Jangka Panjang

Program Tax Amnesty pertama di Indonesia dirancang untuk empat tujuan utama: meningkatkan penerimaan pajak, mendorong repatriasi aset, memperluas basis data pajak, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berikut beberapa capaian penting yang berhasil diraih:

• Penerimaan Uang Tebusan: Tercatat sekitar Rp114,02 triliun berhasil dikumpulkan sebagai tebusan dari peserta program.

• Pengungkapan Harta: Total aset yang dideklarasikan sangat besar Rp3.676 triliun dari dalam negeri dan Rp1.031 triliun dari luar negeri.

• Repatriasi Aset: Dana dari luar negeri yang berhasil dipulangkan ke Indonesia terbilang signifikan, meski belum sepenuhnya sesuai ekspektasi.

• Perluasan Basis Data Pajak: Pemerintah memperoleh data berharga untuk pemetaan potensi perpajakan di masa depan.

Namun, di balik angka-angka itu, satu pertanyaan besar mengemuka: Apakah program ini berhasil meningkatkan kepatuhan jangka panjang? Sejumlah studi menunjukkan adanya perbaikan sementara, tetapi efek jangka panjang masih dipertanyakan, terutama terkait moral hazard.

Tax Amnesty yang Diulang-Ulang 

Keberhasilan sementara dari program pertama tak lantas menjadi alasan kuat untuk melanjutkannya. Justru, pelaksanaan Tax Amnesty yang berulang kali menimbulkan berbagai risiko serius:

1. Mendorong Mentalitas “Nanti Diampuni Lagi”

Pola pikir seperti ini melemahkan semangat kepatuhan sukarela. Wajib pajak cenderung menunda atau menghindari kewajiban pajaknya, berharap akan ada “pengampunan jilid berikutnya”. Ini menciptakan moral hazard yang sistemik.

2. Ketidakadilan bagi Wajib Pajak Patuh

Mereka yang taat pajak merasa tidak dihargai. Sebaliknya, pelanggar malah diberi insentif dan kemudahan. Ini bertolak belakang dengan semangat keadilan fiskal dan dapat mengikis legitimasi sistem perpajakan di mata publik.

3. Melemahkan Wibawa Penegakan Hukum

Seringnya pemberian amnesti menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam penegakan hukum pajak. Konsekuensinya, rasa takut terhadap sanksi hukum melemah, dan upaya penegakan menjadi tidak efektif.

4. Inkonsistensi Kebijakan Fiskal

Pemerintah perlu menciptakan iklim kebijakan yang stabil dan dapat diprediksi. Tax Amnesty yang terus diulang memperlihatkan ketidakpastian dan mengganggu ekspektasi pelaku usaha dan investor.

5. Menggeser Fokus dari Reformasi Sistemik

Tax Amnesty seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan solusi rutin. Ketergantungan pada cara-cara instan seperti ini dapat mengalihkan perhatian dari reformasi struktural yang jauh lebih penting.

6. Risiko Penurunan Rasio Pajak Jangka Panjang

Program ini memang mampu meningkatkan penerimaan dalam waktu singkat. Namun, jika merusak fondasi kepatuhan, maka penerimaan jangka panjang dan rasio pajak terhadap PDB justru bisa stagnan atau bahkan menurun.

Strategi Meningkatkan Kepatuhan Pajak Secara Berkelanjutan

Daripada kembali mengandalkan Tax Amnesty, ada beberapa langkah strategis yang jauh lebih efektif untuk memperkuat sistem perpajakan:

1. Reformasi Perpajakan yang Komprehensif

Perlunya simplifikasi aturan perpajakan, peningkatan teknologi administrasi (seperti sistem Coretax), serta perbaikan layanan kepada wajib pajak agar lebih efisien dan transparan.

2. Penegakan Hukum yang Konsisten

Data dari amnesti sebelumnya sebaiknya dimanfaatkan untuk menindak tegas wajib pajak yang masih membandel. Penegakan hukum yang konsisten penting untuk membangun efek jera dan kepercayaan publik.

3. Ekstensifikasi dan Peningkatan Basis Pajak

Perluasan basis pajak ke sektor informal, UMKM, dan pelaku ekonomi digital menjadi keharusan di era ekonomi baru.

4. Peningkatan Edukasi dan Literasi Pajak

Edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya pajak akan membangun kesadaran dan budaya kepatuhan sejak dini.

5. Membangun Kepercayaan Publik

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara akan meningkatkan kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Jika rakyat percaya pajaknya digunakan dengan benar, maka kepatuhan pun akan meningkat.

Jangan Ulang Kesalahan yang Sama

Tax Amnesty memang bisa menjadi jalan pintas untuk mengejar penerimaan negara, tapi bukan solusi jangka panjang. Terlalu sering memberikan pengampunan justru dapat menghancurkan fondasi utama perpajakan: keadilan, kepatuhan, dan kepastian hukum.

Waktunya kita beralih ke strategi yang lebih berkelanjutan membangun sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak yang sehat bukanlah hasil dari pengampunan berkala, melainkan dari sistem yang dipercaya dan ditaati oleh semua.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

en_US