RPMK Kuasa Hukum Kembali ke Fitrah 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang akan menggantikan PMK Nomor 184/PMK.01/2017 tentang Kuasa Hukum dalam proses keberatan, banding, gugatan, dan peninjauan kembali di bidang perpajakan. Langkah ini merupakan turunan dari Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak. Namun, lebih dari sekadar regulasi administratif, RPMK ini menandai upaya penting mengembalikan peran Kuasa Hukum pada fitrahnya sebagai pihak profesional dan kredibel dalam mengawal keadilan pajak.

Salah satu terobosan paling signifikan dari RPMK ini adalah penekanan pada aspek legalitas dan keadilan. Jika sebelumnya ruang menjadi kuasa hukum terbuka lebar tanpa pengujian mendalam terhadap kompetensi di bidang pajak, maka kini diusulkan adanya kriteria yang lebih ketat dan berbasis bukti keahlian. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi para wajib pajak yang sedang mencari keadilan, karena perwakilan mereka akan ditangani oleh pihak yang memang memiliki kapasitas.

PMK 184/2017 dinilai terlalu longgar dalam menentukan siapa yang berhak menjadi kuasa hukum pajak. Asal memiliki surat kuasa dan memenuhi persyaratan administratif dasar, seseorang bisa mendampingi wajib pajak di pengadilan pajak, meskipun belum tentu memiliki kompetensi substantif di bidang perpajakan. Akibatnya, seperti jamur di musim hujan, muncul banyak kuasa hukum dadakan yang belum tentu profesional. RPMK ini menjadi filter penting untuk menjaga kualitas para pendamping wajib pajak.

Salah satu poin penting dalam RPMK adalah pengakuan terhadap Surat Keterangan Kompetensi (SKK) di bidang perpajakan dan sertifikat kepabeanan. SKK hanya dapat diterbitkan bagi mereka yang sudah mengantongi izin praktik konsultan pajak, sehingga secara otomatis memastikan bahwa para kuasa hukum memiliki fondasi keilmuan dan pengalaman yang memadai. Ini akan menciptakan standar profesionalisme baru yang lebih terukur dan kredibel.

Lex Specialis, Maka Harus Spesialis

Hukum pajak dikenal sebagai lex specialis, yaitu cabang hukum khusus yang memerlukan pemahaman mendalam dan berbeda dari hukum perdata atau administrasi umum. Dengan demikian, hanya mereka yang memang menekuni perpajakan secara spesifik yang layak menjadi kuasa hukum. RPMK ini mengembalikan semangat tersebut, di mana kualitas lebih diutamakan daripada sekadar kelengkapan formal.

Di era digital, administrasi yang rapi dan terstruktur bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga soal akuntabilitas. RPMK mewajibkan kuasa hukum memiliki catatan administrasi yang tertib, termasuk kewajiban pajaknya sendiri. Ini sekaligus menjadi contoh integritas pribadi yang akan tercermin dalam praktik profesionalnya. Bagaimana mungkin seseorang memperjuangkan hak wajib pajak lain jika kewajiban pajaknya sendiri tidak dipenuhi?

RPMK juga mengatur bahwa tingkatan izin kuasa hukum disesuaikan dengan tingkatan izin konsultan pajak. Hal ini menciptakan sinkronisasi yang penting antara otoritas hukum dan otoritas profesional, sekaligus membuka jalan untuk sistem klasifikasi dan spesialisasi yang lebih sehat dalam ekosistem perpajakan.

Membangun Ekosistem Perpajakan yang Sehat

Dengan lahirnya RPMK ini, diharapkan tercipta ekosistem perpajakan yang lebih sehat, adil, dan profesional. Para pencari keadilan akan merasa lebih aman karena didampingi oleh kuasa hukum yang benar-benar kompeten.

Sementara para kuasa hukum pun akan termotivasi untuk terus meningkatkan kapasitasnya sesuai jenjang dan spesialisasinya. RPMK ini bukan sekadar aturan baru, tetapi momentum untuk menata ulang fondasi profesi kuasa hukum pajak agar kembali ke fitrahnya: menegakkan keadilan dengan integritas dan kompetensi.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum IKPI dan Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak

Andreas Budiman

Email:andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

en_US