IKPI, Jakarta: Indonesia diganjar predikat sebagai negara paling transparan nomor dua di dunia dalam hal pelaporan belanja perpajakan. Kementerian Keuangan pun mengklaim pencapaian ini sebagai bukti nyata keberhasilan reformasi fiskal, meski kalangan legislatif meminta pemerintah tak terjebak dalam euforia.
Predikat bergengsi tersebut diberikan oleh Council on Economic Policies (CEP) bersama German Institute of Development and Sustainability (IDOS) lewat indeks Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI) tahun 2024.
Dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (17/7/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebut bahwa laporan belanja perpajakan Indonesia mendapat apresiasi tinggi secara internasional.
“Kami melakukan pelaporan belanja perpajakan setiap tahun dan laporan yang kami publikasikan dianggap cukup dihormati di tingkat global. Indonesia menempati posisi kedua dalam indeks transparansi belanja perpajakan dunia,” ujar Febrio.
Ia menambahkan, nilai belanja perpajakan Indonesia diperkirakan bakal menembus Rp500 triliun pada tahun 2025. Anggaran ini, kata Febrio, memberikan dampak langsung bagi rumah tangga, UMKM, dan sektor usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun di tengah pujian, muncul pula nada kritis. Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mempertanyakan klaim efisiensi tinggi dalam pengumpulan pajak yang disampaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengklaim bahwa kinerja lembaganya hanya kalah dari dua negara maju, yakni Amerika Serikat dan Australia. “Kalau dibandingkan dengan Filipina, India, bahkan China, kita sudah lebih efisien,” ujar Bimo.
Ia menjelaskan bahwa biaya pengumpulan pajak (cost of tax collection) Indonesia kini berada di bawah 1 persen terhadap PDB. Ini dinilai sebagai indikator bahwa DJP bisa menghasilkan penerimaan pajak triliunan rupiah dengan anggaran yang relatif kecil.
Namun Misbakhun mengingatkan bahwa efisiensi bukan berarti pengorbanan nol. “Tidak ada rumus dalam teori ekonomi bahwa hasil optimal bisa dicapai tanpa pengorbanan. Untuk mencapai penerimaan yang optimal, tentu tetap harus ada investasi,” katanya mengkritik klaim sepihak DJP.
Transparansi yang meningkat dan efisiensi yang diklaim pemerintah patut diapresiasi, namun tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa insentif dan kebijakan fiskal benar-benar berdampak positif bagi rakyat dan bukan sekadar angka manis di atas kertas. (alf)