IKPI, Jakarta: Pemerintah membuka ruang bagi Wajib Pajak untuk membenahi kesalahan pelaporan pajak sebelum berhadapan dengan proses hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022, yang menjadi perluasan atas mekanisme pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan isi Surat Pemberitahuan (SPT).
Dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa Wajib Pajak yang sedang dikenai tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat mengungkapkan secara tertulis ketidakbenaran perbuatannya. Hal ini berlaku jika Wajib Pajak:
• tidak menyampaikan SPT; atau
• menyampaikan SPT yang tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar.
Syarat utama pengungkapan ini adalah belum dimulainya proses penyidikan yang diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik kepolisian.
Ayat (2) mengatur bahwa pengungkapan ini berlaku baik atas pelanggaran yang berdiri sendiri maupun yang terkait dengan tindak pidana perpajakan lainnya, selama tidak termasuk pelanggaran dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c dan d, ayat (3), Pasal 39A, Pasal 43 UU KUP, serta Pasal 24 dan 25 UU PBB.
Agar sah, ayat (3) mewajibkan pengakuan tertulis ini disertai:
• penghitungan kekurangan pajak terutang,
• bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak (SSP),
• dan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sesuai Pasal 8 ayat (3a) UU KUP.
Ayat (4) menegaskan bahwa pembayaran pajak dan dendanya merupakan bentuk pemulihan terhadap kerugian pendapatan negara.
Apabila pengakuan tersebut benar, ayat (5) menyatakan Wajib Pajak tidak akan diproses ke tahap penyidikan. Namun, ayat (6) memperingatkan bahwa jika kemudian ditemukan data yang tidak sesuai dengan isi pengakuan, maka Pemeriksaan Bukti Permulaan tetap dapat dilakukan kembali untuk periode dan jenis pajak yang sama.
Sementara itu, Pasal 8 mengatur mekanisme serupa namun dalam konteks Pemeriksaan biasa. Ayat (1) memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang tengah diperiksa untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT secara tertulis, selama hasil pemeriksaan belum disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pengakuan ini, sebagaimana ayat (2), harus dilampiri dengan:
• penghitungan ulang jumlah pajak kurang bayar,
• Surat Setoran Pajak atas kekurangan bayar tersebut,
• dan Surat Setoran Pajak atas bunga administrasi sesuai Pasal 8 ayat (5) UU KUP.
Meski pengakuan telah dilakukan, ayat (3) menyebutkan bahwa pemeriksaan tetap dilanjutkan untuk membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Hasilnya akan dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak yang mempertimbangkan laporan Wajib Pajak.
Namun, bila terbukti bahwa pengakuan tersebut tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, ayat (4) menyatakan bahwa ketetapan pajak tetap akan diterbitkan sesuai dengan temuan pemeriksaan.
Pemerintah menegaskan dalam ayat (5) dan (6) bahwa Surat Setoran Pajak atas pelunasan pokok pajak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak, sedangkan pembayaran bunga menjadi bukti pemenuhan sanksi administratif.
Ketentuan teknis lebih lanjut terkait tata cara pengakuan tertulis ini akan diatur dalam Peraturan Menteri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (7) dan Pasal 8 ayat (7).
Dengan PP ini, pemerintah memberi kesempatan koreksi secara jujur dan sukarela bagi Wajib Pajak, sembari tetap menjaga integritas proses hukum bagi pelanggar yang tidak kooperatif. Ini menjadi jalur administratif untuk pemulihan pendapatan negara tanpa harus langsung masuk ke jalur pidana. (alf)