IKPI, Jakarta: Kalangan pengusaha di sektor logistik turut mengamini adanya potensi kenaikan biaya logistik setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu.
Direktur Utama PT Lookman Djaja Logistic Kyatmaja Lookman mengatakan, potensi kenaikan beban biaya itu dari sisi bertambahnya tenaga perpajakan yang harus di rekrut oleh pengusaha logistik, karena PMK itu mewajibkan pengusaha sebagai pemungut PPN.
“Mekanisme PPN kan butuh tenaga perpajakan yang andal ya karena terkait dengan pelaporan pajak, tentunya menambah kompleksitas usaha karena perlu pegawai yang kompeten untuk mengurusi hal itu,” kata Lookman seperti dikutip dari CNBC Indonesia, dikutip Selasa (20/6/2023).
Bagi perusahaan-perusahaan yang sudah besar, menurutnya tidak akan terbebani dari kewajiban pemungutan tersebut, lantaran sudah terbiasa dengan pembukuan. Namun, ia berpendapat, PMK itu akan sangat memengaruhi perusahaan-perusahaan logistik kecil.
“Untuk perusahan besar yang sudah terbiasa dengan pembukuan saya rasa tidak terlalu masalah, akan tetapi kalau untuk perusahan kecil yang menggunakan norma hal ini akan menambah kompleksitas usaha dan secara otomatis menambah biaya,” ungkapnya.
Kendati begitu, ia menekankan, secara umum pengusaha logistik akan tetap terbebani biaya tambahan akibat dampak PMK ini, sebab dalam ketentuannya di pasal 5, pengusaha kena pajak di sektor itu tidak dapat mengkreditkan pajak masukkan atas perolehan barang kena pajak, jasa kena pajak, hingga impor barang kena pajak.
“Itu dia apalagi jika tidak bisa dikreditkan kan ya, yang jelas akan menambah kompleksitas usaha transaksi di sektor logistik kan juga banyak ya dan jumlahnya terkadang kecil-kecil volumenya yang banyak. Nah tentunya ini kan membutuhkan pemrosesan ya,” ucap Lookman.
Lembaga penelitian dan pengembangan logistik, Supply Chain Indonesia (SCI) sebelumnya juga memperkirakan biaya logistik akan naik seiring dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.03/2022.
Ketentuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu pada peraturan itu antara lain mengatur secara spesifik jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang berdasarkan catatan SCI dikenakan PPN sebesar 10% x 11% x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau 1,1% x DPP.
Senior Consultant SCI Zaroni mengatakan berdasarkan peraturan itu, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memungut Pajak Keluaran (PK) tidak dapat melakukan kredit dengan PPN Pajak Masukan (PM).
“Sehingga semua PM atas perolehan barang dan jasa kena pajak bagi perusahaan Penyedia Jasa Logistik (PJL) berubah menjadi biaya,” ujar dia dikutip dari siaran pers, Senin (19/6/2023).
Oleh sebab itu, dia berpendapatan ketentuan ini berpotensi meningkatkan beban biaya, penurunan laba, dan kesulitan dalam pengaturan cash flow, karena PJL membayar perolehan barang dan jasa kena pajak lebih besar atas PM yang tidak dapat dikreditkan, sehingga berpotensi menaikkan biaya logistik secara agregat.
Namun, Zaroni mengakui kebijakan ini didasari dari masih banyaknya perusahaan di sektor logistik atau kurir yang belum menjadi pengusaha kena pajak, sehingga perusahaan itu tidak dapat dikenakan pajak masukan dan keluaran. Oleh karena itu, ia memahami peraturan baru ini harus diterbitkan Sri Mulyani. (bl)