IKPI, Jakarta: Dalam diskusi panel yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025), mantan Direktur Penegakan Hukum DJP 2017–2021, Yuli Kristiyono, memaparkan pentingnya pemeriksaan bukti permulaan (bukper) sebagai pintu masuk utama dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia.
Mengangkat tema “Upaya Penegakan Hukum dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak”, Yuli menegaskan bahwa proses pemeriksaan bukper bukan sekadar tahapan administratif, melainkan merupakan fondasi penting sebelum masuk ke tahap penyidikan tindak pidana pajak.
“Pasal 43A ayat (1) UU KUP memberikan mandat kuat bagi DJP untuk melakukan pemeriksaan bukper berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP). Proses ini menyetarakan kedudukannya dengan penyelidikan dalam hukum pidana umum,” kata Yuli.
Yuli menjabarkan landasan hukum yang menjadi acuan pemeriksaan bukti permulaan, antara lain:
• Pasal 43A UU KUP yang menegaskan wewenang DJP,
• PP No. 50 Tahun 2022, serta
• PMK dan Surat Edaran terkait.
Menurutnya, prosedur bukper dijalankan secara terstruktur melalui rangkaian tahapan mulai dari penelaahan intelijen, penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (SPPBP), hingga pengumpulan bukti oleh Pejabat Penyidik PNS DJP.
Kewenangan Lengkap Penyidik
Pemeriksa memiliki kewenangan luas dalam proses bukper, mulai dari meminjam dan memeriksa dokumen, mengakses sistem elektronik, melakukan penyegelan, hingga meminta keterangan dari pihak ketiga dan ahli.
“Kewenangan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memastikan keadilan fiskal ditegakkan secara profesional dan sah secara hukum,” ujar Yuli.
Adapun durasi pemeriksaan bukper, menurut Yuli, bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup, dengan waktu maksimal 12 bulan, dan bisa diperpanjang dengan mempertimbangkan daluwarsa dan progres kasus. Tindak lanjutnya dapat berupa penyidikan jika ditemukan bukti kuat, atau penghentian bila tak ditemukan unsur pidana.
Dalam hal berlanjut ke penyidikan, proses akan melibatkan tindakan paksa seperti pemanggilan, penggeledahan, penyitaan, pemblokiran harta kekayaan, hingga pelacakan aliran dana, termasuk potensi pidana pencucian uang (TPPU).
“Kita tidak hanya bicara soal pajak yang tidak dibayar, tapi juga bagaimana aset hasil kejahatan pajak bisa dilacak dan dikembalikan untuk negara,” tegasnya.
Yuli menekankan bahwa pemeriksaan bukper bukan sekadar instrumen hukum, melainkan mekanisme pembuktian yang menjunjung tinggi keadilan, baik bagi negara maupun wajib pajak.
“Jika dilakukan secara adil dan profesional, bukper akan menjadi pilar penting dalam menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan, kredibel, dan berkontribusi nyata terhadap penerimaan negara,” ungkapnya. (bl)