Bolehkan Wajib Pajak merekam pertemuan dengan petugas pajak?, pertanyaan ini terus mengemuka, terutama ketika Wajib Pajak dihadapkan pada proses klarifikasi, tanggapan atas SP2DK, hingga pemeriksaan pajak. Beberapa petugas pajak secara spontan melarang perekaman, dengan dalih tidak ada aturan eksplisit yang membolehkan. Namun, benarkah tidak boleh?
Fakta hukum yang jarang disorot adalah: tidak ada satu pun ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara eksplisit melarang Wajib Pajak merekam audio atau video saat berinteraksi dengan petugas pajak. Justru, terdapat regulasi internal DJP yang mewajibkan petugas untuk melakukan perekaman dalam situasi-situasi tertentu sebuah sinyal bahwa perekaman dianggap penting dalam menjamin objektivitas dan akuntabilitas.
Regulasi internal DJP, seperti Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-12/PJ/2016, menyatakan secara eksplisit bahwa pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:
• Petugas harus melakukan perekaman audio dan/atau visual,
• Petugas harus memberitahukan Wajib Pajak tentang adanya perekaman, dan
• Rekaman menjadi bagian tak terpisahkan dari berita acara pembahasan.
Selain itu, PER-07/PJ/2017 menegaskan bahwa pertemuan antara pemeriksa dan Wajib Pajak harus dilakukan di ruangan yang dilengkapi alat perekam suara dan gambar. Ini menegaskan bahwa dari sisi internal, DJP mengakui pentingnya dokumentasi untuk memastikan transparansi.
Meski peraturan internal jelas, masih banyak petugas yang melarang Wajib Pajak merekam pertemuan. Beberapa alasan yang sering dikemukakan antara lain:
• Kerahasiaan data – Pertemuan sering membahas informasi sensitif yang harus dilindungi, terutama pasca berlakunya UU Perlindungan Data Pribadi.
• Risiko penyalahgunaan – Rekaman dapat dipotong atau disebarkan di luar konteks, membuka potensi pemerasan atau pencemaran nama baik.
• Etika dan suasana diskusi – Perekaman dapat mengganggu kenyamanan dan membuat pihak yang direkam menjadi kaku atau tidak terbuka.
• Prosedur internal KPP – Beberapa KPP mengacu pada surat dinas seperti Nota Dinas Nomor ND-1/PJ/PJ.09/2024, meskipun ini bukan peraturan hukum yang mengikat publik.
Apakah Wajib Pajak Berhak Merekam?
Secara prinsip: Ya. Wajib Pajak boleh merekam, asalkan tidak mengganggu jalannya diskusi, tidak melanggar hukum, dan dilakukan dengan itikad baik. Tidak adanya larangan eksplisit dalam UU KUP adalah ruang hak yang patut dimanfaatkan.
Bahkan, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan lain, posisi hukum Wajib Pajak cukup kuat:
• UU KUP menegaskan hak Wajib Pajak untuk mendapatkan penjelasan dan mengajukan keberatan. Rekaman dapat menjadi alat bantu untuk mengingat, mendokumentasi, bahkan membela diri.
• UU KIP mengandung semangat keterbukaan, yang relevan dalam hubungan antara warga negara dan institusi publik.
• UU ITE (terbaru) menyatakan bahwa dokumen elektronik dan rekaman adalah alat bukti sah, selama diperoleh secara legal.
• Prinsip audi alteram partem dalam hukum acara mengharuskan adanya ruang pembuktian dan pendokumentasian dari semua pihak.
Jika dilakukan dengan izin dan cara yang tepat, rekaman pertemuan memiliki sejumlah manfaat penting:
- Akuntabilitas dua arah – Tidak hanya petugas yang terawasi, tapi juga Wajib Pajak.
- Membantu ingatan – Diskusi pajak sering teknis dan padat; rekaman membantu dokumentasi.
- Bukti jika sengketa – Berguna saat keberatan atau banding.
- Cegah salah paham – Semua diklarifikasi dari rekaman, bukan sekadar ingatan.
Dorong transparansi institusional – Membangun kepercayaan antara Wajib Pajak dan DJP.
Rekomendasi untuk Wajib Pajak
Meski hak merekam itu sah secara prinsip, etika komunikasi tetap penting. Berikut tips agar hak ini dapat digunakan secara bijak:
• Minta izin terlebih dahulu. Sampaikan maksud dengan sopan dan jelas.
• Jika ditolak, tanyakan alasannya dan pastikan apakah ada dasar hukumnya.
• Pertimbangkan untuk membawa konsultan pajak atau kuasa hukum sebagai pendamping dan pencatat resmi.
• Jangan menyebarkan rekaman tanpa izin, karena bisa melanggar hukum pidana atau perdata.
• Gunakan rekaman hanya untuk tujuan pembuktian atau pelindungan hak, bukan publikasi sensasional.
Perekaman dalam pertemuan pajak bukanlah praktik yang tabu atau ilegal. Justru, dalam banyak hal, ia dapat berperan sebagai alat penting dalam menjamin keadilan, transparansi, dan profesionalisme hubungan antara Wajib Pajak dan fiskus. Tidak ada yang perlu disembunyikan jika proses dijalankan dengan benar dan sesuai hukum.
Sudah saatnya kita melihat perekaman bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai jembatan menuju kepastian hukum dan perlindungan hak Wajib Pajak.
Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung
Teten Dharmawan
Email:tetendharmawan@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.