Mengkaji Kembali Ketentuan Pengenaan Pajak Penghasilan Final

Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia saat ini memberlakukan 2 (dua) cara dalam menghitung PPh yaitu dari penghasilan neto dikalikan dengan tarif umum berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan dari penghasilan bruto dikalikan dengan tarif khusus serta bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri sesuai delegasi Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Disebut dengan PPh Final karena setelah pelunasannya, baik melalui pemotongan oleh pihak lawan transaksi maupun penyetoran sendiri oleh Wajib Pajak, penghasilan dimaksud tidak digabungkan lagi dengan penghasilan-penghasilan lainnya yang dikenakan PPh dengan tarif umum pada akhir tahun pajak pada waktu pelaporan SPT Tahunan. PPh Final diberlakukan terhadap beberapa jenis penghasilan dari usaha tertentu termasuk antara lain perusahaan pengembang perumahan (real estate), persewaan tanah dan bangunan (property), dan jasa konstruksi (construction). Selain itu PPh Final juga diterapkan terhadap Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp.4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak. Pertimbangan Pemerintah dalam pengenaan PPh Final umumnya adalah untuk kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pajak.

PPh Final tidak mencerminkan keadilan

Menurut John Stuart Mill (1930), prinsip daya pikul atau kemampuan membayar (ability to pay principle) adalah formulasi keadilan yang paling realistis dalam pemajakan. Ability to pay dicerminkan dengan basis pemajakan penghasilan neto yaitu penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh penghasilan tersebut. Dengan menjadikan penghasilan bruto sebagai dasar pengenaan PPh Final, maka tanpa melihat besar kecilnya penghasilan neto, bahkan dalam kondisi penghasilan neto minus atau rugi, Wajib Pajak tetap harus membayar pajak. Kondisi ini tentu tidak adil. Contohnya, bagi perusahaan-perusahaan yang penghasilannya terkena PPh Final dan terdampak Covid-19 berakibat berpotensi  mengalami kerugian  secara neto dalam tahun 2020, perusahaan-perusahaan tersebut tetap wajib membayar PPh yang dikenakan atas setiap penjualan atau penghasilan bruto.

Dengan pengenaan PPh Final dari penghasilan bruto, Wajib Pajak yang mampu menghasilkan persentase laba atau penghasilan neto besar akan diuntungkan dari sisi penghematan membayar PPh dibandingkan dengan Wajb Pajak yang hanya mampu menghasilkan persentase laba neto kecil, apalagi terhadap perusahaan rugi yang seharusnya tidak wajib membayar pajak. Hal ini menyimpang dari prinsip keadilan horizontal (horizontal equity) yang menghendaki bahwa Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang sama membayar pajak dalam jumah yang sama dan juga tidak sesuai dengan prinsip keadilan vertikal (vertical equity) yang menghendaki pembayaran pajak semakin besar seiring dengan semakin besarnya penghasilan (Musgrave and Musgrave, 1989).

Diskriminasi Pemajakan Terhadap Jenis-jenis Penghasilan Tertentu

Pengaturan PPh Final yang berbasis penghasilan bruto dan dikenakan tarif pajak tersendiri berbeda dengan tarif umum bertentangan dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith dan melanggar prinsip non-diskriminasi dalam hukum (Santoso Brotodihardjo, 1982). Hal tersebut juga merupakan penyimpangan dari prinsip keadilan bahwa penghasilan seyogianya dipajaki dengan cara yang sama tanpa membeda-bedakan sumber, jenis dan cara memperolehnya (John G.Head, dkk, 2014).

Pengenaan PPh Final akan mengakibatkan Wajib Pajak kehilangan beberapa hak perpajakan yang diberikan oleh UU PPh. Misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi kehilangan hak untuk mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Demikian pula Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi kriteria wajib menyelenggarakan pembukuan kehilangan hak untuk mengompensasikan kerugian selama 5 (lima) tahun bertutut-turut mulai tahun pajak berikutnya. Selain itu, perusahaan masuk bursa (go public) tetapi seluruh penghasilannya terkena PPh Final yang memperdagangkan saham sedikitnya  40%

dari jumlah modal disetor dan memenuhi persyaratan lainnya, tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif lebih rendah dari tarif umum yang diberikan oleh Undang-undang. Hal ini tentu merupakan perlakuan diskriminatif yang menyebabkan ketidakadilan di antara perusahaan masuk bursa yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengurangan tarif. Selanjutnya terdapat diskriminasi perlakuan di mana imbalan kepada pegawai dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan yang dikenakan pajak secara final merupakan objek PPh bagi pegawai yang menerimanya, sedangkan hal tersebut tidak berlaku bagi karyawan  perusahaan di berbagai industri yang penghasilannya tidak dikenai PPh Final.

Diskriminasi juga terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah menurunkan PPh Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% pada tahun 2020. Penurunan tarif tersebut tidak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang terkena PPh Final. Demikian pula beberapa fasilitas PPh Dalam Rangka Penanganan Covid-19 antara lain pembelian kembali (buy back) saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia terkait dengan pemenuhan persyaratan dalam rangka memperoleh tarif PPh Badan sebesar 3% lebih rendah tidak berlaku dan tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan go public yang penghasilannya dikenakan PPh Final.

Ketentuan Pengenaan PPh Final Perlu Ditinjau Kembali

Pemerintah perlu mengkaji kembali pengenaan PPh Final berbasis penghasilan bruto dengan tarif tersendiri menjadi PPh berbasis penghasilan neto dengan tarif umum, khususnya bagi Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan perpajakan wajib   menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat sektor usaha. Dengan perusahaan mampu dan wajib menyelenggarakan pembukuan seyogianya PPh dapat dihitung dari penghasilan neto, tidak lagi dari penghasilan bruto.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang masih menerapkan pengenaan PPh Final bagi usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 milyar dalam 1 (satu) tahun pajak tetapi dibatasi hingga beberapa tahun pajak mencerminkan pemerintah menyadari realita bahwa belum semua Wajib Pajak Orang Pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan yang menghasilkan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba/rugi. Kebijakan tersebut dapat dipandang tepat untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum wajib pembukuan karena diberikan semacam masa tenggang untuk mereka belajar memahami pembukuan. Namun demikian, pemerintah maupun organisasi profesi akuntan perlu memikirkan pedoman atau standar akuntansi sederhana agar Wajib Pajak Orang Pribadi tidak terlalu sulit untuk memenuhi kewajiban penyelenggaraan pembukuan.

Terakhir, pemerintah seyogianya tidak lagi memberlakukan pengenaan PPh Final bagi Wajib Pajak Badan yang berdasarkan ketentuan perpajakan telah diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tanpa melihat jumlah peredaran bruto dan tanpa membedakan jenis dan sektor usaha.

Dr. Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax

Kualifikasi Pendidikan
Pekerjaan saat ini
Kegiatan Mengajar

Apr 2005 – sekarang Dosen tidak tetap pada Program Reguler Magister Manajemen (MM) – Prasetiya Mulya Business School (PMBS),

Mata kuliah : Taxation

Keanggotaan Organisasi / Kegiatan lainnya
Sharing is caring
en_US