IKPI, Jakarta: Pemanfaatan data transaksi keuangan dalam penegakan hukum pajak merupakan langkah krusial untuk menutup kesenjangan penerimaan negara. Hal ini ditegaskan Yunus Husein, Kepala PPATK periode 2002–2010, dalam diskusi panel di Gedung IKPI Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).
Yunus menyebut, hingga kini hanya sekitar 50–60% potensi penerimaan pajak yang tergali di Indonesia. “Berarti ada gap 40–50% yang belum terjangkau. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas data dan visibilitas aktivitas ekonomi wajib pajak,” katanya, merujuk pada laporan Bank Dunia 2018 dan OECD 2022.
Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa transaksi keuangan dapat dimanfaatkan untuk menjerat pelanggaran pajak, mulai dari transaksi mencurigakan (STR), transaksi tunai di atas Rp500 juta, hingga transfer lintas batas. Laporan tersebut wajib disampaikan oleh berbagai pihak, mulai dari bank, notaris, pengacara, hingga dealer mobil dan agen properti.
“STR yang bobotnya paling berat, bisa jadi bahan analisis utama. Misalnya ada pejabat berpenghasilan Rp10 juta, tapi bayar premi unit link Rp750 juta. Itu langsung ditandai sebagai transaksi mencurigakan,” ungkap Yunus.
Ia juga menjelaskan empat produk utama PPATK Informasi, Laporan Hasil Analisis (LHA), Laporan Pemeriksaan, dan Rekomendasi yang bisa digunakan oleh DJP dalam penyidikan pajak. Bahkan, berdasarkan Inpres No. 2 Tahun 2017, lembaga-lembaga penegak hukum diminta menindaklanjuti hasil analisis dan menyampaikan perkembangan kasus kepada PPATK.
Sayangnya, lanjut Yunus, pelaksanaan Inpres tersebut belum optimal. “Dari semua laporan hasil analisis PPATK, tidak sampai 50 persen yang ditindaklanjuti. Ini sangat disayangkan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya penyidik pajak memahami modus pencucian uang seperti layering, structuring, hingga transaksi U-turn, agar lebih peka saat menemukan pergerakan dana mencurigakan. “Banyak penyidik melihat uang muter-muter saja tapi tidak tahu itu apa. Padahal itu bagian dari skema pencucian uang,” jelasnya.
Dengan sistem Cortex yang kini mulai berjalan, Yunus berharap sinergi antara DJP dan PPATK makin kuat. “Kalau datanya tajam dan dibaca dengan cermat, maka pelanggaran pajak dan pencucian uang tidak akan bisa lagi bersembunyi,” ujarnya. (bl)