IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2017–2021, Yuli Kristiyono, menegaskan pentingnya penegakan hukum perpajakan yang tidak semata-mata represif, namun tetap berkeadilan, transparan, dan berlandaskan asas kepastian hukum. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak” yang diselenggarakan di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).
Dalam paparannya, Yuli membeberkan bahwa penegakan hukum bukan hanya soal menghukum, tetapi juga memiliki delapan tujuan utama, yaitu:
• Membangun kepatuhan wajib pajak
• Menciptakan keadilan perpajakan
• Memberikan kepastian hukum
• Melindungi wajib pajak yang patuh
• Mengamankan penerimaan negara
• Memulihkan kerugian pendapatan negara
• Menciptakan efek jera
• Membangun integritas sistem perpajakan
“Penegakan hukum perpajakan harus menyasar dua hal sekaligus: edukasi dan koreksi. Tidak bisa semuanya dipidana, karena tujuan utamanya adalah membuat ekosistem kepatuhan yang berkelanjutan,” ujar Yuli yang juga pernah menjabat Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi SDM DJP.
Tahapan Penegakan Hukum
Ia menegaskan bahwa dalam praktiknya, penegakan hukum perpajakan dilakukan secara bertahap, dimulai dari edukasi dan pelayanan oleh penyuluh pajak, dilanjutkan dengan pengawasan, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, hingga penuntutan dan eksekusi.
“Langkah DJP itu tidak langsung represif. Ada proses edukatif dan administratif yang ditempuh terlebih dahulu sebelum penyidikan,” tegas Yuli.
Ancaman Sanksi
Dalam sesi panel tersebut, Yuli juga mengulas bentuk-bentuk sanksi yang dikenakan atas pelanggaran ketentuan perpajakan. Sanksi ini dibagi menjadi empat jenis:
• Sanksi Bunga, seperti keterlambatan bayar atau pembetulan SPT.
• Sanksi Denda, seperti tidak menyampaikan SPT, atau pengisian faktur pajak yang tidak lengkap.
• Sanksi Kenaikan, seperti pemotongan pajak yang tidak disetor.
• Sanksi Pidana, untuk pelanggaran karena kelalaian (Pasal 38 UU KUP) dan kesengajaan (Pasal 39, 39A UU HPP).
Dielaskannya, bagi wajib pajak yang melakukan pelanggaran namun masih beritikad baik, UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) memberikan ruang untuk pengungkapan ketidakbenaran sebelum proses pidana dimulai, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (3) dan (3a).
Pegawai Pajak Juga Bisa Dijerat
Yuli juga menyoroti bahwa pegawai DJP tidak luput dari jeratan hukum. Berdasarkan Pasal 43A UU HPP, jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana perpajakan yang melibatkan petugas DJP, maka Menteri Keuangan dapat menugaskan unit pemeriksa internal untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Jika terbukti korupsi, maka kasus akan diserahkan ke aparat penegak hukum lainnya.
Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang adil dan berintegritas, agar wajib pajak tidak merasa menjadi korban dari sistem yang tidak konsisten.
“Penegakan hukum bukan tujuan akhir, melainkan jembatan menuju sistem pajak yang dipercaya. Di situlah kita bisa bicara tentang penerimaan yang berkelanjutan,” pungkasnya. (bl)