Korporasi Kini Bisa Dipidana Pajak dan Dikenai TPPU, Yunus Husein: Saatnya Berburu di Hutan Pajak

IKPI, Jakarta: Penegakan hukum di bidang perpajakan mengalami kemajuan penting dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam menyasar korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dijerat pidana. Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002–2010, Yunus Husein, dalam diskusi panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum Dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak”, yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yunus menyebut bahwa perkembangan paling signifikan dalam penegakan hukum pajak adalah keberanian otoritas fiskal memproses badan hukum yakni wajib pajak korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan. Menurutnya, paradigma lama yang hanya menyasar individu wajib pajak mulai ditinggalkan.

“Sekarang, wajib pajak korporasi sudah mulai diproses sebagai subjek hukum. Ini bukan hanya karena putusan Mahkamah Agung tahun 2014 yang menegaskan bahwa Pasal 39 Undang-Undang KUP juga berlaku untuk badan, tapi juga karena keberanian fiskus menggunakan instrumen TPPU,” ujar Yunus.

Ia mencontohkan bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini mulai menggabungkan pendekatan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terutama Pasal 3, 4, dan 5, untuk membongkar skema pelanggaran pajak yang terorganisir dan kompleks.

Perampasan Aset Tanpa Terdakwa 

Salah satu pendekatan yang kini banyak digunakan, menurut Yunus, adalah mekanisme non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa kehadiran atau status hukum terdakwa), sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU TPPU dan ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013.

“Kalau wajib pajak melarikan diri atau bahkan sudah meninggal, asetnya tetap bisa dirampas. Tidak perlu menunggu terdakwa diadili dan divonis bersalah. Ini penting untuk mencegah penghilangan barang bukti dan memulihkan kerugian negara lebih cepat,” jelasnya.

Meski demikian, Yunus mengakui masih ada hambatan implementasi di lapangan. Contohnya dalam kasus wajib pajak yang meninggal dunia, sebagian pengadilan masih ragu menyamakan status hukum dengan buron. Padahal, menurutnya, keduanya sama-sama tidak bisa hadir, dan karena itu pendekatan non-conviction tetap relevan.

Yunus juga mendorong agar aparat penegak hukum lebih berani menggunakan mekanisme in absentia penyidikan dan persidangan tanpa kehadiran terdakwa yang telah diperbolehkan oleh UU HPP maupun UU TPPU.

“Jangan ragu menindak meski wajib pajaknya tidak hadir. Banyak kasus besar seperti Hartawan Aluwi, Bank Century, dan kasus-kasus pajak fiktif, bisa tetap diproses meski pelaku tidak muncul,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyayangkan masih rendahnya tingkat tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari PPATK oleh instansi penegak hukum, termasuk DJP.

“Dari ribuan laporan yang kami kirim ke instansi pajak, belum sampai 50 persen yang ditindaklanjuti. Padahal, sebagian besar sudah mengandung indikasi pidana perpajakan yang serius,” ungkapnya.

Jangan Lagi Berburu di Kebun Binatang

Dalam konteks penerimaan negara, Yunus menyoroti bahwa tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10%, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Vietnam, atau bahkan Filipina.

Ia mengkritik kebiasaan fiskus yang terlalu fokus pada wajib pajak lama dan terus-menerus “memelototi” Surat Pemberitahuan (SPT) dari pihak yang sama, tanpa menggali potensi pajak dari sektor dan entitas baru.

“Mantan Kabareskrim Polri, Pak Susno Duaji pernah bilang ini seperti ‘berburu di kebun binatang’. Sudah pasti ketemu, tapi ya itu-itu saja. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian berburu di hutan wajib pajak baru, perusahaan besar, aset-aset gelap yang belum tergali,” ujar Yunus.

Ia menegaskan bahwa sebagian besar potensi penerimaan negara belum tergali secara optimal. Banyak wajib pajak yang selama ini lolos dari radar pengawasan, khususnya dalam bentuk entitas bisnis yang belum memiliki riwayat pelaporan pajak, namun aktif dalam transaksi keuangan bernilai besar.

Yunus menekankan bahwa sinergi antara DJP, PPATK, Kejaksaan, dan Kepolisian menjadi kunci untuk meningkatkan penegakan hukum yang berdampak langsung pada penerimaan negara. Ia juga mengingatkan kembali keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2017 yang mewajibkan instansi penegak hukum menindaklanjuti laporan dari PPATK serta melaporkan hasilnya ke Presiden.

“Pajak adalah tulang punggung keuangan negara. Kalau kita tidak serius menindak pelanggaran pajak dengan instrumen hukum yang tersedia, bagaimana kita bisa membangun tanpa utang?,” kata Yunus. (bl)

 

en_US