Konsultan Pajak: Garda Terdepan yang Belum Punya Payung Hukum

Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kebijakan fiskal Indonesia menampilkan nuansa berbeda: bukan dengan menaikkan tarif pajak baru, melainkan lewat penajaman basis pajak dan penguatan kepatuhan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa penerimaan negara akan digali dari wilayah yang masih “abu-abu”, bukan sekadar menambah beban baru bagi masyarakat. 


Dalam kerangka reformasi ini, profesi konsultan pajak yang selama ini berada di garis terdepan mendampingi wajib pajak justru belum memperoleh payung hukum setara dengan profesi sejenis seperti akuntan publik atau advokat. Padahal tanpa kehadiran mereka yang terlindungi secara regulasi, strategi penguatan kepatuhan berisiko lemah.

Konsultan pajak bukan sekadar “pembantu hitung pajak.” Dalam sistem hukum Indonesia, kedudukannya diakui sebagai pihak yang dapat memberikan jasa profesional kepada Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Pengakuan ini secara eksplisit tercantum dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyebut “Wajib Pajak dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.”

Penjelasan pasal tersebut memberikan ruang bagi profesi Konsultan Pajak untuk bertindak sebagai kuasa hukum pajak (tax representative). Artinya, peran mereka memiliki dasar dalam hukum nasional—namun belum dijabarkan lebih lanjut melalui undang-undang profesi tersendiri sebagaimana halnya advokat (UU No. 18 Tahun 2003), akuntan publik (UU No. 5 Tahun 2011), atau notaris (UU No. 2 Tahun 2014).

Saat ini, pengaturan rinci profesi tersebut masih bergantung pada dua peraturan turunan Kementerian Keuangan, yakni:
1. PMK No. 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak, yang mengatur jenjang izin (A, B, C), syarat pendidikan, ujian sertifikasi, kode etik, dan kewajiban Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL); dan
2. PMK No. 175/PMK.01/2022 yang memperbarui tata cara izin praktik serta pengawasan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK).

Kedua regulasi itu penting sebagai landasan administratif, tetapi karena berada di bawah hierarki undang-undang, posisinya belum memberikan kepastian hukum yang kuat terhadap tanggung jawab profesional dan perlindungan hukum bagi konsultan pajak, hak dan perlindungan bagi wajib pajak yang menggunakan jasa mereka, serta mekanisme disiplin dan sanksi yang memiliki daya paksa setara undang-undang.

Dalam praktik, peran konsultan pajak di Indonesia mencakup tiga fungsi strategis utama:
1. Fungsi Kepatuhan Administratif: membantu Wajib Pajak dalam advis atau nasihat dalam menyusun pembukuan, menghitung pajak terutang, menyiapkan dan melaporkan SPT, serta memastikan kepatuhan terhadap jadwal dan ketentuan DJP.
2. Fungsi Representatif dan Advokasi Fiskal: mendampingi wajib pajak dalam pemeriksaan, keberatan, hingga banding di Pengadilan Pajak.
3. Fungsi Edukatif dan Preventif: menjadi penerjemah regulasi dan pendamping pelaku usaha agar memahami hak dan kewajiban perpajakan mereka secara berkeadilan.

Secara internasional, banyak negara telah memiliki undang-undang profesi pajak:
– Jerman memiliki Steuerberatungsgesetz (Tax Consultancy Act) dengan lisensi nasional dan pengawasan ketat.
– Australia menerapkan Tax Agent Services Act 2009 (TASA) yang membentuk Tax Practitioners Board.
– Jepang dan Korea Selatan mengatur profesi ini dalam kerangka hukum tersendiri dengan kewajiban sertifikasi dan pembaruan kompetensi.

Negara-negara tersebut menunjukkan tingkat kepatuhan pajak di atas 90% (OECD, 2023). Sementara di Indonesia, tingkat kepatuhan formal SPT Tahunan 2024 baru mencapai 85,75% (DJP, 2025).

Karena itu, pembentukan Undang-Undang Konsultan Pajak bukan hanya kebutuhan profesi, melainkan kebutuhan sistem fiskal nasional. UU ini akan memperjelas peran, tanggung jawab, dan pengawasan konsultan pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik terhadap sistem pajak.

Reformasi pajak bukan hanya soal tarif atau teknologi, tetapi soal kepercayaan. Kepercayaan itu tumbuh bila aturan jelas, penegakan adil, dan pelaksananya profesional. Undang-Undang Konsultan Pajak akan menjadi pondasi bagi terciptanya sistem perpajakan yang sehat, adil, dan berkeadilan bagi semua pihak.

Sumber data: DJP (2025), DDTC News (2025), OECD Tax Administration CIS (2023), PMK No.111/PMK.03/2014, PMK No.175/PMK.01/2022, UU HPP No.7/2021.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

en_US