Kepastian Hukum dan Kesederhanaan Administrasi Perpajakan Meningkatkan Investor Berinvestasi di Indonesia

Pentingnya Kepastian Hukum Bagi Investor

Kepastian hukum pajak perlu dijaga dan ditingkatkan. Kepastian hukum menjadi salah satu faktor utama bagi investor dalam menentukan negara tujuan investasinya. Kepastian hukum tidak hanya menjadi perhatian dari investor asing, namun juga menjadi perhatian bagi investor domestik. Kepastian hukum pajak yang diterapkan dengan baik, diharapkan investor mau menanamkan investasinya di Indonesia. Investor asing akan bergairah berinvestasi di Indonesia dan investor lokal tetap nyaman berinvestasi di dalam negeri dan tidak menanamkan modalnya di luar negeri.

 

Kurangnya minat investor asing berinvestasi di Indonesia terlihat dari fenomena investor asing yang tidak memilih Indonesia sebagai negara tujuan investasinya, namun memilih negara tetangga kita. Pasca perang dagang Amerika Serikat dengan China, pada periode Juni sampai dengan Agustus 2019 ada 33 perusahaan dari China yang memutuskan melakukan relokasi pabriknya keluar China, tidak satu pun yang merelokasi pabriknya ke Indonesia, yang memilih Vietnam ada 23 perusahaan, 10 perusahaan memilih Thailand, Malaysia, Kamboja, India, Mexico, dan Serbia (World Bank, 2019). Awal tahun 2020 Nissan Motor Co., Ltd. mengumumkan secara resmi penutupan pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat (Dadan Kuswaraharja/detikOto, 2020). Pada tanggal 23 Oktober 2020, Nissan dalam laman resminya di asia.nissannews mengumumkan merekrut karyawan baru sebanyak 2.000 orang untuk pabriknya di Samut Prakan, Thailand (detikOto, 2020). Fenomena relokasi perusahaan dari China yang tidak memilih Indonesia dan Nissan Motor yang meninggalkan Indonesia pada tahun 2020 dan berkonsentrasi di Thailand, tentu harus menjadi perhatian kita semua dan menjadi tantangan bagi bangsa kita untuk meraih kembali kepercayaan dari Investor. Menurut penulis, salah satu faktor yang mengurangi minat investor asing berinvestasi di Indonesia adalah ketidakpastian hukum di Indonesia.

Pajak dan Sanksi Pajak yang Dikhawatirkan Investor

Bagi investor, pengenaan pajak penghasilan dari keuntungan yang diperoleh adalah hal yang wajar dan praktek yang lazim di dunia. Keuntungan yang diperoleh investor dikenai pajak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku tentu sudah dipahami sewaktu investor akan melakukan investasi di suatu negara. Investor akan kapok berinvestasi di suatu negara jika investor tersebut mengalami pengenaan pajak dan/atau sanksi pajak yang terjadi karena administrasi. Berita peristiwa seperti ini tentu akan dengan cepat menyebar di kalangan investor baik di negara asalnya maupun negara lain. Berita ini akan menjadi iklan yang kontraproduktif bagi iklim investasi di negara terjadinya peristiwa itu. Ada adagium bahwa pajak itu mengambil sebagian dari telur yang ditelurkan oleh ayam dan tidak mengambil ayamnya. Bila ayamnya diambil, maka sudah tidak ada lagi telur yang dapat diambil dikemudian hari. Ayam harus diberikan kondisi yang nyaman, sehingga ayamnya semakin produktif bertelur dan sebagian telurnya dapat diambil sebagai pajak.

 

Peraturan Harus Sinkron dan Harmonis

Peraturan akan memberikan kepastian hukum jika peraturan yang berlaku sinkron dengan peraturan di atasnya dan harmonis dengan peraturan lainnya yang sederajat. Di Indonesia, sinkron dan harmonisnya suatu peraturan harus sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya mengakibatkan peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Adapun peraturan yang tidak harmonis dengan peraturan lainnya akan menimbulkan konflik hukum yang melahirkan ketidakpastian hukum.

 

 

Kesederhanaan Administrasi Pajak Menjadi Daya Tarik Investasi

Disamping kepastian hukum yang dibutuhkan oleh investor, kesederhanaan administrasi perpajakan juga akan menjadi daya tarik investasi bagi investor. Kesederhanaan administrasi perpajakan akan memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, karena pengusaha dapat lebih fokus untuk memajukan pertumbuhan usahanya dan dapat bersaing dalam menjalankan usahanya. Waktu pengusaha tidak terbuang untuk mengurusi administrasi yang rumit. Ini akan mendukung perusahaan di Indonesia lebih efisien dan mampu bersaing di dunia, sehingga ekspor dapat ditingkatkan. Pertumbuhan yang terjadi di dunia usaha, tentu pada akhirnya juga memberikan kontribusi yang positif bagi meningkatnya penerimaan negara dari sisi pajak.

 

Kesederhanaan Administrasi Pajak yang Dapat Dipertimbangkan

Kesederhanaan administrasi dalam pemungutan pajak akan meringankan beban administrasi Wajib Pajak. Hal ini akan membuat Wajib Pajak lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kesederhanaan administrasi ini tentu dilakukan dengan tidak mengorbankan penerimaan negara. Adapun kesederhanaan administrasi perpajakan yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1. Jangka waktu penerbitan Faktur Pajak dapat disederhanakan menjadi dilakukan paling lambat pada akhir bulan dilakukannya penyerahan. Seperti kita ketahui bersama, sesuai dengan Pasal 13 ayat (1a) huruf a UU PPN, Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Penyederhanaan administrasi pajak dengan memberikan fleksibelitas waktu penerbitan Faktur Pajak menjadi paling lambat pada akhir bulan dilakukannya penyerahan akan sangat mendukung dunia usaha, sehingga pengusaha dapat menagih lebih cepat kepada customer-nya. Disisi yang lain, tidak ada kerugian negara dengan diberikannya fleksibelitas penerbitan Faktur Pajak ini. Hal ini juga telah didukung dengan sistem penerbitan Faktur Pajak dengan cara e-Faktur melalui aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang sudah sangat bagus dalam pelaksanaannya.

2. Memberikan fleksibelitas atas penerbitan Faktur Pajak Gabungan sesuai kebutuhan PKP yang melakukan penyerahan dalam Masa Pajak yang sama. Saat ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) UU PPN, penerbitan Faktur Pajak Gabungan hanya dapat diberikan untuk menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan selama 1 (satu) bulan kalender. Perlu diberikan keleluasaan bagi PKP untuk menerbitkan Faktur Pajak Gabungan atas beberapa penyerahan dalam 1 (satu) Faktur Pajak, atau untuk penyerahan yang telah dilakukan untuk beberapa hari dalam 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan. Fleksibelitas ini akan sangat membantu PKP dalam menjalankan usahanya. Pembatasan menerbitkan 1 (satu) Faktur Pajak untuk seluruh penyerahan dalam satu bulan kalender tentu tidak memberikan banyak manfaat bagi PKP.

3. Dokumen ekspor berupa Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang saat ini telah diterbitkan dengan sistem elektronik melalui aplikasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sehingga sudah sangat baik dan bagus dalam pelaksanaannya. Guna mendorong ekspor, investor perlu mendapat kenyamanan dengan tidak ada sanksi administrasi yang dapat dikenakan dari dokumen PEB. Pengenaan sanksi administrasi yang dapat dikenakan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) UU KUP tentu sangat memberatkan Wajib Pajak yang dapat diibaratkan mereka akan mengalami kehilangan ayam bila dikenakan sanksi ini.

4. Penyederhanaan sistem withholding tax, yaitu hanya menunjuk Wajib Pajak Badan saja sebagai pemotong pajak dan hanya memotong pajak penghasilan dari Wajib Pajak yang memberikan jasa dan statusnya Bukan Pengusaha Kena Pajak. Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memberikan Jasa Kena Pajak (JKP) yang saat ini masuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23, dapat disederhanakan dengan melakukan pembayaran yang dilakukan sendiri oleh PKP yang bersangkutan berdasarkan Nilai Penyerahan JKP yang tercantum dalam Faktur Pajak yang diterbitkan. Ini sekaligus dapat dijadikan model angsuran PPh Pasal 25. Bila cara ini dapat diadopsi oleh peraturan perpajakan kita, akan sangat banyak efisiensi administrasi pemotongan PPh yang akan terjadi.

5. Surat Ketetapan Pajak (SKP) berdasarkan hasil pemeriksaan yang diterbitkan untuk setiap Masa Pajak perlu disederhanakan menjadi diterbitkan SKP atas satu Tahun Pajak atas Tahun Pajak yang diperiksa. Sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini, satu surat permohonan keberatan atau permohonan banding hanya untuk satu SKP dan tidak dapat digabungkan dengan SKP yang lain, walaupun jenis pajaknya sama dan tahun pajaknya sama. Penyederhanaan ini guna memberikan jaminan keadilan bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan. Hal ini juga akan mengurangi beban sengketa pajak di pengadilan pajak yang semakin hari semakin menumpuk.

6. Guna memberikan keadilan, perlu ditinjau kembali pengenaan sanksi administrasi berupa denda 50% bila permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 ayat (10) UU KUP. Demikian juga dengan denda 100% bila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. Bila denda ini tetap ingin dipertahankan, maka Wajib Pajak juga perlu diberikan imbalan yang persentasenya minimal sama dengan yang dapat dikenakan kepada Wajib Pajak. Sehingga kelak denda akan dikenakan kepada Wajib Pajak hanya terhadap netto yang ditolak setelah di-offset dengan yang dikabulkan sebagian, dalam hal nilai yang ditolak lebih besar dari yang dikabulkan. Atau imbalan diberikan kepada Wajib Pajak bila atas netto yang dikabulkan setelah dioffset dengan sebagian nilai yang ditolak, hal ini bila nilai yang dikabulkan lebih besar dari nilai yang ditolak.

 

Kesimpulan

Peraturan Perpajakan yang memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan dan penyederhanaan administrasi perpajakan dengan tetap mempertahankan tingkat penerimaan negera, akan memberikan iklim usaha yang kondusif di Indonesia. Hal ini diharapkan akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga banyak lapangan pekerjaan yang akan dibuka, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, multiplier effect yang positif dalam perekonomian nasional, yang pada akhirnya akan menaikkan penerimaan negara dari Pajak.

 

Semoga dengan regulasi pajak yang semakin kondusif, Indonesia menjadi negara yang menarik bagi investor dan investor mau menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini akan mendorong membaiknya dan pulihnya perekonomian nasional, sehingga kesejahteraan rakyat semakin cepat dapat dicapai. Salam Indonesia Maju, Jaya, dan Sejahtera.

_____________________________________________________________________________________________________________________

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

en_US