IKPI Beri Masukan atas KEP-54/PJ/2025, Dorong Fleksibilitas dan Kepastian Hukum bagi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) memberikan apresiasi atas terbitnya Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) Nomor 54/PJ/2025 yang memberikan alternatif tambahan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam pembuatan Faktur Pajak. Namun, dalam rangka efektivitas implementasi kebijakan ini, IKPI mengajukan sejumlah masukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyatakan bahwa kebijakan ini penting untuk memberikan solusi bagi PKP yang mengalami kesulitan dalam menggunakan aplikasi Coretax untuk pembuatan Faktur Pajak. “Kami mengapresiasi langkah DJP dalam menerbitkan KEP-54/PJ/2025 karena memberikan fleksibilitas tambahan bagi Wajib Pajak (WP) yang mengalami kendala teknis. Namun, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan agar kebijakan ini lebih efektif,” ujarnya di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Salah satu poin utama yang disoroti oleh IKPI adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Saat ini, WP harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari 2025. Dengan kebijakan baru ini yang berlaku sejak 12 Februari 2025, banyak WP yang belum memiliki cukup waktu untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, IKPI mengusulkan agar batas waktu pengunggahan diperpanjang hingga tanggal 25 bulan berikutnya.

Selain itu, IKPI juga menyoroti ketentuan terkait Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yang tidak berlaku surut. Menurut Pino, sejak 1 Januari 2025, sistem e-Nofa untuk permintaan NSFP telah ditutup. “Masih banyak WP yang kesulitan mengunggah Faktur Pajak melalui coretax, sementara mereka juga tidak sempat meminta NSFP sebelumnya. Sebaiknya ada kebijakan agar NSFP bisa berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025,” ujarnya.

IKPI juga menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas terkait KEP-54/PJ/2025 agar semua stakeholder memahami implementasi kebijakan ini. Apalagi, berdasarkan siaran pers yang pernah diterbitkan DJP, ada beberapa jenis Faktur Pajak yang tetap tidak dapat diterbitkan melalui e-Faktur Desktop, seperti Faktur Pajak dengan kode 060 (Penjualan kepada turis asing), kode 070 (PPN Ditanggung Pemerintah), Faktur Pajak dari PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN, serta Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang dikukuhkan setelah 1 Januari 2025.

Selain itu lanjut Pino, IKPI juga menyoroti perlunya masa transisi yang cukup jika nantinya seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. Selain itu, diperlukan kejelasan apakah PKP diperbolehkan menggunakan sistem coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda.

“Misalnya, apakah WP boleh menggunakan coretax untuk Masa Pajak Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Hal ini perlu diperjelas agar tidak ada kendala dalam pelaporan dan pertanggungjawaban,” kata Pino.

Lebih lanjut, IKPI mengusulkan penerbitan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak agar tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak, Bukti Potong, atau pembayaran pajak akibat penerapan coretax system. “Saat ini, sistem secara otomatis menerbitkan STP dalam kondisi tertentu. Jika hal ini tidak bisa dihentikan, maka sebaiknya ada kebijakan yang memungkinkan permohonan penghapusan STP berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a dan huruf c dapat dikabulkan,” ujarnya.

Ia berharap dengan adanya perbaikan dalam implementasi KEP-54/PJ/2025, sistem perpajakan Indonesia bisa semakin kondusif dan memberikan kepastian hukum bagi WP. “Kami berharap iklim perpajakan Indonesia semakin sehat demi kemandirian penerimaan pajak,” kata Pino. (bl)

en_US