IKPI, Jalarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, mengkritisi kebijakan pembebasan pajak atas penghasilan yang bersumber dari dividen. Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.
Haula menjelaskan bahwa selama ini penghasilan individu yang berasal dari dividen dibebaskan dari pajak. Aturan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, yang kembali dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP, dividen bebas pajak asalkan diinvestasikan kembali di Indonesia.
“Masalahnya, para orang kaya selama ini memanfaatkan celah tersebut,” ujar Haula. Ia mencontohkan bahwa jika dividen digunakan untuk membeli emas batangan, hal tersebut sudah dianggap sebagai investasi. “Berarti kan memang yang kaya ini akan semakin kaya,” lanjutnya.
Haula menyoroti bahwa investasi pada emas tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat luas karena tidak menggerakkan sektor riil. Akibatnya, investasi seperti ini tidak berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan.
Sebagai profesor perempuan pertama di bidang perpajakan di Indonesia, Haula menegaskan bahwa jika pemerintah ingin memperluas basis pajak, maka masyarakat berpenghasilan tinggi juga harus menjadi target pajak, bukan hanya kelas menengah ke bawah.
“Lihat dong, apakah wajib pajak yang super kaya itu sudah dipajaki secara proporsional sesuai dengan kemampuan ekonomisnya,” kata Haula.
Lebih lanjut, Haula juga mengkritisi wacana penurunan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang belakangan disarankan oleh Bank Dunia dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Saat ini, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan menyetor Pajak Penghasilan (PPh Badan).
Menurut Haula, tidak maksimalnya penerimaan pajak di Indonesia bukan hanya terkait ambang batas PKP yang tinggi, melainkan juga karena banyaknya insentif pajak yang diberikan kepada pemilik modal, seperti tax holiday dan tax allowance. Ia menilai, dengan fokus pada penurunan ambang batas PKP, Bank Dunia dan OECD justru mengabaikan kelompok kaya yang berpotensi menyumbang pajak lebih besar.
“Secara administratif, menurunkan ambang batas PKP akan sangat sulit. Jika semakin banyak UMKM yang dikenai pajak, maka otoritas pajak juga harus siap melakukan edukasi. Sekarang coba dilakukan survei terhadap UMKM, berapa persen sih yang paham tentang akuntansi? Mungkin banyak yang bahkan tidak memahami konsep debit-kredit,” jelas Haula.
Haula pun khawatir kepatuhan pajak justru menurun jika ambang batas PKP diturunkan tanpa kesiapan yang memadai dari pihak pemerintah dan pelaku usaha kecil menengah. (alf)