Guru Besar UI Dorong Pembentukan Badan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Haula Rosdiana, mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk segera merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara. Menurutnya, kelemahan mendasar dalam aspek kelembagaan pemungutan penerimaan negara menjadi penyebab rendahnya rasio perpajakan Indonesia dibanding negara lain.

Laporan Bank Dunia bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia mengungkap bahwa rasio pajak Indonesia pada 2021 hanya mencapai 9,1%. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di kawasan seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%).

Haula menegaskan bahwa solusi terbaik untuk meningkatkan penerimaan negara adalah dengan melakukan reformasi kelembagaan. Ia mengusulkan agar lembaga-lembaga pemungut penerimaan negara dilebur menjadi satu dalam Badan Penerimaan Negara. “Pak Sumitro [Sumitro Djojohadikoesoemo], tahun 1955 sudah menekankan bahwa kelembagaan adalah faktor krusial dalam transformasi penerimaan negara,” ungkapnya, Sabtu (29/3/2025).

Sebagai profesor perempuan pertama di bidang perpajakan di Indonesia, Haula juga mengkritisi kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kembali mengimplementasikan joint programme antar lembaga di Kementerian Keuangan untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Menurutnya, program serupa yang pernah dijalankan pada 2018–2019 terbukti tidak efektif akibat kendala teknis, seperti pertukaran data yang tidak otomatis serta ego sektoral antar lembaga. Ia menilai joint programme hanya menjadi kebijakan formalitas yang tidak memberikan hasil signifikan.

“Kata Einstein, Insanity itu adalah ketika kamu mengharapkan hasil yang berbeda tetapi masih menggunakan cara yang sama,” ujar Haula.

Diberitakan sebelumnya, pada Kamis (27/3/2025), Sri Mulyani meresmikan pelaksanaan joint programme yang melibatkan tujuh unit di lingkungan Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Sekretariat Jenderal (Setjen), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Inspektorat Jenderal (Itjen), dan Lembaga National Single Window (LNSW). Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi dalam analisis, pengawasan, pemeriksaan, penagihan, dan intelijen penerimaan negara.

Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan rasio perpajakan dan memperkuat fondasi fiskal nasional. “Optimalisasi penerimaan negara tahun 2025 melalui joint programme dimulai hari ini,” ujarnya.

Namun, Haula tetap meyakini bahwa perombakan kelembagaan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara adalah langkah paling efektif untuk mencapai target penerimaan negara yang lebih optimal. (alf)

 

 

en_US