Edukasi Perpajakan IKPI: Perubahan Bukti Potong Tantangan Adaptasi di Era Coretax

IKPI, Jakarta: Sekretaris Pengda Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Banten, yang juga menjadi narasumber pada Edukasi Perpajakan, Michael, mengingatkan para pelaku usaha dan konsultan pajak untuk bersiap menghadapi perubahan besar dalam tata cara pelaporan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21–26. Transformasi ini terjadi seiring dengan diberlakukannya Peraturan Dirjen Pajak (Per-11 Tahun 2025) yang memperkuat penerapan Coretax Administration System di seluruh lini pelaporan pajak.

Menurut Michael, regulasi baru tersebut bukan sekadar perubahan teknis, tetapi juga menuntut adaptasi mindset wajib pajak. Sistem Coretax, katanya, dirancang untuk menyederhanakan, menstandarkan, sekaligus mendigitalisasi seluruh proses pelaporan agar lebih efisien dan transparan. “Namun di lapangan, banyak perusahaan yang masih gagap memahami perubahan ini,” ujarnya dalam acara edukasi perpajakan yang digelar secara daring, Kamis (23/10/2025).

Michael menjelaskan, perubahan paling signifikan terlihat dari pembaruan format bukti potong yang kini memiliki kode baru, antara lain BP21, BP26, BPA1, dan BPA2. Semua dokumen tersebut wajib dibuat dan dilaporkan melalui sistem elektronik Coretax yang terintegrasi langsung dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). “Kalau dulu pakai e-Bupot atau perekam DGT Online, sekarang semuanya sudah pindah ke Coretax,” tuturnya.

Ia menekankan bahwa kesalahan kecil dalam pengisian bukti potong atau keterlambatan pelaporan dapat berakibat fatal. “Banyak yang menganggap perubahan ini cuma soal teknis input, padahal konsekuensinya bisa sampai ke sanksi administratif atau bahkan pemeriksaan pajak,” jelasnya. 

Ia mencontohkan, kasus pembetulan berulang kali pada SPT masa 2024 menjadi pelajaran penting agar adaptasi sistem baru dilakukan secara hati-hati.

Menurutnya, wajib pajak kini tidak bisa lagi hanya mengandalkan rutinitas lama. Pengelola HR dan staf payroll harus benar-benar memahami mekanisme pemotongan serta pelaporan baru agar tidak terjebak kesalahan sistem. “Kita tidak bicara compliance di atas kertas lagi, tapi compliance digital yang berbasis data real time,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan Coretax menjadi momentum penting bagi dunia perpajakan Indonesia untuk memperkuat prinsip self-assessment. Dalam sistem ini, setiap wajib pajak harus mampu menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya secara mandiri namun akurat. “Kalau dulu masih bisa manual, sekarang tidak ada alasan lagi untuk salah. Semua terukur dan terekam,” katanya.

Meski begitu, ia mengakui bahwa transformasi digital ini memerlukan masa transisi yang tidak sebentar. DJP diharapkan terus memperkuat sosialisasi, terutama untuk sektor UMKM dan badan kecil yang belum sepenuhnya memahami struktur pelaporan Coretax. “Edukasi dan pendampingan dari asosiasi seperti IKPI juga menjadi kunci keberhasilan implementasi,” tambahnya.

Namun demikian, Michael berpesan agar para profesional pajak tidak hanya fokus pada aspek pelaporan, tetapi juga membangun budaya patuh pajak berbasis integritas. “Teknologi hanya alat. Yang menentukan tetap manusianya apakah kita mau beradaptasi dan taat atau tidak,” ujarnya. (bl)

en_US