IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah yang mulai memungut pajak penghasilan (PPh) dari para pedagang online melalui platform e-commerce. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan agar kebijakan tersebut tidak membebani konsumen maupun para pelaku usaha kecil menengah di ranah digital.
“Pemungutan pajak bagi pedagang online adalah langkah yang positif dan perlu mendapat dukungan. Tapi prinsipnya harus tetap memudahkan para wajib pajak dan menjamin keamanan data mereka,” ujar Rivqy dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Rivqy merujuk pada praktik serupa di negara-negara maju seperti Australia, Korea Selatan, India, hingga Tiongkok, yang menurutnya dapat menjadi rujukan dalam merancang sistem pemungutan pajak digital yang efektif dan tidak memberatkan.
Ia juga menyoroti pentingnya aspek perlindungan data dalam kebijakan ini. “Jangan sampai data para pedagang bocor atau disalahgunakan hanya karena sistem perpajakan yang belum matang. Digitalisasi ini harus dibarengi dengan keamanan digital,” tambahnya.
Kebijakan pajak bagi pelaku e-commerce ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mulai diberlakukan sejak pertengahan Juli. Aturan ini mengamanatkan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan lainnya sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari pedagang yang berjualan di platform mereka.
Besaran tarif yang dipungut yakni sebesar 0,5 persen dari omzet bruto tahunan, di luar PPN dan PPnBM. Namun, hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun yang dikenai pungutan ini. Mereka wajib menyampaikan surat pernyataan kepada platform penyedia jasa e-commerce saat omzetnya melewati ambang batas.
Bagi pedagang kecil yang omzetnya belum mencapai Rp500 juta, mereka dibebaskan dari pungutan, selama mengajukan pernyataan resmi kepada platform yang ditunjuk sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Rivqy menilai, kebijakan ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak dan mendorong penerimaan negara, serta menciptakan keadilan antara pelaku usaha daring dan konvensional. “Jangan sampai tujuan mulia seperti ini justru gagal gara-gara implementasi yang tidak ramah pelaku usaha,” tegasnya.
Ia juga menyebut model Mini One Stop Shop (MOSS) yang diterapkan di Uni Eropa sebagai contoh skema pemungutan pajak digital yang dapat menyederhanakan proses administratif dan mencegah beban ganda bagi pelaku usaha.
“Kalau memang tujuannya untuk efisiensi dan keadilan, maka pemerintah perlu benar-benar memastikan eksekusinya berjalan tanpa menimbulkan keresahan baru,” kata Rivqy. (alf)