Bea Cukai Perkuat Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terus memperkuat perannya sebagai community protector dalam penegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tingginya angka pelanggaran HKI yang tidak hanya merugikan ekonomi nasional, tetapi juga mengancam industri kreatif serta keselamatan dan kesehatan konsumen.

Indonesia, yang telah meratifikasi perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) pada 1994 sebagai bagian dari keanggotaan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), telah menerapkan berbagai regulasi untuk memperkuat perlindungan HKI. Namun, meskipun telah banyak kebijakan diterbitkan, Indonesia masih tercatat dalam Priority Watch List (PWL) oleh United States Trade Representative (USTR), yang menunjukkan bahwa pelanggaran HKI di tanah air masih menjadi isu global yang perlu perhatian serius.

Untuk menekan angka pelanggaran HKI, pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan penting, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40 Tahun 2018. Dalam regulasi ini, Bea Cukai diberi kewenangan untuk menindak barang impor atau ekspor yang melanggar merek dan hak cipta, terutama apabila barang tersebut telah terdaftar dalam sistem rekordasi Bea Cukai.

Penindakan Bea Cukai terhadap Pelanggaran HKI

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo, menjelaskan bahwa pemegang hak (right holders) dapat mendaftarkan merek dan hak cipta mereka melalui portal resmi customer.beacukai.go.id sesuai ketentuan dalam PMK Nomor 40 Tahun 2018.

“Pemegang hak harus mengajukan permohonan melalui portal tersebut dan melengkapi persyaratan yang tertera dalam lampiran PMK Nomor 40 Tahun 2018,” jelas Budi dalam keterangan resminya, Rabu (26/2/2025).

Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi hak pemegang merek, tetapi juga untuk menjaga keselamatan konsumen dari barang palsu yang berpotensi membahayakan. Berdasarkan laporan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) 2020, kerugian ekonomi akibat pemalsuan produk di Indonesia mencapai Rp148,8 triliun. Komoditas utama yang sering dipalsukan antara lain perangkat lunak, kosmetik, farmasi, pakaian, dan suku cadang kendaraan.

Bea Cukai pun terus melakukan berbagai penindakan terhadap barang yang diduga melanggar HKI, terutama di wilayah perbatasan. Sejak 2019 hingga 2025, Bea Cukai telah melakukan 17 kali penindakan, dengan sembilan kasus yang telah diteruskan ke pengadilan oleh pemegang merek. Barang-barang yang berhasil diamankan meliputi:

– 1.146.240 pcs ballpoint
– 160 roll dan 890 karton amplas
– 4.617.296 pcs pisau cukur
– 72.000 pcs kosmetik
– 1.681 karton masker

“Seluruh penindakan ini tidak terlepas dari kolaborasi antara Bea Cukai dengan right holders serta berbagai kementerian dan lembaga terkait,” ujar Budi.

Pengawasan yang Lebih Efektif melalui Rekordasi

Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, Bea Cukai terus mengimbau para pemegang hak untuk mendaftarkan merek dan hak cipta mereka dalam sistem rekordasi Bea Cukai. Dengan demikian, tindakan pencegahan terhadap barang palsu yang masuk atau keluar dari Indonesia dapat dilakukan dengan lebih optimal.

“Sampai tahun 2025, sudah ada 76 barang yang terdaftar dalam sistem rekordasi Bea Cukai. Kami berharap kesadaran pemegang hak untuk melakukan rekordasi terus meningkat, agar pengawasan kami dapat berjalan lebih optimal,” tegas Budi.

Melalui penguatan pengawasan dan penindakan ini, Bea Cukai berkomitmen untuk menjaga integritas pasar dan melindungi masyarakat serta industri dalam negeri dari ancaman pemalsuan dan pelanggaran HKI lainnya.(alf)

en_US