Bank Dunia: Indonesia Tak Efisien dalam Pemungutan Pajak

IKPI, Jakarta: Bank Dunia menyoroti ketidakefisienan Pemerintah Indonesia dalam memungut pajak berdasarkan analisis data perpajakan periode 2016-2021. Temuan tersebut dirilis dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia, yang tersedia sejak 2 Maret 2025.

Laporan ini menyoroti rendahnya rasio penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan. Indonesia disebut tertinggal dibandingkan negara-negara lain yang sebanding. “Menunjukkan kurangnya efisiensi (Pemerintah Indonesia) dalam memungut pajak,” ujar Bank Dunia, Selasa (25/3/2025).

Salah satu penyebab utama yang diidentifikasi adalah maraknya aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy), yakni aktivitas yang tidak tercatat secara resmi sehingga pemerintah kehilangan potensi pendapatan dari sektor tersebut. Menurut studi oleh Medina dan Schneider (2018), ekonomi bawah tanah di Indonesia diperkirakan mencapai 21,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2015. Studi lain oleh Marhamah dan Zulaikha (2020) memperkirakan rata-rata aktivitas ekonomi bawah tanah mencapai 17,6 persen selama 2016-2019.

Selain itu, laporan tersebut menyoroti rasio efisiensi pemungutan PPN yang dikenal dengan istilah C-efficiency. Rata-rata C-efficiency PPN Indonesia tercatat hanya 52,8 persen pada periode 2016-2021, turun dari 64,7 persen pada 2013. Angka ini tertinggal jauh dari Thailand yang memiliki C-efficiency sebesar 76,7 persen meski menerapkan sistem PPN dengan kebijakan pengecualian dan celah kebijakan (policy gap) yang serupa.

Akibat ketidakefisienan ini, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp944 triliun sepanjang 2016-2021. Jumlah ini terdiri dari compliance gap senilai Rp548 triliun dan policy gap sebesar Rp396 triliun. Compliance gap adalah potensi pajak yang hilang karena keterbatasan pengawasan dan pengumpulan pajak oleh pemerintah. Sementara itu, policy gap mencerminkan potensi penerimaan yang hilang akibat kebijakan tertentu yang diterapkan pemerintah.

“Secara rata-rata, estimasi kesenjangan (compliance gap dan policy gap) PPN dan PPh Badan mencapai 6,4 persen dari PDB atau Rp944 triliun antara 2016-2021,” demikian kesimpulan laporan tersebut. (alf)

 

 

en_US