China Resmi Kenakan Tarif Susu Uni Eropa, Sinyal Perlindungan Industri dan Balasan Dagang

IKPI, Jakarta: China mulai memberlakukan tarif impor baru terhadap berbagai produk susu asal Uni Eropa (UE) sejak Selasa, 24 Desember 2025. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah tegas Beijing untuk menopang industri sapi perah domestik yang tengah terjepit oleh kelebihan pasokan dan permintaan yang melemah.

Yifan Li, Head of Dairy Asia di StoneX, mengungkapkan bahwa bisnis susu di China telah lama berada di zona merah. “Industri susu kita sudah menanggung kerugian selama empat tahun. Produksi yang berlebihan menjadi pendorong utama lahirnya kebijakan tarif ini,” ujarnya. Menurutnya, tekanan semakin terasa setelah subsidi pemerintah ikut dipangkas seiring perlambatan ekonomi pada 2025.

Tarif baru tersebut menyasar impor susu dan krim tanpa pemanis, serta keju segar dan olahan dari UE, dengan besaran antara 21,9% hingga 42,7%. Langkah ini dinilai tidak berdiri sendiri, melainkan juga berkaitan dengan keputusan UE sebelumnya yang mengenakan tarif pada kendaraan listrik asal China sehingga dibaca sebagai bentuk respons dagang.

Sebagai produsen susu terbesar ketiga dunia, China menghadapi paradoks. Produksi naik tajam, menembus lebih dari 40 juta ton pada 2023 dari sekitar 30 juta ton pada 2017. Namun konsumsi justru menyusut menjadi 12,6 kilogram per kapita pada 2024, dipengaruhi penurunan angka kelahiran dan perubahan pola konsumsi. Akibatnya, harga susu kerap jatuh di bawah biaya produksi sekitar 3,02 yuan per kilogram, membuat banyak peternak menyerah dan menjual ternaknya.

Analis Beijing Orient Agribusiness Consultants, Lian Yabing, memperkirakan lebih dari 90% peternak saat ini merugi. Namun, ia melihat ruang peluang bagi perusahaan besar seperti Yili dan Mengniu, yang agresif memperluas produksi krim, mentega, dan keju. Pergeseran ke produk bernilai tambah misalnya krim untuk minuman milk tea mendorong industri mengejar margin yang lebih tinggi. Kini, sedikitnya 40 produsen lokal terjun ke segmen krim dan mentega, jumlah yang meningkat pesat dibanding beberapa tahun lalu.

Dimensi politik juga kuat terasa. Tarif tertinggi, 42,7%, dikenakan pada FrieslandCampina dari Belanda, sementara sekitar 60 perusahaan lain termasuk Arla Foods dari Denmark mendapat tarif mendekati 30%. Kedua negara tersebut dikenal vokal mendukung kebijakan tarif UE terhadap mobil listrik China. Hubungan dengan Belanda bahkan memanas setelah pemerintahnya mengambil alih perusahaan chip Nexperia dari pemilik China pada September lalu.

Di sisi lain, Beijing sempat menunjukkan gestur berbeda terhadap UE ketika menurunkan tarif sementara untuk impor produk babi. Kebijakan itu dipandang sebagai angin segar bagi Spanyol, yang dinilai lebih lentur dalam pendekatan diplomatik terhadap China.

Bagi Beijing, tarif susu ini bukan sekadar angka pada lembar kebijakan. Ia menjadi pesan bahwa perlindungan terhadap sektor domestik dan penegasan posisi dalam perang tarif global berjalan beriringan dengan konsekuensi yang akan terus dipantau oleh peternak, pelaku industri, dan mitra dagang internasional. (alf)

en_US