Mendorong Kepatuhan Pajak UMKM di Era Digital  

Di Indonesia, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering disebut sebagai “urat nadi” perekonomian. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 60%, dengan jumlah unit usaha lebih dari 65 juta. Tidak hanya itu, UMKM juga menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Artinya, keberadaan UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata.

Namun, dalam konteks perpajakan, UMKM masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Meski jumlahnya masif, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak belum sebanding dengan perannya dalam perekonomian. Di sinilah tantangan sekaligus peluang hadir: bagaimana mendorong kepatuhan pajak UMKM di tengah arus digitalisasi yang kian masif.

Banyak pelaku UMKM yang belum memahami kewajiban perpajakan secara utuh. Pajak sering dipersepsikan sebagai beban tambahan, bukan kewajiban hukum yang sekaligus berfungsi sosial. Sejak terbitnya PP 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Final untuk UMKM dengan tarif 0,5% dari omzet, pemerintah sebenarnya sudah berupaya menyederhanakan mekanisme pemajakan.

Namun, peraturan ini juga membatasi jangka waktu penggunaan tarif final (3 tahun untuk badan berbentuk PT, 4 tahun untuk CV/Firma, dan 7 tahun untuk orang pribadi). Setelah jangka waktu berakhir, UMKM wajib beralih ke sistem pembukuan dengan tarif normal. Transisi inilah yang sering membuat UMKM “tergelincir” dalam kepatuhan.

Meski Ditjen Pajak (DJP) sudah meluncurkan berbagai inovasi seperti e-Billing, e-Filing, dan e-Form, tidak semua pelaku UMKM melek digital. Bagi sebagian pengusaha kecil, mengisi laporan SPT secara daring bisa jadi lebih menakutkan dibanding mengurus operasional bisnis sehari-hari.

Dan sebagian pelaku UMKM merasa pajak yang mereka bayarkan tidak memberikan manfaat langsung. Padahal, infrastruktur jalan, subsidi energi, hingga program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi, sebagian besar dibiayai dari pajak. Kurangnya narasi publik membuat hubungan antara pajak dan UMKM terasa renggang.

Transformasi digital di bidang perpajakan sebenarnya membuka ruang baru. Layanan Coretax Administration System, yang kini sedang diimplementasikan secara bertahap oleh DJP, diharapkan mampu menyederhanakan administrasi perpajakan, meningkatkan integrasi data, serta mempermudah wajib pajak termasuk UMKM.

Selain itu, kehadiran aplikasi pembukuan sederhana berbasis mobile (misalnya SiApik dari OJK atau software akuntansi lokal) memberi kemudahan bagi UMKM untuk mencatat transaksi. Jika pencatatan rapi, maka pelaporan pajak otomatis lebih mudah.

Di sisi lain, digitalisasi juga melahirkan ekosistem baru. UMKM yang berjualan melalui marketplace, e-commerce, atau menggunakan layanan payment gateway, secara tidak langsung mulai “tercatat” dalam sistem formal. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018 tentang Pajak atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) misalnya, mempertegas posisi pajak dalam ekonomi digital. Bagi UMKM, kondisi ini bisa dilihat sebagai peluang. Digitalisasi memaksa usaha kecil untuk lebih tertib administrasi, dan pada saat yang sama membuka pintu bagi pemerintah untuk memberikan pendampingan yang lebih tepat sasaran.

Strategi Mendorong Kepatuhan

1.       Edukasi yang Membumi

Materi sosialisasi pajak sering kali masih terlalu teknis. Padahal, pelaku UMKM butuh penjelasan sederhana dan langsung pada inti. Misalnya: “Omzet Rp10 juta sebulan, maka pajak finalnya Rp50 ribu.” Narasi praktis seperti ini lebih mudah dipahami dibanding paparan panjang yang penuh pasal.

2.       Pendampingan dan Kolaborasi

DJP tidak bisa berjalan sendiri. Peran konsultan pajak, asosiasi profesi, hingga komunitas UMKM sangat penting untuk menjadi jembatan komunikasi. Pendampingan dari hulu ke hilir—dari pencatatan sederhana hingga penyusunan SPT—akan membuat UMKM merasa didukung, bukan sekadar ditagih kewajiban.

3.       Insentif Pajak yang Tepat

Insentif seperti pengurangan tarif, pembebasan sementara, atau kemudahan akses pembiayaan bagi UMKM patuh bisa menjadi “wortel” yang efektif. Contoh nyata adalah insentif PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku di masa pandemi melalui PMK 44/PMK.03/2020. Program ini terbukti membantu cashflow UMKM sekaligus mendorong kepatuhan pelaporan.

4.       Teknologi yang Ramah UMKM

Tidak semua UMKM membutuhkan aplikasi canggih. Aplikasi ringan, gratis, dan bisa diakses lewat ponsel jauh lebih ramah. DJP bisa menggandeng startup lokal untuk menciptakan solusi sederhana yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha kecil.

5.       Membangun Kepercayaan

Kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan sanksi. Ia tumbuh dari rasa percaya. Transparansi penggunaan pajak, publikasi proyek pembangunan yang didanai pajak, hingga program afirmasi khusus UMKM bisa menjadi cara efektif menumbuhkan kepercayaan.

Ke depan, kepatuhan pajak UMKM akan sangat ditentukan oleh dua hal, yaitu kemudahan sistem dan kepercayaan publik. Sistem yang sederhana dan digital-friendly akan menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost). Sementara, kepercayaan yang kuat akan mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Jika dua hal ini berjalan beriringan, kita bisa membayangkan dampak besarnya.

Dari 65 juta UMKM, katakanlah 50% rutin melaporkan dan membayar pajak dengan omzet rata-rata Rp300 juta setahun. Dengan tarif 0,5%, potensi penerimaan pajak yang bisa dihimpun mencapai Rp97,5 triliun. Angka yang bukan main-main, setara hampir 20% dari target penerimaan PPh Non-Migas di beberapa tahun terakhir.

Mendorong kepatuhan pajak UMKM di era digital bukan sekadar soal menambah penerimaan negara. Ini adalah bagian dari membangun budaya baru, budaya tertib administrasi, gotong royong modern, dan kepercayaan antara negara dan warganya. UMKM tumbuh karena ekosistem yang sehat, di antaranya infrastruktur, akses keuangan, dan kebijakan afirmatif. Semua itu dibiayai oleh pajak. Sebaliknya, negara butuh kontribusi UMKM untuk memperkuat fondasi fiskal. Keduanya saling membutuhkan.

Oleh karena itu, kepatuhan pajak UMKM di era digital harus dipandang bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi sosial. Investasi yang akan memperkuat pondasi ekonomi Indonesia, sekaligus memastikan bahwa pertumbuhan yang kita capai bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

en_US