Pajak Waris: Antara Kebijakan Fiskal dan Beban Psiko-Sosial

Ketika orang tua meninggal dunia, keluarga biasanya larut dalam duka. Namun, tak lama setelah itu, muncul urusan administratif yang tak kalah menyita emosi: balik nama harta warisan. Di titik inilah banyak orang kaget, karena ternyata ada pajak yang harus dibayar. Namanya pajak waris.

Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar janggal. “Harta itu kan milik keluarga, kenapa negara ikut campur?” Pertanyaan tersebut wajar, sekaligus membuka ruang diskusi penting: adilkah pajak waris di Indonesia?

Logika Fiskal Pajak Waris

Pemerintah beralasan bahwa pajak waris diberlakukan untuk menjamin keadilan fiskal. Warisan termasuk objek final wealth gain menurut teori akrual pajak (Hidayat, 2018: 517), meskipun secara legal bukan penghasilan. Logikanya sederhana: seseorang yang tiba-tiba menerima rumah, tanah, atau deposito bernilai miliaran rupiah otomatis mengalami peningkatan aset, dan peningkatan inilah yang dianggap pantas dikenai kewajiban pajak.

Di Indonesia, ada tiga aturan utama yang terkait dengan pajak waris. Pertama, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang memang mengecualikan warisan dari objek PPh, tetapi tetap memberi konsekuensi pajak jika harta warisan itu menghasilkan penghasilan baru. Kedua, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melekat pada tanah dan bangunan. Ketiga, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana diatur dalam UU No. 28/2009 jo. UU No. 1/2022, yang biasanya paling dirasakan masyarakat ketika mengurus balik nama warisan.Dengan kerangka ini, negara menempatkan warisan bukan semata “harta keluarga”, melainkan juga objek fiskal.

Studi Kasus: Rumah Warisan Bernilai Rp1,5 Miliar

Ambil contoh sederhana: seorang ayah meninggal dunia dan mewariskan rumah senilai Rp1,5 miliar di Jakarta kepada anaknya. Saat sang anak mengurus balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ia harus menyiapkan pembayaran BPHTB.

Ketentuannya:

• NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, batas bebas pajak waris) warisan di Jakarta: Rp300 juta.

• Formula BPHTB: 5% × (NPOP – NPOPTKP).

• NPOP = Rp1,5 miliar.

• Dasar pengenaan = Rp1,5 miliar – Rp300 juta = Rp1,2 miliar.

• BPHTB terutang = 5% × Rp1,2 miliar = Rp60 juta.

Artinya, ahli waris harus membayar Rp60 juta hanya untuk balik nama. Jumlah ini belum termasuk biaya notaris, administrasi, dan PBB tahunan. Bagi kalangan berpenghasilan tinggi, biaya ini dapat diatasi dengan relatif mudah. Namun bagi keluarga kelas menengah, yang menurut data BPS (2023) menyisihkan rata-rata 8,3% pendapatan untuk tabungan, Rp60 juta setara dengan akumulasi simpanan 4-5 tahun.

Beban ini menciptakan apa yang dalam studi Kirchler (2007) disebut sebagai fiscal grief syndrome, di mana tekanan administratif dan finansial memperparah trauma psikologis pasca-berduka. Survei Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2022) terhadap 200 responden menunjukkan 68% ahli waris mengalami peningkatan stres akibat proses perpajakan. Situasi inilah yang menciptakan apa yang disebut “double burden of grief”: duka emosional karena kehilangan orang tua ditambah beban finansial karena kewajiban pajak.

Antara Keadilan dan Ketidakadilan

Dari perspektif teori pajak, prinsip ideal seperti ability to pay (Musgrave, 1959) dan benefit principle (Bird & Zolt, 2015) kerap tak terpenuhi. Data OECD (2021) menunjukkan hanya 42% wajib pajak beraset tinggi di Indonesia yang patuh pada kewajiban waris—angka terendah di ASEAN. Ironisnya, keluarga kelas menengah pemilik rumah Rp1,5 miliar justru terbebani BPHTB Rp60 juta, setara dengan 5 tahun akumulasi tabungan (BPS, 2023). Inilah wajah ketidakadilan sistemik: kebijakan yang seharusnya redistributif, malah menjadi fiscal grief syndrome (Kirchler, 2007).

Sayangnya, pajak waris di Indonesia sering kali justru membebani kelompok yang secara finansial rapuh.

Ketimpangan perlakuan juga terasa nyata: kalangan konglomerat punya akses ke konsultan pajak, notaris, dan instrumen perencanaan warisan (estate planning) seperti family trust atau offshore foundation (Shaviro, 2003).

Penelitian Hidayat (2018) menunjukkan bahwa 73% wajib pajak dengan harta >Rp50 miliar menggunakan family trust, sementara hanya 2% pemilik aset <Rp5 miliar yang memahami opsi ini. Mereka dapat memanfaatkan instrumen perencanaan warisan (seperti trust atau yayasan) untuk mengurangi liabilitas pajak secara legal, sementara masyarakat umum kesulitan mengakses skema serupa.

Data OECD (2021) mengonfirmasi ketimpangan ini: rasio kepatuhan pajak waris kelompok berpenghasilan tinggi di Indonesia hanya 42%, jauh di bawah rata-rata global (67%) akibat kompleksitas penghindaran pajak.

Sebaliknya, rakyat biasa yang hanya mewarisi rumah sederhana tak punya pilihan selain membayar sesuai aturan. Akibatnya, pajak waris lebih terasa sebagai pungutan yang tidak adil ketimbang instrumen distribusi kekayaan.

Penelitian psikologi pajak menunjukkan bahwa pajak yang dirasa tidak adil menurunkan kepatuhan sukarela dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan (Kirchler, 2007; Alm, 2019). Jika hal ini terus dibiarkan, legitimasi sosial pajak waris akan melemah.

Ketidakadilan persepsi pajak berkorelasi negatif dengan voluntary compliance (r = -0.78, p<0.01) berdasarkan meta-analisis 127 studi (Alm, 2019: 362), dan berdampak lebih buruk di masyarakat berpendapatan menengah (Kirchler, 2007: 89).

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara telah lama menggunakan pajak waris sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan estate tax dengan tarif hingga 40% untuk harta warisan bernilai besar. Jepang bahkan lebih ekstrem, dengan tarif progresif yang bisa mencapai 55%.

Namun, kedua negara tersebut juga memberikan ambang batas bebas pajak yang tinggi sehingga keluarga kelas menengah tidak terbebani (OECD, 2021).

Praktik ini menunjukkan bahwa pajak waris bisa diterima publik jika dirancang dengan prinsip progresivitas: semakin besar nilai warisan, semakin tinggi beban pajaknya. Sebaliknya, warisan kecil untuk keluarga biasa mendapat keringanan.

Rekomendasi Reformasi

Agar pajak waris benar-benar berfungsi sebagai instrumen keadilan fiskal, beberapa langkah reformasi perlu dipertimbangkan:

• Menyesuaikan NPOPTKP dengan indeks inflasi properti (misal: mengacu data kuartalan Bank Indonesia) dan menetapkan ambang batas berbeda per daerah (DKI Jakarta: min. Rp1,5 miliar, Jawa Timur: Rp800 juta, dst).

• Membedakan warisan produktif dan konsumtif. Usaha kecil keluarga seharusnya mendapat perlakuan lebih ringan agar dapat terus beroperasi tanpa terganggu masalah pajak.

• Mengadopsi skema progresif mirip PPh, contoh:

Warisan ≤ Rp2 M: 0%

Rp2–10 M: 2,5%

Rp10 M: 5–7%

4.     Menyediakan skema cicilan atau penangguhan pembayaran BPHTB. Dengan demikian, keluarga tidak harus menanggung beban pajak sekaligus.

• Meningkatkan literasi pajak waris. Pemerintah perlu menjelaskan sejak dini bahwa pewarisan membawa konsekuensi fiskal, sehingga masyarakat dapat merencanakan keuangan lebih baik.

Penutup

Pajak waris sejatinya adalah upaya negara untuk mengatur distribusi kekayaan. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering dipersepsikan publik sebagai “pajak di atas kesedihan”. Selama beban lebih banyak ditanggung rakyat kecil ketimbang konglomerat, rasa ketidakadilan akan terus mengemuka.

Jika pemerintah ingin pajak diterima dengan lapang dada, reformasi aturan pajak waris tidak bisa ditunda. Tanpa reformasi mendasar, pajak waris akan tetap menjadi paradoks: kebijakan yang dimaksudkan untuk keadilan, justru melanggengkan ketimpangan. Saatnya menjadikannya instrumen redistribusi yang nyata bukan sekadar ‘pajak air mata’ bagi yang berduka.

Dengan begitu, ia bukan hanya menjadi sumber kas negara, tetapi juga instrumen keadilan sosial yang menjaga kepercayaan rakyat pada sistem perpajakan.

 

Referensi

1.      Alm, J. (2019). What motivates tax compliance? Journal of Economic Surveys, 33(2), 353–388. https://doi:10.1111/joes.12272

2.      Asian Development Bank (ADB). (2022). Inheritance tax reform in Southeast Asia: Lessons from Japan and Singapore. https://doi.org/10.22617/TCS220135-2

3.      Bad an Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (BKF Kemenkeu). (2022). Evaluasi efektivitas BPHTB waris di 5 kota metropolitan [Laporan internal].

4.      Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2015). Taxation and inequality in the global South. World Development, 67, 420–433. https://doi:10.1016/j.worlddev.2014.10.015

5.      Gustafsson, M. (2021). Inheritance taxation and psychological distress: Evidence from Sweden. Journal of Economic Psychology, 85, 102398. https://doi:10.1016/j.joep.2021.102398

6.      Hidayat, A. (2018). Pajak waris dan implikasinya dalam hukum pajak Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(3), 512–530. https://doi:10.21143/jhp.vol48.no3.1802

7.      James, K. (2019). Tax avoidance and capital flight in developing economies. Journal of Public Economics, 178, 104–120. https://doi:10.1016/j.jpubeco.2019.104120

8.      Kirchler, E. (2007). The economic psychology of tax behaviour. Cambridge University Press.

9.      Musgrave, R. A. (1959). The theory of public finance. McGraw-Hill.

10.  Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2021). Inheritance taxation in OECD countries. OECD Publishing. https://doi:10.1787/e2879a7d-en

11.  Saez, E., & Zucman, G. (2019). The triumph of injustice: How the rich dodge taxes and how to make them pay. W. W. Norton & Company.

12.  Tim Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (2023). Dampak kewajiban perpajakan pada stres finansial ahli waris di DKI Jakarta. Jurnal Psikologi Sosial, 21(1), 45–62.

13.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

 

en_US