Hubungan antara Konsultan Pajak dengan Kliennya adalah hubungan yang bersifat keperdataan. Keperdataan disini berarti adanya kesetaraan posisi antara Konsultan Pajak dengan Klien, sekalipun Konsultan Pajak menerima honorarium / fee dari Kliennya tersebut. Dalam memberikan jasanya, Konsultan Pajak tidak dibawah perintah atau disupervisi oleh Kliennya. Konsultan Pajak murni memberikan jasanya secara independen dan patuh terhadap standar profesi, kode etik Konsultan Pajak, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dimana Konsultan Pajak tersebut bernaung serta peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Konsultan Pajak perlu senantiasa menjaga independensi dan kesetaraannya ini agar terhindar dari risiko-risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah gugatan ganti rugi dari Kliennya atau bahkan Konsultan Pajak dapat terjerat pidana, baik sebagai pelaku maupun pasal pidana penyertaan. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, Konsultan Pajak perlu membentengi hubungan dengan Kliennya melalui suatu Surat Ikatan Tugas atau disingkat SIT (Engagement Letter) yang biasanya berbentuk perjanjian jasa Konsultan Pajak.
Perjanjian jasa Konsultan Pajak berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang merupakan aturan main yang wajib dipatuhi baik oleh Konsultan Pajak maupun Kliennya. Hak dan kewajiban yang tercantum tersebut merupakan hasil negosiasi yang disepakati, yang biasanya Konsultan Pajak menyanggupi memberikan jasa untuk melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Klien dan sebaliknya Klien menyanggupi membayar honorarium / fee atas jasa yang telah dilakukan oleh Konsultan Pajak tersebut.
Kemampuan bernegosiasi sangatlah menentukan isi dari perjanjian ini, tak jarang Konsultan Pajak tergiring untuk memenuhi target / hasil tertentu yang diinginkan oleh Kliennya. Isi perjanjian dengan target / hasil tertentu inilah yang perlu dihindari agar Konsultan Pajak terlepas dari risiko-risiko yang tidak diinginkan.
Dalam suatu perjanjian untuk memberikan jasa, setidaknya dikenal dua model / jenis yang kerap ditemui. Model / jenis yang pertama adalah perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) dan model / jenis yang kedua adalah perjanjian dengan upaya terbaik (duty to exert best efforts).
Sebagaimana yang telah disampaikan pada akhir paragraf ketiga di atas, perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) merupakan perjanjian yang harus dihindari oleh Konsultan Pajak ketika bernegosiasi maupun dalam penandatanganan perjanjian jasa Konsultan Pajak. Salah satu ciri dari perjanjian dengan hasil tertentu (result oriented obligation) ini adalah adanya klausula-klausula yang mewajibkan Konsultan Pajak menjamin bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban pajak klien selesai sesuai keinginan kliennya. Secara lebih konkrit, misalnya: Konsultan Pajak menyanggupi bahwa keberatan / banding yang diajukan pasti diterima / dimenangkan sesuai dengan keinginan Kliennya.
Model / jenis perjanjian dengan upaya terbaik (duty to exert best efforts) merupakan perjanjian yang ideal dalam suatu pemberian jasa Konsultan Pajak. Pada model / jenis perjanjian ini tidak ada kewajiban atau bahkan jaminan pencapaian target / hasil tertentu sesuai keinginan Klien.
Konsultan Pajak melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya secara independen dan profesional sesuai dengan daya, upaya serta kehati-hatian yang maksimal dari Konsultan Pajak tersebut. Pada model / jenis perjanjian ini, Konsultan Pajak bertanggung jawab terhadap proses pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan klien tetapi tidak terhadap hasil akhir tertentu yang diinginkan kliennya.
Adanya Perjanjian dengan model / jenis upaya terbaik (duty to exert best efforts) yang dibuat oleh Konsultan Pajak dengan Kliennya, merupakan pengejawantahan dari Standar Profesi dan Kode Etik IKPI. Dalam Standar Profesi IKPI, khususnya Bagian II angka 3.2.2. disebutkan bahwa:
“Anggota sangat dianjurkan untuk membuat Surat Ikatan Tugas atau disingkat SIT (Engagement Letter / EL) kepada klien berkaitan dengan persyaratan penugasan yang merupakan ikatan perjanjian dengan klien. Ikatan tugas merupakan ruang lingkup penugasan yang harus dilaksanakan, yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa jika timbul perselisihan di kemudian hari.”
dan Kode Etik IKPI, khususnya pada Bab III dibawah judul Hubungan dengan Klien Pasal 4 tercantum bahwa:
“Konsultan Pajak dilarang memberikan jaminan kepastian kepada klien atas penyelesaian pekerjaan.”
Demikian tulisan singkat mengenai dua model / jenis perjanjian jasa yang kerap penulis temui di lapangan, semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan gambaran untuk rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi dalam menyusun engagement letter-nya.
Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bandung
Hari Yanto
Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis