Potensi Ekonomi Digital Capai US$146 Miliar, DJP Siapkan Aturan Baru 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperkuat strategi pemajakan sektor digital seiring melonjaknya nilai ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai US$ 146 miliar pada tahun 2025. Salah satu langkah konkret yang tengah digodok adalah penyusunan regulasi baru untuk memperjelas ketentuan perpajakan atas transaksi digital.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, mengatakan regulasi tersebut akan menjadi fondasi hukum yang kuat untuk memastikan kepatuhan pajak pelaku usaha digital, baik dalam maupun luar negeri.

“Regulasi ini akan mengatur jenis layanan digital yang dikenai pajak, mekanisme pemungutannya, serta dokumen yang perlu disiapkan pelaku usaha terkait kewajiban pajak digital,” ungkap Rosmauli, baru-baru ini.

Hingga 31 Maret 2025, penerimaan pajak dari ekonomi digital, termasuk pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), telah menyentuh angka Rp 34,91 triliun. Pemerintah sendiri telah menunjuk sejumlah pelaku usaha PMSE luar negeri sebagai pemungut PPN atas produk dan layanan digital yang dijual ke Indonesia.

Namun, sejumlah kalangan menilai masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum tergarap maksimal. Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, mendukung langkah DJP dan menekankan pentingnya evaluasi ambang batas penunjukan pemungut PPN PMSE.

“Ambang Rp 600 juta per tahun bisa jadi terlalu tinggi. Penurunan batas ini akan membuka ruang untuk menjaring lebih banyak pelaku digital skala kecil dan menengah yang selama ini luput dari radar pajak,” kata Ariawan.

Ia juga menyoroti empat sektor digital dengan potensi pajak besar namun masih belum digarap optimal:

  1. Aset Kripto: Meski sudah dikenai PPN dan PPh, kepatuhan pelaku pasar dinilai masih rendah.
  2. Peer-to-Peer (P2P) Lending: Kontributor pajak signifikan dengan penerimaan Rp 3,28 triliun per Maret 2025, dan bisa menjadi contoh bagi subsektor fintech lain seperti insurtech, regtech, hingga wealthtech.
  3. Ekonomi Gig: Dari pekerja lepas hingga layanan ride-hailing, sektor ini diperkirakan mampu menyumbang Rp 28–75 triliun per tahun jika dikenakan PPh 5–10%. Namun, pengawasan masih menjadi tantangan besar.
  4. Kecerdasan Buatan (AI): Ariawan menilai AI adalah frontier baru yang perlu cepat dipetakan oleh otoritas pajak untuk memastikan tidak ada potensi penerimaan yang terlewat.

Dengan lonjakan nilai transaksi digital dan kompleksitas jenis usaha yang terus berkembang, Ariawan mengingatkan bahwa pemerintah harus adaptif dan progresif.

“Kita tidak bisa lagi menunggu. Pajak digital adalah keniscayaan, bukan opsi,” tegasnya. (alf)

 

en_US