Flat Tax Vs Progressive Tax Mana Lebih Adil?

Dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini Arthur Laffer, seorang ekonom asal Amerika bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia terkenal dengan Kurva Laffer-nya di era tahun 1970-an yaitu konsep bahwa ada batas maksimal besaran tarif Pajak Penghasilan dalam upaya memperoleh penerimaan negara yang optimal. Laffer melontarkan usulan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan penerapan Flat Tax dalam kebijakan penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi.

Kemudian pada saat acara Economy Update 2025 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia, Laffer menyampaikan bahwa ia yakin Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan dari sisi pajak adalah dengan menerapkan struktur pajak “Low Rate, Broad-Based, and Flat Tax”. Dengan struktur ini diharapkan bahwa tarif pajak rendah (low rate) akan memberi stimulus bagi individu serta badan usaha untuk lebih giat melakukan aktivitas ekonomi dan investasi.

Kemudian dengan basis pemajakan yang luas (broad based) yang dibarengi dengan pengurangan sejumlah pengecualian penghasilan yang tidak dikenakan pajak PPh, dan kebijakan lainnya yang mereduksi dasar pengenaan pajak, serta selektif dalam pemberian berbagai insentif pajak, maka pemerintah akan lebih leluasa menurunkan tarif pajak tanpa berdampak pada menurunnya penerimaan negara secara signifikan. Selain itu dengan tarif pajak tunggal (flat tax), perhitungan pajak akan lebih sederhana (simplicity).

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikutip oleh berbagai media menyatakan penolakannya dengan usulan Laffer untuk penerapan Flat Tax. Selain tidak selaras dengan kebutuhan dan kondisi di Indonesia, menurutnya Flat Tax kurang mencerminkan keadilan karena tidak memperhitungkan kemampuan membayar. Sistim tarif atau progresif untuk PPh Orang Pribadi dari 5% hingga 35% atas jenjang atau lapisan penghasilan kena pajak dinilai lebih adil.

Flat Tax Vs Progressive Tax

Secara singkat Flat Tax adalah tarif pajak tunggal yang dikenakan terhadap penghasilan tanpa memperhatikan jumlahnya. Misalnya dua orang masing-masing memperoleh penghasilan kena pajak setahun yaitu Ary sebesar Rp. 120 juta setahun dan Sony Rp.24 miliar. Apabila dikenakan misalnya dengan tarif tunggal 20% PPh untuk orang pribadi, maka Ary akan membayar PPh pajak sebesar Rp. 24 juta dan Sony membayar PPh Rp. 4.8 miliar. Saat ini tarif tunggal PPh diberlakukan di Indonesia hanya untuk Wajib Pajak Badan yaitu 22%, tidak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sementara itu Progressive Tax merupakan konsep tarif pajak yang memperhatikan besarnya penghasilan kena pajak. Tarifnya akan semakin tinggi seiring dengan jenjang lapisan penghasilan.

Contohnya, berdasarkan UU PPh yang berlaku saat ini di Indonesia, terdapat 5 (lima) lapisan tarif untuk PPh Orang Pribadi, yaitu mulai dari tarif terendah 5% untuk lapisan penghasilan kena pajak Rp. 0 sampai dengan Rp.60 juta, 15% untuk lapisan di atas Rp.60 juta sd Rp.250 juta, 25% untuk lapisan di atas Rp. 250 juta sd Rp. 500 juta, 30% untuk lapisan diatas Rp. 500 juta sd Rp. 5 miliar dan tarif tertinggi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 5 miliar rupiah.

Dengan menerapkan tarif progresif tersebut, maka Ary akan membayar PPh sebesar Rp. 12 juta dan Sony membayar Rp. 8.094.000.000. Tarif pajak efektif yang dibayar oleh Ary adalah 10% (Rp.12 juta/ Rp.120 juta) sedangkan tarif pajak efektif yang dibayar oleh Sony adalah 33% (Rp.8.094.000.000/Rp.24 miliar).

Keadilan Dalam Pajak Penghasilan

Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave (1989) mengemukakan adanya 2 (dua) macam prinsip keadilan. Pertama, Benefit Principle yaitu setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Dalam praktiknya prinsip ini sulit diterapkan karena tidak mudah mengukur manfaat yang dinikmati seorang Wajib Pajak atas pelayanan publik. Prinsip ini lebih tepat untuk pemungutan retribusi (non pajak) yang manfaatnya dirasakan langsung oleh pembayarnya. Prinsip yang kedua adalah Ability to Pay Principle yang menekankan bahwa pembebanan pajak kepada para Wajib Pajak didasarkan pada kemampuan masing-masing dalam membayar pajak. Prinsip ini dikenal sebagai Teori Daya Pikul.

Selanjutnya Musgrave membedakan keadilan pemungutan pajak berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay) menjadi dua, yaitu keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal terpenuhi apabila orang-orang yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama dibebani pajak dalam jumlah yang sama, sedangkan keadilan vertikal mengandung makna bahwa besaran pajak yang akan dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sebanding dengan penghasilannya. Semakin besar penghasilan seseorang maka semakin besar pula pajak yang akan dibayar.

Mana Lebih Adil?

Merujuk kembali pada ilustrasi sebelumnya, dengan Flat Tax, Sony membayar PPh lebih besar dari Ary. Dengan asumsi tarif tunggal (flat tax rate) yang berlaku sama untuk Ary dan Sony, secara nominal jumlah PPh yang dibayar oleh Sony (Rp. 4.8 miliar) adalah 200 kali lipat lebih besar dari pajak yang dibayarkan oleh Ary (Rp. 24 juta). Beban pajak tersebut proporsional dengan penghasilan Sony (Rp. 24 miliar) yang jumlahnya juga 200 kali lebih besar dibandingkan dengan penghasilan Ary (Rp.120 juta).

Ditinjau dari prinsip keadilan dalam Pajak Penghasilan, penerapan Flat Tax memenuhi prinsip Vertical Equity karena orang yang memperoleh penghasilan lebih besar membayar pajak lebih besar. Namun demikian Vertical Equity dalam hal ini sifatnya proporsional karena tarifnya flat atau tunggal dan dampaknya terhadap kedua Wajib Pajak sangat berbeda.

Bagi Ary, membayar PPh sebesar Rp. 24 juta dari penghasilannya sejumlah Rp. 120 juta mungkin cukup terasa terbebani dan akan mengurangi kemampuannya untuk membiayai kebutuhan dasarnya, misalnya biaya sewa kontrakan atau cicilan rumah dan biaya sekolah anak.

Namun sebaliknya bagi Sony, membayar pajak sejumlah Rp. 4.8 miliar dari penghasilannya sebesar Rp. 24 miliar tidak berdampak pada kebutuhan dasarnya yang sudah jelas dapat terpenuhi, bahkan masih tersisa banyak.

Selanjutnya dengan Progressive Tax, mengambil contoh tarif progresif yang berlaku saat ini di Indonesia, Sony membayar PPh dengan tarif pajak efektif 33% yaitu 3.3 kali lipat lebih tinggi dari tarif pajak efektif 10% yang dibayarkan oleh Ary. Kondisi ini tampak lebih memenuhi prinsip Vertical Equity dan selaras dengan Ability to Pay Principle karena tarif PPh berjenjang naik sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak (brackets).

Progressive Tax menjadi pilihan bagi negara yang membutuhkan keadilan distributif dalam mengalokasikan beban pajak sebagaimana disampaikan oleh Sri Mulyani.

Sementara itu, meskipun dipandang kurang adil, Flat Tax (tarif tunggal) yang rendah akan menjadi insentif bagi orang atau perusahaan untuk lebih produktif berusaha dan ujungnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana menurut Arthur Laffer. Jadi, ini sebuah pilihan, tergantung dari kondisi dan tujuan ekonomi, serta prioritas pemerintah suatu negara.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Email: ruston@citasco.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

en_US