APSyFI Sebut Kenaikan PPN 12% Tak Bebani Industri

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa keputusan pemerintah dengan memberlakukan kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 12%) hanya kepada barang mewah pada tahun 2025, adalah keputusan tepat. Karena penerapan pada barang mewah hanya akan dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau bahan intermediate yang digunakan dalam proses produksi.

“Saya kira keputusan pemerintah ini sudah tepat karena yang ditarget adalah barang mewah,” ujar Redma dalam keterangan persnya, Senin (9/12/2024).

Menurut Redma, kebijakan ini tidak akan menambah beban biaya produksi di sektor manufaktur. Karena, meski kenaikan PPN 1% akan berdampak pada daya beli kelas menengah ke atas, hal tersebut tidak akan mengganggu jalannya produksi barang-barang industri.

Sebelumnya, kenaikan PPN yang direncanakan akan diberlakukan pada seluruh rantai pasok sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen. Pasalnya, produsen harus menyiapkan tambahan modal untuk arus kas yang meningkat akibat beban bunga dari pengkreditan PPN. Dalam skenario tersebut, PPN yang dikenakan sepanjang rantai pasok bisa mencapai 21%, yang dinilai dapat memberatkan industri manufaktur.

Namun, meskipun APSyFI mendukung kebijakan tersebut, Redma juga menyoroti potensi dampak kenaikan PPN terhadap sektor transportasi dan logistik. Menurutnya, kenaikan harga barang mewah dapat mempengaruhi biaya logistik yang berujung pada peningkatan ongkos pengiriman. Ia pun berharap pemerintah mempertimbangkan dampak ini dan mendorong sektor logistik untuk melakukan efisiensi biaya.

Di sisi lain, APSyFI juga meminta pemerintah untuk lebih serius menangani masalah impor barang ilegal. Redma menilai bahwa pengentasan barang impor ilegal sangat penting untuk memperbaiki kondisi industri manufaktur dalam negeri. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan pendapatan pajak pemerintah tanpa memberatkan industri dan konsumen.

“Pengentasan barang impor ilegal merupakan hal utama untuk mengembalikan kondisi industri manufaktur. Sekaligus meningkatkan pendapatan pajak tanpa membebani industri dan konsumen,” kata Redma. (alf)

en_US