Sidang MK: Yustinus Prastowo Paparkan Alasan UU HPP Layak Dipertahankan

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Selasa (29/7/2025), dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemerintah. Hadir sebagai ahli, Yustinus Prastowo memaparkan bahwa UU HPP merupakan pilar reformasi perpajakan yang menjunjung prinsip keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Dalam perkara bernomor 11/PUU-XXIII/2025 tersebut, Yustinus menyebut UU HPP bukan sekadar penyederhanaan regulasi, melainkan transformasi mendasar dalam sistem perpajakan nasional. Ia mencontohkan berbagai langkah konkret, seperti peningkatan bertahap tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada 2022 dan 12% pada 2025, yang diimbangi dengan perlindungan terhadap kelompok rentan melalui fasilitas pajak bagi UMKM dan masyarakat kecil.

“Reformasi ini dibangun di atas asas ability to pay. Mereka yang mampu membayar pajak lebih besar akan berkontribusi lebih banyak, sementara kelompok menengah ke bawah tetap dilindungi,” ujarnya di hadapan sembilan hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.

Yustinus juga menekankan bahwa PPN menyumbang hampir setengah dari penerimaan perpajakan nasional, mencapai Rp1.014,47 triliun atau sekitar 43%. Dengan karakteristik netral, efisien, dan konsumtif, menurutnya, PPN menjadi alat fiskal penting yang sejalan dengan praktik internasional dan mendukung struktur pajak nasional yang sehat dan beragam.

Lebih lanjut, ia menyoroti ketentuan Pasal 16B UU HPP yang mengubah status barang dan jasa strategis dari tidak kena pajak menjadi dikenai PPN namun dengan fasilitas pembebasan. Langkah ini, kata Yustinus, penting untuk memperluas basis perpajakan dan memastikan insentif fiskal diberikan secara tepat sasaran.

“Pendekatan ini memperkuat keadilan vertikal dan horizontal, sambil memperbaiki data perpajakan agar lebih akurat dan inklusif,” tambahnya.

Yustinus juga merinci keberadaan PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. Dengan pengaturan ini, barang non-mewah tetap dibebani tarif efektif 11%, sementara tarif 12% hanya diterapkan pada barang mewah. Menurutnya, kebijakan ini dirancang untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat kecil.

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa kebijakan PPN perlu terus dievaluasi agar tetap adil dan adaptif terhadap perubahan kondisi ekonomi. Fasilitas PPN, lanjutnya, harus diarahkan kepada barang dan jasa strategis yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat.

“Rekomendasi ke depan adalah memastikan fasilitas PPN tidak meluas tanpa arah, melainkan difokuskan pada sektor-sektor prioritas yang benar-benar dibutuhkan masyarakat,” tutup Yustinus.

Sidang lanjutan pengujian UU HPP ini menjadi panggung penting untuk menguji keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan keadilan sosial dalam kebijakan perpajakan. (alf)

 

id_ID