IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat, khususnya pelaku usaha, agar memahami dengan benar jenis pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan atas penghasilan dari jasa ekspedisi atau pengiriman barang. Penentuan tarif dan jenis PPh sangat bergantung pada siapa penyedia jasa tersebut badan atau orang pribadi.
Melalui akun resmi media sosial Kring Pajak, dikutip Rabu (23/7/2025), DJP menegaskan bahwa apabila jasa ekspedisi diberikan oleh badan usaha, maka penghasilan dari jasa tersebut termasuk dalam kategori jasa lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 dan akan dikenai PPh Pasal 23.
Namun, jika jasa diberikan oleh orang pribadi, maka penghasilannya dikenai PPh Pasal 21 sesuai dengan PMK 168 Tahun 2023.
“Silakan dipastikan kembali apakah lawan transaksinya adalah badan atau orang pribadi,” ujar Kring Pajak.
Tarif PPh Pasal 23 untuk Jasa Ekspedisi oleh Badan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) PMK 141/2015, tarif PPh Pasal 23 atas jasa lain (termasuk jasa ekspedisi yang tidak diatur khusus dalam Pasal 15 UU PPh) ditetapkan sebesar 2% dari jumlah bruto pembayaran, tidak termasuk PPN. Jumlah bruto ini mencakup seluruh penghasilan yang dibayarkan atau telah jatuh tempo, kecuali dalam beberapa kondisi tertentu seperti:
• Pembayaran kepada tenaga kerja berdasarkan kontrak outsourcing;
• Pembayaran atas pembelian barang atau material;
• Pembayaran yang hanya diteruskan ke pihak ketiga;
• Reimbursement biaya oleh penyedia jasa.
Jika penerima jasa tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 23 dikenakan dua kali lipat, yaitu 4% dari jumlah bruto.
Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf ba PMK 141/2015 ditegaskan bahwa jasa pengangkutan atau ekspedisi yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 15 UU PPh termasuk ke dalam jenis “jasa lain” yang dikenai PPh Pasal 23. Artinya, pengenaan pajaknya tidak bersifat final seperti usaha angkutan tertentu yang diatur khusus melalui norma perhitungan penghasilan neto.
DJP mengimbau agar para pemberi dan pengguna jasa ekspedisi lebih cermat dalam memverifikasi status pajak pihak yang mereka transaksikan. Kewajiban pemotongan PPh sangat bergantung pada jenis subjek pajak. Kegagalan memotong atau kesalahan dalam pengenaan tarif dapat menimbulkan sanksi administratif bagi pihak yang seharusnya melakukan pemotongan. (alf)