Begini Cara Aktifkan Kembali Wajib Pajak Nonaktif Menurut PER-7/PJ/2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mengatur ulang tata cara pengaktifan kembali wajib pajak nonaktif melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Aturan ini memberikan dua jalur pengaktifan: berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan oleh DJP.

Kepala KPP dapat memproses pengaktifan kembali apabila wajib pajak ingin kembali melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Permohonan bisa diajukan secara elektronik lewat portal Coretax, aplikasi terintegrasi PJAP, maupun contact center. Bagi yang terkendala akses digital, pengajuan dapat dilakukan langsung ke KPP atau melalui pos, ekspedisi, dan jasa kurir resmi.

Di layanan Coretax, wajib pajak cukup masuk ke menu Portal Saya → Perubahan Status → Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Nonaktif, mengisi formulir, memilih alasan, lalu menyetujui pernyataan kesediaan memenuhi ketentuan perpajakan. Format formulir resmi tercantum di Lampiran huruf G PER-7/PJ/2025.

Setelah permohonan diterima, DJP akan memberikan bukti penerimaan elektronik atau fisik, sebelum kepala KPP menerbitkan surat pengaktifan kembali.

Selain melalui permohonan, DJP juga dapat mengaktifkan kembali wajib pajak secara jabatan apabila ditemukan data bahwa mereka sudah kembali aktif berusaha, membayar pajak, menyampaikan SPT, atau menggunakan layanan perpajakan yang memerlukan status aktif.

Aturan baru ini diharapkan mempermudah proses reaktivasi dan memastikan wajib pajak yang kembali produktif bisa langsung melaksanakan kewajiban pajaknya tanpa hambatan administratif. (alf)

 

 

 

 

Protes Kenaikan PBB, Warga Jombang Bayar Pakai Satu Galon Uang Koin

IKPI, Jakarta: Aksi protes terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, dilakukan dengan cara tak biasa oleh seorang warga Desa Pulolor, Kecamatan Jombang. Fattah Rochim, Senin (11/8/2025), datang ke kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sambil menenteng satu galon penuh uang koin untuk membayar pajak rumahnya.

Fattah mengaku kesal karena PBB-P2 rumahnya melonjak tajam dari Rp400 ribu per tahun menjadi Rp1,3 juta sejak 2024. Uang koin itu diambil dari celengan anaknya yang sudah dikumpulkan sejak duduk di bangku SMP.

“Saya terpaksa bayar pakai koin ini karena tidak ada uang lagi. Kenaikan pajak ini terlalu memberatkan,” ujarnya dalam sebuah video yang kini ramai di media sosial.

Dalam video tersebut, Fattah terlihat berdebat dengan Kepala Bapenda Jombang, Hartono. Ia menilai kenaikan pajak yang terlalu besar sangat tidak wajar, apalagi di tengah kondisi ekonomi warga yang belum pulih.

Fattah merupakan bagian dari Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) yang menuntut revisi Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomor 51 Tahun 2024. Regulasi itu dinilai sebagai penyebab melonjaknya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan PBB-P2, bahkan hingga menyasar musala dan tanah wakaf yang seharusnya bebas pajak.

Kepala Bapenda Jombang Hartono tidak menampik adanya kenaikan signifikan. Menurutnya, lonjakan hingga 1.000 persen terjadi karena data NJOP lama tidak pernah diperbarui. “Tidak semua naik, ada juga yang turun. Kenaikan besar terjadi di wilayah yang selama ini NJOP-nya jauh di bawah harga pasar,” katanya.

Gelombang protes warga diperkirakan masih akan berlanjut, mengingat kebijakan ini memicu keresahan di banyak desa dan kecamatan di Jombang. (alf)

 

 

 

 

 

Celios Desak Pemerintah Pungut Pajak Kekayaan, Potensi Rp81 Triliun per Tahun

IKPI, Jakarta: Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, untuk mulai memungut pajak kekayaan dari segelintir orang superkaya di Indonesia. Berdasarkan kajian Celios, kebijakan ini berpotensi menambah pundi-pundi negara hingga Rp81,56 triliun setiap tahunnya.

Hitungan Celios berangkat dari estimasi kekayaan terendah 50 orang terkaya di Indonesia, yakni Rp15 triliun per orang, dengan rata-rata kekayaan mencapai Rp159 triliun. Dengan tarif pajak kekayaan yang diasumsikan hanya 2 persen, penerimaan negara sudah bisa menembus puluhan triliun rupiah.

“Memajaki hanya 2 persen aset dari 50 orang superkaya saja sudah menghasilkan lebih dari Rp81 triliun. Padahal, data terakhir mencatat ada hampir 2.000 orang superkaya di Indonesia. Artinya, potensi riilnya jauh lebih besar,” ujar Media saat peluncuran riset “Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”, Selasa (12/8/2025).

Pajak kekayaan, jelasnya, merupakan instrumen progresif yang dikenakan atas total kekayaan bersih individu, termasuk tanah, properti, saham, kendaraan, karya seni, dan simpanan rekening. Tujuannya bukan memajaki produktivitas, tetapi mengendalikan konsentrasi kekayaan yang berlebihan, sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi ekonomi.

Celios menegaskan, ide ini selaras dengan pemikiran ekonom dunia seperti Thomas Piketty, Emmanuel Saez, dan Gabriel Zucman yang merekomendasikan pajak kekayaan progresif dan transparan di tengah melonjaknya konsentrasi aset secara global.

Namun, Indonesia hingga kini belum memiliki skema pajak kekayaan yang komprehensif. Pajak atas aset memang ada, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga PPh final dividen. Tetapi, seluruh aset bersih individu belum menjadi objek pajak secara menyeluruh.

Keterbatasan kapasitas administrasi perpajakan dan resistensi dari elite ekonomi disebut sebagai tantangan utama. Media menilai, integrasi data aset nasional menjadi prasyarat penting, meliputi sistem informasi properti (SIP), Samsat, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), hingga fasilitas AKSes di pasar modal. Penguatan audit dan sanksi tegas juga perlu dilakukan agar kebijakan tidak mandek.

“Pajak kekayaan akan membuat sistem perpajakan lebih adil dan mengurangi beban pajak masyarakat umum, yang selama ini terlalu mengandalkan pajak regresif seperti PPN,” tambahnya.

Selain pajak kekayaan, Celios juga mendorong pemerintah mencari sumber penerimaan berkeadilan lainnya, termasuk pajak karbon, pajak produksi batu bara, hingga skema debt swap untuk mendukung transisi energi bersih dan pelestarian keanekaragaman hayati. (alf)

 

 

 

KP3SKP Umumkan Jadwal USKP Periode III/2025, 2.814 Peserta Lolos Verifikasi

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) resmi merilis jadwal pelaksanaan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode III/2025 melalui PENG-12/KP3SKP/VII/2025. Ujian akan digelar serentak di seluruh lokasi penyelenggaraan pada 7–9 Oktober 2025.

Meski ujian baru akan berlangsung Oktober mendatang, peserta yang telah dinyatakan lolos verifikasi diimbau segera mencermati jadwal serta lokasi pelaksanaan ujian sesuai ketentuan. “Pelaksanaan ujian dilakukan serentak di seluruh lokasi,” tulis KP3SKP dalam pengumuman resmi, Senin (11/8/2025).

Berdasarkan data KP3SKP, terdapat 2.814 pendaftar yang lolos verifikasi untuk Periode III/2025. Dari jumlah tersebut, 2.144 peserta tercatat mengikuti USKP Tingkat A, sementara 670 peserta mengikuti Tingkat B.

Adapun jadwal ujian terbagi dalam beberapa sesi dengan rincian sebagai berikut:

Selasa, 7 Oktober 2025

Tingkat A: PPh Badan (08.00–10.00 WIB) dan KUP, PPSP, PP (10.30–12.00 WIB)

Tingkat B: PPh OP dan SPT PPh OP (08.00–10.00 WIB) serta KUP, PPSP, PP (10.30–12.00 WIB)

Rabu, 8 Oktober 2025

Tingkat A & B: PPh Pemotongan/Pemungutan (08.00–10.00 WIB) dan PPN serta SPT PPN (10.30–12.00 WIB)

Kamis, 9 Oktober 2025

Tingkat A: PBB-P5L dan Bea Meterai (08.00–09.30 WIB), Profesi & Kode Etik (10.15–11.15 WIB)

Tingkat B: Akuntansi Perpajakan (08.00–10.00 WIB)

KP3SKP menegaskan seluruh jadwal ujian mengacu pada Waktu Indonesia Barat (WIB). Sementara informasi detail mengenai lokasi ujian dapat dilihat melalui Lampiran PENG-12/KP3SKP/VIII/2025.

Peserta juga diwajibkan mencetak kartu ujian secara mandiri melalui akun masing-masing di laman resmi: https://bppk.kemenkeu.go.id/uskp/. (alf)

 

 

 

 

 

 

APINDO Dorong Pemerintah Berikan Insentif Pajak Selektif

IKPI, Jakarta: Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam menegaskan perlunya kebijakan insentif pajak yang lebih selektif. Menurutnya, insentif sebaiknya diarahkan pada sektor dengan daya ungkit tinggi terhadap perekonomian nasional dan penerimaan negara.

“Karena saat ini penerimaan negara masih kurang, jangan sampai tarif pajak dinaikkan. Pajak bersumber dari mereka yang berusaha dan bekerja, sehingga jika dinaikkan justru akan melemahkan daya beli dan memperlambat ekonomi. Karena itu, insentif harus diprioritaskan untuk sektor yang bila direlaksasi bisa meningkatkan revenue lebih besar,” jelas Bob yang juga Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Selasa (12/8/25).

Bob menekankan, strategi insentif yang tepat sasaran mampu memutus mata rantai pelemahan produktivitas di tengah tekanan global. “Insentif efektif adalah yang diberikan kepada sektor dengan elastisitas tinggi terhadap penerimaan negara,” tambahnya.

Perpanjangan Insentif Perumahan

Sejalan dengan pandangan dunia usaha, pemerintah juga memperluas cakupan insentif fiskal. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa Presiden Prabowo Subianto memutuskan memperpanjang insentif pajak properti hingga akhir 2025.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025, pemerintah menanggung 100% Pajak Pertambahan Nilai (PPN DTP) untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar, dan berlaku untuk properti dengan nilai jual maksimal Rp5 miliar. Awalnya, insentif penuh hanya diberikan sampai Juni 2025, lalu berkurang menjadi 50% mulai Juli. Namun, kebijakan tersebut diubah dan tetap berlaku penuh hingga Desember 2025.

“Terkait fasilitas PPN DTP properti yang seharusnya semester II hanya 50%, tadi disepakati tetap 100%. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong multiplier effect dan penciptaan lapangan kerja,” ujar Airlangga usai rapat koordinasi terbatas di Jakarta, 25 Juli 2025.

Data Kementerian Keuangan mencatat, sektor properti menyumbang 9,3% atau sekitar Rp185 triliun per tahun terhadap penerimaan pajak.

Insentif Otomotif dan Kendaraan Listrik

Selain perumahan, pemerintah juga memberikan stimulus untuk industri otomotif melalui PMK Nomor 12 Tahun 2025. Insentif tersebut berupa PPN DTP bagi mobil dan bus listrik serta PPnBM DTP untuk kendaraan hybrid. Langkah ini ditujukan guna memperkuat industri ramah lingkungan sekaligus memperluas basis penerimaan negara dari sektor otomotif yang strategis.

Dengan kombinasi kebijakan pemerintah dan usulan dunia usaha, arah insentif fiskal ke depan diharapkan semakin efektif menopang pertumbuhan ekonomi tanpa harus menambah beban pajak masyarakat. (alf)

Beban Pajak Masyarakat Miskin Diklaim Lebih Berat daripada Crazy Rich

IKPI, Jakarta: Ketimpangan beban pajak di Indonesia kembali menjadi sorotan. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, mengungkap fakta mencengangkan bahwa secara persentase pendapatan, masyarakat miskin justru membayar pajak lebih besar dibanding kelompok super kaya atau crazy rich.

Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Media menilai kondisi ketidakadilan fiskal ini semakin terasa di tengah jurang kesenjangan sosial yang melebar. Ia mencontohkan, median gaji buruh hanya sekitar Rp2,5 juta, sedangkan garis kemiskinan keluarga telah menyentuh Rp2,8 juta.

“Kalau satu keluarga hanya mengandalkan upah buruh, maka setengah juta buruh Indonesia bisa dikategorikan miskin,” ujarnya.

Menurut Media, persoalan ini bisa diatasi melalui sistem pajak yang berkeadilan. Penerimaan negara yang optimal seharusnya diarahkan untuk melindungi kelompok rentan seperti buruh, pengangguran, lansia, hingga anak-anak yang mengalami stunting. Namun, ia menekankan kepatuhan pajak hanya mungkin tercapai jika masyarakat merasa sistemnya adil.

“Lihat saja protes warga di Pati, kenaikan PBB sampai 250% langsung diberlakukan tanpa diskusi yang inklusif. Akhirnya yang paling terdampak ya masyarakat kecil,” jelasnya.

CELIOS juga menemukan bahwa orang kaya lebih mudah menghindari kewajiban pajak, misalnya dengan menempatkan aset di luar negeri melalui perusahaan cangkang (shell company). Keuntungan modal kemudian dilaporkan di negara tempat aset itu tersimpan, sehingga beban pajak di Indonesia berkurang drastis.

“Fenomena ini bukan hanya di Indonesia. Warren Buffett sendiri pernah menyinggung kenapa orang super kaya bisa membayar pajak lebih kecil secara persentase dibanding kelas pekerja. Salah satunya karena capital gain mereka banyak yang belum terealisasi,” tambah Media.

Ia menegaskan bahwa masyarakat miskin menghabiskan hingga 120% dari pendapatannya 20% di antaranya berasal dari utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, kalangan kaya hampir mustahil menghabiskan seluruh penghasilannya, meski nilainya mencapai miliaran rupiah per hari.

“Coba bayangkan figur publik seperti Raffi Ahmad atau Deddy Corbuzier, dengan kekayaan triliunan, mereka tentu tidak menghabiskan Rp1 miliar per hari,” ujarnya.

Distribusi pendapatan yang timpang, menurut Media, berakibat fatal bagi perekonomian. Ketika kekayaan menumpuk di segelintir orang, daya beli masyarakat melemah, permintaan menurun, dan angka pengangguran, khususnya di kalangan anak muda, semakin tinggi.

“Ketidakadilan sistem pajak berkontribusi langsung pada menurunnya permintaan dan daya beli. Inilah yang membuat situasi ekonomi makin sulit,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

Kanwil DJP Jakarta Khusus Gelar Edukasi Coretax, Dorong Kepatuhan Pajak Badan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus (Kanwil DJP Jaksus) menyelenggarakan acara Edukasi Coretax di Aula Kantor Pusat DJP, Jakarta, pada Senin (12/8/2025). Kegiatan ini ditujukan bagi Wajib Pajak badan yang tahun bukunya berlangsung dari Agustus hingga Juli, agar dapat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan melalui sistem Coretax.

Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jaksus, Trilawanti Said (Tri), menekankan bahwa Coretax hadir untuk memberikan kemudahan sekaligus transparansi dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Menurutnya, edukasi semacam ini penting agar perusahaan dapat memahami mekanisme pelaporan dengan benar.

“Edukasi ini memastikan Wajib Pajak bisa memanfaatkannya secara optimal. Dengan begitu, pelaporan menjadi lebih cepat, tepat, dan sesuai ketentuan,” ujar Tri dalam keterangan tertulis, Selasa (13/8/2025).

Ia menambahkan, dengan memanfaatkan Coretax, Wajib Pajak diharapkan mampu menunaikan kewajiban perpajakannya dengan benar dan tepat waktu, sekaligus memperoleh hak-haknya secara maksimal. Hal itu diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kepatuhan sukarela di kalangan pelaku usaha.

Panduan Aktivasi Coretax

Dalam sesi awal, para Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jaksus memberikan pemaparan teknis terkait aktivasi akun Coretax. Peserta dibimbing mulai dari pengisian data, verifikasi identitas, hingga pembuatan kata sandi, passphrase, dan Kode Otorisasi/Sertifikat Digital (KO/SD) DJP.

Perusahaan yang belum memiliki KO/SD DJP juga diberikan langkah-langkah praktis untuk membuat dan memvalidasinya melalui laman resmi Coretax. Setelah validasi berhasil, Wajib Pajak dapat langsung menggunakan sertifikat digital tersebut untuk keperluan pelaporan SPT.

Simulasi Pengisian SPT

Tidak berhenti di tahap teknis, acara ini juga menyajikan simulasi pengisian SPT Tahunan PPh Badan. Penyuluh Pajak membimbing peserta dalam mengisi bagian induk SPT (A–J), melaporkan penghasilan yang dikenai PPh final, menghitung PPh terutang, hingga melampirkan dokumen pendukung.

Sebagai penutup, peserta juga mendapat materi tentang pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi melalui Coretax. Topik ini mencakup penghitungan penghasilan neto, pajak terutang, serta pelaporan harta dan utang.

Dengan adanya pendampingan ini, Kanwil DJP Jaksus berharap perusahaan semakin terbiasa menggunakan Coretax, sehingga pelaporan pajak di era digital bisa berjalan lebih efisien, akurat, dan terpercaya. (alf)

 

 

 

 

 

PMK 118/2024: Wajib Pajak Bisa Ajukan Penghapusan Sanksi, Begini Aturan Mainnya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024. Namun, ada syarat penting yang tak boleh dilewatkan yakni pokok pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi harus sudah lunas.

PMK 118/2024 membawa perubahan signifikan dibandingkan aturan sebelumnya, PMK 8/PMK.03/2013. Bila dulu besaran keringanan sanksi dihitung berdasarkan jumlah bulan pengenaan sanksi, kini batas keringanan dihitung dari jumlah sanksi administratif yang masih tersisa setelah pembayaran dilakukan.

Artinya, semakin besar pembayaran sebelum atau saat permohonan diajukan, semakin kecil sanksi yang bisa dihapuskan.

Proporsional dan Tepat Waktu

Ketentuan Pasal 23 PMK 118/2024 mengatur mekanisme yang perlu dicermati wajib pajak. Pembayaran sebelum permohonan akan dihitung secara proporsional antara pokok pajak dan sanksi. Sebaliknya, pembayaran di bulan yang sama dengan pengajuan permohonan akan langsung diprioritaskan untuk melunasi pokok pajak terlebih dahulu.

DJP menekankan, strategi pembayaran sangat menentukan hasil akhir keringanan sanksi. Wajib pajak yang tidak menghitung secara cermat berisiko kehilangan peluang penghapusan sanksi dalam jumlah maksimal.

Contoh Kasus

Misalnya, sebuah perusahaan menerima SKPKB sebesar Rp140 juta, terdiri dari pokok pajak Rp100 juta dan sanksi Rp40 juta.

• 31 Januari 2025: Bayar Rp50 juta → proporsional, Rp35,71 juta ke pokok pajak dan Rp14,29 juta ke sanksi.

• 1 Februari 2025: Bayar Rp70 juta → di bulan pengajuan, seluruhnya diarahkan untuk melunasi pokok pajak terlebih dahulu.

Hasil akhirnya, sanksi yang masih bisa dihapuskan tinggal Rp20 juta dari total awal Rp40 juta.

Dengan skema baru ini, wajib pajak perlu memastikan strategi pembayaran yang tepat sebelum mengajukan permohonan. DJP mengingatkan, kelalaian menghitung alokasi pembayaran dapat membuat potensi keringanan sanksi menjadi lebih kecil dari yang seharusnya. (alf)

 

 

Penerimaan Pajak Pariwisata Bali Tembus Rp1,24 Triliun Semester I-2025, Naik 21,65%

IKPI, Jakarta: Sektor pariwisata kembali menunjukkan tajinya sebagai penyumbang utama penerimaan pajak di Pulau Dewata. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali mencatat, hingga paruh pertama 2025, penerimaan pajak pariwisata telah menembus Rp1,24 triliun. Angka ini melonjak 21,65 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp1,02 triliun.

Lonjakan ini sejalan dengan pulihnya kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik, terutama ke destinasi populer seperti Daya Tarik Wisata (DTW) Ulun Danu Beratan di Tabanan. Ramainya turis yang menikmati panorama dan keindahan taman bunga di sekitar pura tersebut menjadi gambaran nyata bangkitnya industri pariwisata Bali.

Pajak pariwisata mencakup berbagai pungutan yang berasal dari hotel, restoran, hiburan, hingga jasa penunjang lainnya. Kenaikan signifikan ini diyakini sebagai hasil sinergi pelaku usaha pariwisata dengan pemerintah daerah dalam menggenjot kualitas layanan dan promosi destinasi.

DJP Bali optimistis tren positif ini akan terus berlanjut hingga akhir tahun, apalagi Bali masih menjadi magnet utama bagi wisatawan dunia. Dengan kontribusi yang terus meningkat, sektor pariwisata diharapkan mampu menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi Bali secara berkelanjutan. (alf)

 

 

Pemprov DKI Berlakukan Diskon Pajak BBM, Ringankan Beban Masyarakat dan Sektor Strategis

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi mengeluarkan kebijakan pengurangan Pajak atas Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) melalui Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 542 Tahun 2025. Regulasi yang ditandatangani Gubernur Pramono Anung itu berlaku sejak 22 Juli 2025.

Kebijakan fiskal ini ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat, menekan inflasi, sekaligus mendukung keberlangsungan operasional sektor pertahanan dan keamanan nasional.

“Pemprov DKI mempertimbangkan kondisi ekonomi warga serta kebutuhan sektor strategis negara. Pengurangan pajak ini diharapkan dapat menjaga stabilitas perekonomian ibu kota,” tulis keterangan resmi Pemprov DKI, Minggu (17/8/2025).

Tiga Skema Pengurangan Pajak

Dalam Kepgub tersebut, ditetapkan tiga tingkatan pengurangan PBBKB, yaitu:

  • Diskon 50% bagi pengguna kendaraan bermotor pribadi.
  • Diskon 50% untuk kendaraan bermotor umum.
  • Diskon hingga 80% bagi kendaraan operasional pertahanan dan keamanan, meliputi kendaraan tempur, patroli laut dan udara, ambulans, kapal rumah sakit, alat berat pertahanan, hingga kendaraan penunjang strategis lainnya.

Tetap Wajib Lapor Pajak

Meski ada keringanan tarif, Pemprov DKI menegaskan bahwa kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak daerah tidak dihapuskan. Insentif ini hanya meringankan beban fiskal, tanpa mengurangi aspek akuntabilitas.

“Relaksasi ini bentuk dukungan fiskal, tetapi kepatuhan administrasi tetap harus dijalankan,” tegas Pemprov.

Kebijakan ini berlandaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta sejumlah regulasi perpajakan daerah lainnya.

Selain meringankan masyarakat, langkah ini juga menjadi sinyal kuat komitmen Pemprov DKI dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pajak, sekalipun di tengah tekanan ekonomi.

Masyarakat dapat mengakses detail prosedur, syarat, hingga tata cara pelaporan PBBKB melalui laman resmi pajakonline.jakarta.go.id, termasuk panduan pembuatan kode bayar dan registrasi objek pajak baru. (alf)

id_ID