IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan bahaya kebijakan menaikkan pajak secara terus-menerus di tengah perlambatan ekonomi. Menurutnya, langkah itu justru berpotensi menyeret perekonomian ke jurang spiral penurunan yang berbahaya.
“Ketika ekonomi melambat, kalau pajak ditambah di semua titik, ekonomi akan melambat lagi. Akibatnya pendapatan pajak malah turun. Kalau dipaksa naik lagi, makin turun lagi. Itu spiral ke bawah. Jadi kita sedang membunuh ekonomi,” tegas Purbaya di kanal YouTube SindoNews, Minggu (28/9/2025).
Purbaya menilai strategi fiskal yang hanya bertumpu pada penambahan beban pajak bukanlah solusi bijak. Ia menekankan bahwa pemerintah saat ini lebih mengutamakan penciptaan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan ketimbang sekadar mengejar penerimaan pajak jangka pendek.
“Yang penting saya ciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat supaya pajak naik secara otomatis. Kalau ekonomi tumbuh, rakyat juga lebih rela membayar pajak karena mereka punya cukup penghasilan,” jelasnya.
Menurut Menkeu, strategi ini bukan hanya memberi ruang bernapas bagi masyarakat, tetapi juga menjaga kestabilan penerimaan negara. Keseimbangan antara kebijakan fiskal dan dorongan produktivitas disebutnya sebagai kunci agar ekonomi nasional tetap sehat.
“Sekarang saya tidak lagi bicara soal menambah pajak. Fokus saya adalah bagaimana mengorkestrasi pertumbuhan ekonomi agar menciptakan rasa nyaman sekaligus meningkatkan penerimaan negara,” tambahnya.
Lebih jauh, Purbaya menyebut banyak negara menghadapi dilema serupa: di satu sisi membutuhkan dana pembangunan, di sisi lain kenaikan pajak berlebihan bisa menekan daya beli dan menghambat konsumsi domestik. Karena itu, ia menegaskan perlunya kebijakan fiskal yang adaptif dan tidak kaku.
“Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah kunci. Kalau ekonomi sehat, penerimaan pajak akan ikut sehat,” katanya. (alf)
IKPI, Jakarta: Peneliti senior LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison, menyoroti akar masalah shadow economy di Indonesia yang menurutnya lebih mendasar daripada sekadar persoalan kepatuhan. Ia menyebut, mayoritas masyarakat justru merasa lebih nyaman berada di luar sistem perpajakan ketimbang masuk ke dalamnya.
“Kalau ditanya, apakah orang membayar pajak itu terpaksa atau tidak? Jawabannya jelas: terpaksa. Tidak ada yang dengan suka rela ingin membayar pajak,” ujar Vid dalam diskusi panel bertema ‘Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?’ yang digelar IKPI di Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Ia memberi contoh sederhana. Seorang pedagang dengan keuntungan bersih Rp100 juta setahun, tanpa NPWP, bisa lolos tanpa setoran pajak. Sementara pekerja formal dengan gaji Rp70 juta setahun, karena memiliki NPWP, wajib membayar.
“Fair enggak? Jelas tidak. Ini bikin masyarakat merasa ketidakadilan, sehingga enggan masuk ke sistem,” tegasnya.
Lebih lanjut, Vid menyebut salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya konsekuensi nyata bagi warga yang tetap berada di luar sistem. Tanpa NPWP pun, mereka masih bisa mengakses layanan publik, membuat paspor, SIM, bahkan menikmati infrastruktur yang dibangun dari pajak.
“Kalau di Amerika, sejak pertama kali bekerja, orang wajib punya Social Security Number (SSN). Tanpa itu, gaji tidak bisa ditransfer. Itu memaksa orang masuk sistem. Di Indonesia? Saya baru punya NPWP tahun 2008, padahal sudah bekerja sejak lama. Artinya, insentif maupun paksaan untuk taat itu sangat lemah,” ungkapnya.
Menurut Vid, solusi kunci ada pada integrasi NPWP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan begitu, semua warga otomatis masuk sistem sejak lahir. “Kalau semua sudah tercatat, barulah pemerintah bisa memilah mana yang di atas PTKP, mana yang di bawah. Dengan begitu, shadow economy akan lebih terkendali. Kalau dibiarkan seperti sekarang, 20 tahun ke depan pun masalahnya sama,” katanya. (bl)
IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa akan membahas sederet isu strategis dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar pada 20–23 November 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara. Salah satu yang paling ditunggu publik adalah pembahasan mengenai fatwa perpajakan.
Ketua Komisi Fatwa Steering Committee (SC) Munas XI MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa isu pajak tidak bisa dilepaskan dari kepentingan umat. Karena itu, MUI akan menyiapkan landasan hukum keagamaan agar sistem perpajakan berjalan sesuai syariat dan prinsip keadilan.
“Pembahasan pajak akan kita matangkan lewat Forum Group Discussion (FGD) pada Oktober 2025. Kita undang Kementerian Keuangan, akademisi, praktisi pajak, pelaku usaha, hingga ahli ekonomi. Dari sana, kita tarik feed back agar fatwa yang lahir nanti benar-benar aplikatif,” ungkap Ni’am, Sabtu (27/9/2025).
Tak hanya soal pajak, MUI juga mengangkat problematika lain yang langsung bersinggungan dengan hajat hidup masyarakat. Misalnya, praktik jual-beli nomor rekening tidur (dormant account) yang dilaporkan marak terjadi. Permintaan fatwa ini datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena rawan dimanfaatkan untuk pencucian uang hingga tindak pidana lain.
“Banyak rekening lama yang tak dipakai, kemudian diperdagangkan. Itu bisa dipakai untuk hal-hal yang melanggar hukum. Maka, MUI perlu memberi panduan keumatan sekaligus mendukung upaya penegakan hukum,” jelasnya.
Selain itu, persoalan pengelolaan sampah di sungai serta pemanfaatan dana zakat untuk perlindungan pekerja rentan juga akan masuk meja Munas XI. Isu zakat ini diusulkan oleh BPJS Ketenagakerjaan agar bisa menjadi solusi bagi pekerja informal atau mandiri yang tidak mampu membayar iuran jaminan sosial.
“Negara hadir memberi jaminan sosial bagi tenaga kerja. Tapi ada pekerja yang tidak punya pemberi upah, bekerja sendiri, namun tidak mampu bayar iuran. Bagaimana posisi zakat bisa hadir di sini, ini yang perlu difatwakan,” tambah Ni’am.
MUI menegaskan, seluruh aspirasi masyarakat akan dijaring terlebih dahulu untuk dipetakan. Setelahnya, akan dilakukan konsinyering, FGD dengan pakar, hingga penyusunan draft yang kemudian disirkulasikan ke MUI provinsi. Finalisasi baru akan dilakukan dalam forum Munas XI.
“Jadi, bukan hanya pajak, tapi ada banyak problem riil umat yang akan kita jawab lewat fatwa. Hasil Munas XI ini diharapkan memberi kepastian, kejelasan, dan arah bagi umat maupun negara,” pungkas Ni’am. (alf)
IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, menyebut shadow economy atau ekonomi bayangan sebagai “tambang pajak baru” yang tidak boleh dibiarkan terus di luar radar negara.
Hal ini disampaikan Dodik saat menjadi panelis dalam diskusi panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara hybrid, di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan serta melalui Zoom Meeting, Jumat (26/9/2025). Acara ini diikuti ratusan peserta dari kalangan anggota IKPI hingga masyarakat umum yang mengikuti secara gratis.
Menurut Dodik, selama ini terdapat gap yang sangat besar antara potensi ekonomi yang berjalan di luar sistem dan penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan negara. “Potensi itu luar biasa. Kalau kita mau bicara angka, ada sekitar Rp1.600 triliun nilai shadow economy. Dan ini baru sebagian yang mulai bisa kita sentuh lewat regulasi digital,” ujar Dodik.
Ia mencontohkan langkah-langkah konkret yang sudah dilakukan DJP, seperti penerapan pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), pengenaan pajak atas kripto, hingga aturan bagi platform fintech. Semua itu, menurutnya, merupakan bukti nyata bahwa digitalisasi bisa membuka pintu baru penerimaan negara.
“Bayangkan, hanya dari satu exchanger kripto saja, perputaran transaksinya pernah tembus Rp400 triliun setahun. Kalau setiap transaksi dikenai pajak sesuai aturan, berapa besar pemasukan yang bisa kita bawa ke kas negara,” tegas Dodik.
Namun ia mengingatkan, menggarap shadow economy tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa. “Kalau kita memakai cara yang sama, hasilnya juga akan sama. Tapi kalau kita ingin hasil luar biasa, maka cara kita juga harus out of the box. Harus ada keberanian untuk masuk ke wilayah yang selama ini dianggap sulit disentuh,” kata Dodik.
Ia menambahkan, dengan dukungan teknologi, data yang semakin komprehensif, serta kolaborasi lintas lembaga, DJP bisa menjadikan shadow economy sebagai sumber penerimaan baru yang nyata.
“Ini bukan sekadar potensi di atas kertas. Kalau DJP serius, ini bisa jadi tambang pajak yang baru,” ujarnya. (bl)
IKPI, Medan: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Medan kembali menunjukkan konsistensinya dalam meningkatkan kapasitas dan profesionalisme anggotanya dengan menyelenggarakan Program Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Universitas Pelita Harapan (UPH) Medan, Kamis (25/9/2025). Kegiatan ini mengusung topik “Manajemen Risiko Perpajakan Strategis: Optimalisasi Pelaporan SPT Tahunan dalam Era CTAS” yang dipilih secara khusus karena relevan dengan dinamika perpajakan terkini dan kebutuhan praktis para konsultan pajak di lapangan. Kegiatan ini dihadiri oleh 151 peserta, terdiri dari 128 anggota IKPI dan 23 peserta umum.
Acara dibuka dengan sambutan dari Sekretaris IKPI Pengurus Daerah Sumatera Bagian Utara (Pengda Sumbagut), Bapak Lai Han Wie, SE, sebagai perwakilan dari Pengda Sumbagut. Beliau menyampaikan pesan dukungan agar para konsultan pajak senantiasa mengembangkan diri di tengah perubahan regulasi yang dinamis. Selanjutnya, Ketua IKPI Cabang Medan, Eben Ezer Simamora, SE.Ak, CA, BKP, SH, MH, Adv. turut memberikan sambutan penuh apresiasi. “Sungguh terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua peserta, panitia, pengurus, dan semua pihak yang ambil bagian dalam kegiatan ini,” ucapnya, seraya menegaskan pentingnya kebersamaan dalam mendukung program pengembangan profesi konsultan pajak.
Pelaksanaan PPL berlangsung sejak pukul 08.30 hingga 16.30 WIB dan menghadirkan Michael, SE., Ak., M.Ak., BKP., MT., BNSP., seorang praktisi perpajakan sekaligus Asesor Kompetensi BNSP yang telah berpengalaman luas di bidangnya. Dalam sesi penyampaian materi, beliau menekankan pentingnya pemahaman manajemen risiko perpajakan sebagai fondasi dalam menghadapi kompleksitas regulasi, khususnya dengan adanya implementasi Coretax Administration System (CTAS). Materi yang dibahas secara komprehensif meliputi analisa Chart of Account dan laporan keuangan, strategi antisipasi lebih bayar PPh 21, langkah penyelesaian SP2DK, hingga pemahaman mendalam mengenai implementasi pengembalian pendahuluan sesuai ketentuan PER-16/PJ/2025.
Suasana kegiatan berlangsung dinamis dan interaktif. Para peserta tidak hanya berperan sebagai pendengar pasif, melainkan turut aktif mengajukan pertanyaan, berdiskusi, dan membagikan pengalaman mereka dalam menghadapi persoalan perpajakan nyata di lapangan. Diskusi ini memperlihatkan betapa topik yang diangkat benar-benar relevan dengan kebutuhan profesi, sekaligus membuka ruang untuk mencari solusi bersama atas berbagai tantangan yang dihadapi konsultan pajak dalam mendampingi wajib pajak. Dengan adanya interaksi dua arah, kegiatan PPL tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga menjadi forum praktis yang bermanfaat.
(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)
Selain menambah pengetahuan dan keterampilan, PPL ini juga menjadi ajang mempererat silaturahmi serta memperkokoh solidaritas antaranggota IKPI Cabang Medan. Pertemuan semacam ini dipandang penting karena tidak hanya membangun jaringan profesional, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan dalam mengemban tugas sebagai konsultan pajak. Melalui diskusi, tanya jawab, dan saling berbagi pengalaman, para anggota dapat saling belajar dan mendapatkan inspirasi baru dalam meningkatkan kualitas pelayanan mereka kepada wajib pajak.
Menariknya, pada penghujung acara panitia menghadirkan sesi undian door prize yang merupakan sponsor dari salah seorang pengurus IKPI yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. Dua peserta beruntung berhasil terpilih sebagai pemenang dan masing-masing memperoleh hadiah istimewa berupa kesempatan mengikuti kelas Brevet A/B IKPI secara gratis. Kehadiran door prize ini tidak hanya menjadi bentuk apresiasi bagi peserta yang telah meluangkan waktunya, tetapi juga menjadi motivasi tambahan untuk terus mengikuti kegiatan pembelajaran dan pengembangan profesional yang diselenggarakan oleh IKPI. Kemeriahan acara semakin lengkap dengan dukungan sponsor dari Indocafe yang menyediakan kopi dan teh bagi para peserta, sehingga suasana kegiatan terasa lebih hangat dan bersahabat.
(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)
Dengan terselenggaranya kegiatan ini, IKPI Cabang Medan menegaskan komitmennya untuk terus meningkatkan kualitas profesi konsultan pajak di tengah dinamika regulasi. Kegiatan berjalan lancar berkat kerja sama panitia, pengurus, dan anggota IKPI Cabang Medan. Diharapkan anggota tidak hanya memahami aturan teknis, tetapi juga memiliki strategi dalam mengelola risiko perpajakan, mendampingi wajib pajak secara efektif, serta berkontribusi nyata bagi penguatan sistem perpajakan nasional dan pembangunan negara.
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kian agresif memperkuat reformasi administrasi perpajakan. Salah satu jurus terbarunya adalah penerapan Compliance Risk Management (CRM) yang dijalankan melalui Compliance Improvement Plan. Sistem ini dirancang untuk memetakan risiko kepatuhan wajib pajak, mulai dari kategori rendah (low risk), menengah (medium risk), hingga tinggi (high risk).
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan bahwa pemetaan risiko tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun budaya patuh pajak.
“Wajib pajak kita petakan satu per satu, dan targetnya setiap tahun tingkat kepatuhan bisa terus naik,” ujar Mekar dalam acara Asia Pacific Contribution on International Tax System, Kamis (25/9/2025).
Mekar menjelaskan, perlakuan terhadap wajib pajak akan berbeda sesuai kategori risikonya. Wajib pajak berstatus high risk bakal berada di radar pengawasan ketat, lengkap dengan potensi pemeriksaan dan tindakan penegakan hukum.
Sebaliknya, mereka yang termasuk low risk akan mendapat pendekatan yang lebih persuasif, seperti edukasi dan konsultasi untuk menjaga kepatuhan.
“Beberapa sektor ekonomi memang masuk kategori high risk. Di situlah kami perlu melakukan pendekatan yang lebih intensif, agar celah pelanggaran bisa ditekan,” tambah Mekar.
Dengan sistem CRM ini, DJP berharap ekosistem perpajakan di Indonesia kian transparan dan adil: yang patuh mendapat kemudahan, sementara yang abai siap berhadapan dengan pengawasan ekstra ketat. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkuat pengawasan kepatuhan wajib pajak di sektor pertambangan dengan menggandeng Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kolaborasi ini dijalankan lewat skema multi-door, yakni memastikan dokumen rencana kerja anggaran biaya (RKAB) perusahaan tambang hanya bisa disahkan jika kewajiban perpajakannya sudah beres.
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan bahwa integrasi pengawasan ini menjadi kunci untuk menutup celah kepatuhan yang selama ini sering terjadi. “Sebelum RKAB disetujui ESDM, kami minta dicek dulu, apakah perusahaan sudah punya NPWP dan melaksanakan kewajiban pajaknya atau tidak,” ujarnya dalam Policy Dialogue The PRAKARSA & Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Mekar menyebut mekanisme ini sekaligus menghentikan praktik lama, di mana perusahaan tambang bisa mengantongi izin meski tidak terdaftar sebagai wajib pajak atau menunggak kewajiban perpajakannya. “Dengan model ini, kalau mau terbit izin baru atau perpanjang, harus clear dulu urusan pajaknya,” tegasnya.
Sinergi DJP–ESDM ini juga sejalan dengan arahan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto yang mendorong pengawasan kepatuhan pajak lintas lembaga, termasuk aparat penegak hukum dan kementerian teknis lain.
Kebijakan tersebut menjadi salah satu langkah penting pemerintah dalam mengejar penerimaan negara. Hingga Agustus 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp1.135,4 triliun atau 54,7% dari outlook tahun ini yang ditetapkan Rp2.076,9 triliun. Artinya, masih ada defisit sekitar Rp941,5 triliun yang harus dikejar.
Tantangan pada 2026 dipastikan lebih berat. APBN menargetkan penerimaan pajak Rp2.347,7 triliun atau naik 13,5% dari outlook 2025. Pajak penghasilan (PPh) nonmigas menjadi yang paling digenjot, dengan target naik 15,7% dari Rp997,5 triliun menjadi Rp1.154,1 triliun. (alf)
IKPI, Jakarta: Realisasi penerimaan pajak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Agustus 2025 masih jauh dari harapan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Nusa Tenggara mencatat setoran baru menembus Rp1,29 triliun, atau 39,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp3,24 triliun.
Penerimaan terbesar disumbang Pajak Penghasilan (Rp650,61 miliar) serta PPN dan PPnBM (Rp327,87 miliar). Dari sisi sektor usaha, Administrasi Pemerintah mendominasi kontribusi dengan 40,79 persen, disusul Perdagangan 21,54 persen, dan Jasa Keuangan 16,36 persen.
Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara, Samon Jaya, tak menampik capaian itu masih seret. Namun ia menegaskan tren positif mulai tampak, terutama dari sektor perdagangan dan jasa keuangan.
“Kami akan terus memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah, pelaku usaha, serta masyarakat dalam mendorong kepatuhan dan memperluas basis pajak. Pajak yang terkumpul akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan,” tegasnya baru-baru ini.
Di tengah tantangan setoran yang belum optimal, DJP tancap gas dengan menyiapkan wajibnya penggunaan Coretax mulai pelaporan SPT Tahunan 2025. Sistem digital ini akan berlaku penuh pada 2026 dengan mekanisme autentikasi berbasis Kode Otorisasi atau Sertifikat Digital.
Samon menekankan, aktivasi akun Coretax harus segera dilakukan wajib pajak agar tidak menemui hambatan saat pelaporan. “Coretax akan menjadi tulang punggung administrasi pajak yang lebih transparan, modern, dan efisien,” ujarnya.
Untuk memudahkan, DJP Nusa Tenggara membuka kanal aktivasi melalui laman t.kemenkeu.go.id/akuncoretax atau layanan KPP/KP2KP terdekat. Reformasi ini membawa perubahan mendasar, mulai dari penghapusan tanda tangan fisik hingga pengawasan yang lebih tajam pada shadow economy.
DJP juga menegaskan kebijakan ini tidak menyasar pedagang kecil. Usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap bebas dari PPh. “Fokus kami bukan UMKM, melainkan sektor besar yang masih luput dari pencatatan resmi,” tambah Samon.
Lewat strategi ganda optimalisasi penerimaan dan percepatan implementasi Coretax pemerintah berharap bisa menutup gap target pajak sekaligus memperkuat fondasi fiskal di NTT. Hasil akhirnya, pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan dapat terwujud di seluruh wilayah Nusa Tenggara. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan dominasi sektor digital dalam menopang kas negara. Hingga 31 Agustus 2025, penerimaan dari pajak ekonomi digital sudah menembus Rp41,09 triliun.
“Dengan realisasi sebesar Rp41,09 triliun, pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Rosmauli, dalam keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025).
Kontribusi terbesar datang dari PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp31,85 triliun. Angka itu dikumpulkan oleh 201 perusahaan digital dari total 236 perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPN. Empat perusahaan baru yang resmi bergabung tahun ini adalah Blackmagic Design Asia Pte Ltd, Samsung Electronics Co Ltd, PIA Private Internet Access Inc, dan Neon Commerce Inc, sementara satu perusahaan yakni TP Global Operations Limited dicabut statusnya.
Sumbangan besar lainnya berasal dari:
• Pajak kripto sebesar Rp1,61 triliun, mayoritas dari PPh 22 senilai Rp770,42 miliar dan PPN DN Rp840,08 miliar.
• Pajak fintech (P2P lending) senilai Rp3,99 triliun, yang terdiri dari PPh 23, PPh 26, dan PPN DN.
• Pajak Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) mencapai Rp3,63 triliun, dengan dominasi dari PPN sebesar Rp3,39 triliun.
Jika ditarik ke belakang, kontribusi pajak digital menunjukkan tren konsisten naik. PPN PMSE misalnya, hanya menyumbang Rp731,4 miliar pada 2020, namun melonjak tajam hingga menyentuh Rp8,44 triliun pada 2024 sebelum mencatat Rp6,51 triliun pada delapan bulan pertama 2025. Hal serupa juga terjadi di sektor kripto, fintech, maupun pajak SIPP yang terus merangkak naik seiring masifnya transaksi di ranah digital.
Rosmauli menegaskan, lonjakan pajak digital ini membuktikan transformasi ekonomi sudah bergeser ke platform online, sehingga instrumen fiskal juga harus adaptif. “Ekonomi digital bukan lagi sektor alternatif, melainkan salah satu tulang punggung penerimaan negara,” tegasnya. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa penerimaan pajak pada 2025 hanya akan mampu menutup 67,7 persen dari total belanja negara. Artinya, hampir sepertiga kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih harus dibiayai lewat utang maupun sumber nonpajak.
“Untuk tahun 2025 sendiri sampai dengan akhir tahun, penerimaan pajak hanya bisa menutup 67,7 persen dari belanja negara. Jadi kita memang masih menghadapi problem serius untuk peningkatan penerimaan perpajakan,” ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama atau Toto, dalam acara Asia Pacific Contribution on International Tax System yang digelar The Prakarsa dan Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Toto menegaskan, tantangan terbesar dalam memperkuat penerimaan terletak pada basis pajak yang belum optimal. Upaya ekstensifikasi sulit dijalankan karena mayoritas tenaga kerja masih berada di sektor informal yang pendapatannya sulit dipantau.
“Berbagai cara sudah kita lakukan. Misalnya, pajak UMKM dari omzet awalnya 1 persen kita turunkan jadi 0,5 persen. Tapi itu pun belum mampu menjaring banyak masyarakat,” jelasnya.
Selain problem sektor informal, isu lain yang turut menghambat adalah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), klasifikasi perusahaan dalam sistem perpajakan, serta pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dengan kondisi tersebut, pemerintah kini mengandalkan strategi intensifikasi, yakni meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang sudah ada. DJP akan meninjau ulang kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, badan usaha, hingga PPN atas konsumsi masyarakat.
“Kalau dilihat sebenarnya sistem perpajakan kita sederhana. Ada pajak atas penghasilan, pajak atas konsumsi, dan pajak atas kekayaan lewat PBB. Tantangannya adalah memastikan kepatuhan di tiga sektor itu bisa maksimal,” tegas Toto.
Keterbatasan penerimaan pajak ini menunjukkan bahwa ketergantungan APBN terhadap utang masih belum bisa dihindari. Pemerintah pun dituntut mempercepat reformasi perpajakan agar pajak benar-benar bisa menjadi penopang utama belanja negara. (alf)