Rianto Abimail Ungkap 67% Orang Kaya Pilih Masuk Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Fakta mengejutkan disampaikan Rianto Abimail, Pengurus Pusat IKPI, saat menjadi panelis dalam Diskusi Panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025).

Mengutip hasil EY Shadow Economic Expose 2025, Rianto mengungkap bahwa kelompok wajib pajak berpenghasilan tinggi (high income) justru menjadi penyumbang terbesar aktivitas shadow economy.

“Angkanya fantastis, 67,1% wajib pajak kaya lebih memilih bersembunyi di shadow economy ketimbang patuh membayar pajak,” ungkap Rianto.

Menurutnya, semakin besar penghasilan seseorang, semakin tinggi pula kecenderungan untuk melakukan praktik ekonomi bayangan. Setelah kelompok high income, disusul oleh upper middle income, lower middle income, dan terakhir low income.

Fenomena ini, kata Rianto, menandakan bahwa kebijakan pajak yang terlalu menekan kelompok berpenghasilan tinggi bisa menjadi bumerang. Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, justru mendorong orang kaya mencari jalan pintas di luar radar pajak.

“Pemerintah jangan hanya fokus mengejar kelompok high income. Kebijakan pajak harus adil, sederhana, dan merata. Kalau tidak, kebocoran penerimaan akibat shadow economy akan makin lebar,” ujarnya.

Rianto menekankan bahwa kepatuhan pajak tidak bisa dipaksakan hanya dengan instrumen pemeriksaan, melainkan harus dibangun lewat kepercayaan, kesederhanaan aturan, dan kepastian hukum. (bl)

IKPI Depok Dorong Anggota Kuasai Coretax Lewat Seminar PPL Perpajakan

IKPI, Depok: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok, Hendra Damanik, menegaskan bahwa penguasaan sistem administrasi perpajakan berbasis digital Coretax merupakan hal mutlak bagi konsultan pajak maupun wajib pajak. Penegasan ini disampaikannya di Seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) bertema “Implementasi Pembaharuan Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian SPT Masa dan Tahunan Sesuai PER-11/PJ/2025 pada Coretax” di Hotel Santika, Depok, Sabtu (27/9/2025).

Diungkapkan Hendra, acara ini diikuti oleh 92 peserta anggota IKPI dan 15 peserta umum, menandakan tingginya antusiasme terhadap topik implementasi regulasi terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Seminar menghadirkan Anwar Hidayat (narasumber), serta turut dihadiri Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman.

Dalam pernyataannya, Hendra menekankan bahwa Chat of Account (CoA) yang digunakan wajib pajak harus sesuai dengan standar yang tersedia di sistem Coretax. Jika terjadi ketidaksesuaian, maka akan muncul kendala serius dalam pelaporan pajak, yang pada akhirnya dapat merugikan wajib pajak sendiri.

“CoA wajib pajak tidak bisa dibuat sembarangan. Harus mengikuti standar yang sudah disediakan DJP di Coretax. Kalau tidak sesuai, bukan hanya menghambat proses administrasi, tapi juga berpotensi menimbulkan masalah kepatuhan,” jelas Hendra dengan nada tegas.

Menurutnya, hal ini menjadi alasan mengapa seminar PPL sangat penting, yakni untuk memastikan anggota IKPI Depok memahami detail teknis sekaligus siap mendampingi klien mereka dalam menghadapi perubahan sistem administrasi pajak.

Peran IKPI dalam Sosialisasi Pajak

Lebih jauh, Hendra menegaskan bahwa kegiatan PPL ini bukan sekadar forum akademis, tetapi juga bentuk kontribusi nyata IKPI terhadap peningkatan kepatuhan perpajakan di Indonesia. Dengan pengetahuan yang diperbarui, anggota IKPI diharapkan mampu menjadi jembatan informasi antara pemerintah dengan wajib pajak.

“PPL ini membuat anggota IKPI semakin siap membantu pemerintah dalam memberikan edukasi dan sosialisasi. Dengan begitu, klien-klien pajak mereka bisa lebih patuh, lebih tertib administrasi, dan terhindar dari masalah hukum yang tidak perlu,” ujar Hendra.

Apresiasi untuk Wakil Ketua Umum 

Dalam kesempatan yang sama, Hendra juga menyampaika apresiasi dan ucapan selamat atas terpilihnya Nuryadin Rahman sebagai Wakil Ketua Umum IKPI. Hendra berharap Nuryadin bisa membawa semangat baru bagi organisasi.

“Selamat kepada Pak Nuryadin. Kami yakin beliau mampu membawa IKPI semakin dikenal di semua kalangan, terus berkembang, semakin maju, dan jaya,” kata Hendra.

Kehadiran Nuryadin dalam seminar ini juga menjadi penyemangat tersendiri bagi para peserta. Sosoknya dinilai mampu memperkuat posisi IKPI dalam kancah nasional, sekaligus memastikan organisasi ini tetap relevan dengan perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi era digitalisasi perpajakan.

Melalui seminar ini, IKPI Depok menegaskan komitmennya untuk terus beradaptasi dengan setiap regulasi baru yang diterbitkan pemerintah. Implementasi PER-11/PJ/2025 dinilai sebagai momentum penting untuk memperkuat kapasitas anggota dalam memahami Coretax secara komprehensif.

“Kalau kita tidak mengikuti perkembangan, kita akan tertinggal. Karena itu, IKPI Depok memastikan anggotanya selalu siap menghadapi tantangan baru dalam dunia perpajakan,” pungkas Hendra.

Hendra menegaskan, seminar PPL di Depok tidak hanya menjadi ajang pembaruan ilmu, tetapi juga forum penguatan peran IKPI dalam mendukung pemerintah, melayani wajib pajak, serta menjaga profesionalisme konsultan pajak di era digital. (bl)

Purbaya Siapkan Gebrakan Hukum untuk Dongkrak Penerimaan Cukai dan Bea Masuk

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan komitmennya memperkuat penegakan hukum di sektor perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Langkah ini diambil untuk mengejar target ambisius penerimaan negara dalam RAPBN 2026 yang disusunnya.

Dalam dokumen tersebut, target pendapatan negara ditetapkan naik menjadi Rp3.153,6 triliun, atau bertambah Rp5,9 triliun dibanding rancangan yang disusun pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp3.147,7 triliun. Kenaikan terbesar berasal dari sektor kepabeanan dan cukai, yang ditetapkan Rp336 triliun, lebih tinggi dari sebelumnya Rp334,3 triliun. Sementara penerimaan pajak tetap dipatok Rp2.357,7 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meningkat menjadi Rp459,2 triliun dari sebelumnya Rp455 triliun.

Purbaya menekankan, strategi utamanya bukan sekadar menaikkan target, tetapi menutup kebocoran dengan pengawasan ketat. “Cukai pada dasarnya nanti akan kita tegakkan penegakan hukum di cukai. Di pajak juga nanti. Jadi across the board, kita hitung itu bisa menghasilkan tambahan Rp5,9 triliun,” ujarnya saat ditemui di kantor Kemenkeu, Jumat (26/9/2025).

Salah satu jurus yang akan diterapkan adalah pemeriksaan acak terhadap jalur hijau bea cukai, yang selama ini relatif bebas dari pemeriksaan fisik. Jalur ini dikenal sebagai fasilitas bagi importir berisiko rendah atau sedang, di mana barang keluar hanya berdasarkan dokumen dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

“Biasanya jalur ini tidak diperiksa. Sekarang kita randomize, sehari bisa 10 atau lebih. Jadi enggak bisa main-main lagi,” tegas Purbaya.

Di sisi lain, ia juga mengumumkan operasi besar-besaran terhadap peredaran rokok ilegal yang selama ini merugikan negara. “Kita mulai tangkepin. Harapannya yang gelap-gelap itu hilang, sehingga pendapatan cukai akan meningkat,” tambahnya.

Dengan kombinasi strategi pengawasan jalur impor dan pemberantasan rokok ilegal, Purbaya optimistis tambahan penerimaan Rp5,9 triliun bisa terealisasi tanpa perlu mengerek tarif pajak maupun cukai baru. (alf)

 

 

 

Setoran Pajak Pinjol Meroket, Sumbang Rp3,99 Triliun

IKPI, Jakarta: Bisnis pinjaman online (pinjol) tak hanya tumbuh pesat, tapi juga makin jadi andalan penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, hingga Agustus 2025, pajak yang dikumpulkan dari industri peer-to-peer (P2P) lending atau pinjol mencapai Rp3,99 triliun.

Penerimaan ini melonjak drastis dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022, pajak pinjol tercatat Rp446,39 miliar, naik menjadi Rp1,11 triliun di 2023, dan kembali tumbuh menjadi Rp1,48 triliun di 2024. Tahun ini, meski baru delapan bulan berjalan, setoran pajaknya sudah menembus Rp952,55 miliar.

Kontribusi pajak pinjol berasal dari tiga sumber utama: PPh 23 atas bunga pinjaman untuk Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap sebesar Rp1,11 triliun, PPh 26 atas bunga pinjaman untuk Wajib Pajak Luar Negeri Rp724,32 miliar, serta PPN dalam negeri senilai Rp2,15 triliun.

Secara keseluruhan, sektor ekonomi digital telah menghasilkan Rp41,09 triliun pajak hingga akhir Agustus 2025. Angka itu termasuk pajak dari perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), transaksi kripto, pinjol, hingga pungutan lewat Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli menegaskan, setoran dari pinjol menunjukkan tren positif.

“Pajak digital, termasuk pinjol, kini benar-benar jadi penggerak utama penerimaan negara di era digital,” ujarnya, Jumat (26/9/2025).

Sejalan dengan naiknya setoran pajak, industri pinjol juga melesat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan outstanding pembiayaan pinjol per Juli 2025 mencapai Rp84,66 triliun, tumbuh 22,01% year-on-year.

Dari sisi kualitas kredit, tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) turun ke 2,75% dari posisi Juni 2025 sebesar 2,85%. Artinya, meski pertumbuhan melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tembus 25,06% yoy, kualitas pinjaman justru semakin baik.

Selain pinjol, produk Buy Now Pay Later (BNPL) juga ikut melambung. Pada Juli 2025, pembiayaan BNPL naik 56,74% yoy menjadi Rp8,81 triliun. Rasio kredit bermasalah pun membaik, turun ke 2,95% dari 3,26% di Juni 2025.

Namun, OJK mengingatkan masih ada masalah ekuitas minimum. Dari 145 perusahaan pembiayaan, 4 belum memenuhi syarat modal Rp100 miliar. Begitu pula 9 dari 96 penyelenggara pinjol yang belum mencapai ekuitas Rp12,5 miliar.

Untuk menutup celah itu, seluruh perusahaan telah menyerahkan action plan, mulai dari penambahan modal, mencari investor strategis, hingga opsi merger. OJK menegaskan akan terus mengawasi realisasi rencana tersebut agar industri pinjol tetap sehat dan berkelanjutan. (alf)

 

 

Trump Kenakan Tarif 100% Obat Impor, Kecuali Perusahaan yang Sudah Dirikan Pabrik di AS

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru yang mengguncang industri farmasi. Mulai 1 Oktober 2025, obat bermerek dan berpaten yang tidak diproduksi di dalam negeri akan dikenai tarif impor hingga 100%. Namun, perusahaan farmasi yang sudah membangun pabrik di AS akan dikecualikan dari aturan ini.

“Kami akan memberlakukan tarif 100% untuk setiap produk farmasi bermerek atau berpaten, kecuali perusahaan sedang membangun pabrik manufaktur farmasi di Amerika,” tulis Trump di akun Truth Social, Sabtu (27/9/2025).

Kebijakan ini diperkirakan memukul keras industri farmasi India, yang memasok lebih dari 65% pil kontrasepsi, 50% obat hipertensi dan antidepresan, serta 43% obat kolesterol di AS. Jika tarif benar-benar diterapkan, harga obat bisa melonjak hingga dua kali lipat, menekan rumah sakit, pasien, hingga program kesehatan publik.

Meski menuai kritik, Gedung Putih mengklaim ancaman tarif sebelumnya telah mendorong raksasa farmasi global seperti Johnson & Johnson, AstraZeneca, Roche, Bristol Myers Squibb, dan Eli Lilly untuk berinvestasi membangun fasilitas produksi di AS. Trump menegaskan, tarif adalah strategi untuk mengembalikan kejayaan industri manufaktur.

“Tidak ada inflasi. Amerika sedang mencatat kesuksesan luar biasa,” tegasnya. (alf)

 

 

 

Shadow Economy Disebut Jadi Biang Bocornya Pajak, Pemicu Utamanya Tarif Pajak

IKPI, Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Rianto Abimail, mengupas tuntas persoalan shadow economy dalam Diskusi Panel bertajuk “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar secara hybrid di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, serta melalui Zoom Meeting pada Jumat (26/9/2025).

Dalam paparannya, Rianto menjelaskan bahwa shadow economy atau ekonomi bayangan adalah aktivitas ekonomi yang berjalan di luar pengawasan negara. Aktivitas ini tidak tercatat secara resmi, tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak, dan sulit terdeteksi oleh aparat.

“Shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang disembunyikan. Karakteristik utamanya dilakukan secara tunai, informal, dan di luar sistem resmi negara. Karena itu, penerimaan pajak sangat berpotensi bocor,” ujar Rianto.

Mengutip hasil EY Shadow Economic Expose 2025, Rianto menjelaskan bahwa shadow economy mencakup lima kategori, aktivitas tersembunyi untuk menghindari pajak, kegiatan informal tanpa pencatatan, aktivitas ilegal seperti judi online dan narkoba, produksi rumah tangga untuk konsumsi sendiri, serta lemahnya basis data pemerintah.

Ia menambahkan, hasil penelitian Prof. Dr. Patrick Schneider dan Dr. Alban Aslan menunjukkan bahwa faktor utama tumbuhnya shadow economy adalah tarif pajak yang tinggi, regulasi berbelit, dan lemahnya institusi negara.

“Kalau sistem perpajakan sulit, tarif tinggi, dan pengawasan tidak konsisten, wajib pajak justru terdorong masuk ke shadow economy. Dampaknya bukan hanya pada penerimaan negara, tetapi juga memunculkan distorsi persaingan usaha dan menurunkan minat investasi investor asing,” tegas Rianto. (bl)

Menkeu Ingatkan Bahaya Spiral Pajak, Fokus ke Pertumbuhan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan bahaya kebijakan menaikkan pajak secara terus-menerus di tengah perlambatan ekonomi. Menurutnya, langkah itu justru berpotensi menyeret perekonomian ke jurang spiral penurunan yang berbahaya.

“Ketika ekonomi melambat, kalau pajak ditambah di semua titik, ekonomi akan melambat lagi. Akibatnya pendapatan pajak malah turun. Kalau dipaksa naik lagi, makin turun lagi. Itu spiral ke bawah. Jadi kita sedang membunuh ekonomi,” tegas Purbaya di kanal YouTube SindoNews, Minggu (28/9/2025).

Purbaya menilai strategi fiskal yang hanya bertumpu pada penambahan beban pajak bukanlah solusi bijak. Ia menekankan bahwa pemerintah saat ini lebih mengutamakan penciptaan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan ketimbang sekadar mengejar penerimaan pajak jangka pendek.

“Yang penting saya ciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat supaya pajak naik secara otomatis. Kalau ekonomi tumbuh, rakyat juga lebih rela membayar pajak karena mereka punya cukup penghasilan,” jelasnya.

Menurut Menkeu, strategi ini bukan hanya memberi ruang bernapas bagi masyarakat, tetapi juga menjaga kestabilan penerimaan negara. Keseimbangan antara kebijakan fiskal dan dorongan produktivitas disebutnya sebagai kunci agar ekonomi nasional tetap sehat.

“Sekarang saya tidak lagi bicara soal menambah pajak. Fokus saya adalah bagaimana mengorkestrasi pertumbuhan ekonomi agar menciptakan rasa nyaman sekaligus meningkatkan penerimaan negara,” tambahnya.

Lebih jauh, Purbaya menyebut banyak negara menghadapi dilema serupa: di satu sisi membutuhkan dana pembangunan, di sisi lain kenaikan pajak berlebihan bisa menekan daya beli dan menghambat konsumsi domestik. Karena itu, ia menegaskan perlunya kebijakan fiskal yang adaptif dan tidak kaku.

“Pertumbuhan ekonomi yang cepat adalah kunci. Kalau ekonomi sehat, penerimaan pajak akan ikut sehat,” katanya. (alf)

 

 

Peneliti UI: Orang Indonesia Lebih Nyaman di Luar Sistem Pajak

IKPI, Jakarta: Peneliti senior LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison, menyoroti akar masalah shadow economy di Indonesia yang menurutnya lebih mendasar daripada sekadar persoalan kepatuhan. Ia menyebut, mayoritas masyarakat justru merasa lebih nyaman berada di luar sistem perpajakan ketimbang masuk ke dalamnya.

“Kalau ditanya, apakah orang membayar pajak itu terpaksa atau tidak? Jawabannya jelas: terpaksa. Tidak ada yang dengan suka rela ingin membayar pajak,” ujar Vid dalam diskusi panel bertema ‘Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?’ yang digelar IKPI di Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Ia memberi contoh sederhana. Seorang pedagang dengan keuntungan bersih Rp100 juta setahun, tanpa NPWP, bisa lolos tanpa setoran pajak. Sementara pekerja formal dengan gaji Rp70 juta setahun, karena memiliki NPWP, wajib membayar.

“Fair enggak? Jelas tidak. Ini bikin masyarakat merasa ketidakadilan, sehingga enggan masuk ke sistem,” tegasnya.

Lebih lanjut, Vid menyebut salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya konsekuensi nyata bagi warga yang tetap berada di luar sistem. Tanpa NPWP pun, mereka masih bisa mengakses layanan publik, membuat paspor, SIM, bahkan menikmati infrastruktur yang dibangun dari pajak.

“Kalau di Amerika, sejak pertama kali bekerja, orang wajib punya Social Security Number (SSN). Tanpa itu, gaji tidak bisa ditransfer. Itu memaksa orang masuk sistem. Di Indonesia? Saya baru punya NPWP tahun 2008, padahal sudah bekerja sejak lama. Artinya, insentif maupun paksaan untuk taat itu sangat lemah,” ungkapnya.

Menurut Vid, solusi kunci ada pada integrasi NPWP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan begitu, semua warga otomatis masuk sistem sejak lahir. “Kalau semua sudah tercatat, barulah pemerintah bisa memilah mana yang di atas PTKP, mana yang di bawah. Dengan begitu, shadow economy akan lebih terkendali. Kalau dibiarkan seperti sekarang, 20 tahun ke depan pun masalahnya sama,” katanya. (bl)

Munas XI MUI Siapkan Fatwa Pajak, Rekening Tidur hingga Sampah Sungai

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa akan membahas sederet isu strategis dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar pada 20–23 November 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara. Salah satu yang paling ditunggu publik adalah pembahasan mengenai fatwa perpajakan.

Ketua Komisi Fatwa Steering Committee (SC) Munas XI MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa isu pajak tidak bisa dilepaskan dari kepentingan umat. Karena itu, MUI akan menyiapkan landasan hukum keagamaan agar sistem perpajakan berjalan sesuai syariat dan prinsip keadilan.

“Pembahasan pajak akan kita matangkan lewat Forum Group Discussion (FGD) pada Oktober 2025. Kita undang Kementerian Keuangan, akademisi, praktisi pajak, pelaku usaha, hingga ahli ekonomi. Dari sana, kita tarik feed back agar fatwa yang lahir nanti benar-benar aplikatif,” ungkap Ni’am, Sabtu (27/9/2025).

Tak hanya soal pajak, MUI juga mengangkat problematika lain yang langsung bersinggungan dengan hajat hidup masyarakat. Misalnya, praktik jual-beli nomor rekening tidur (dormant account) yang dilaporkan marak terjadi. Permintaan fatwa ini datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena rawan dimanfaatkan untuk pencucian uang hingga tindak pidana lain.

“Banyak rekening lama yang tak dipakai, kemudian diperdagangkan. Itu bisa dipakai untuk hal-hal yang melanggar hukum. Maka, MUI perlu memberi panduan keumatan sekaligus mendukung upaya penegakan hukum,” jelasnya.

Selain itu, persoalan pengelolaan sampah di sungai serta pemanfaatan dana zakat untuk perlindungan pekerja rentan juga akan masuk meja Munas XI. Isu zakat ini diusulkan oleh BPJS Ketenagakerjaan agar bisa menjadi solusi bagi pekerja informal atau mandiri yang tidak mampu membayar iuran jaminan sosial.

“Negara hadir memberi jaminan sosial bagi tenaga kerja. Tapi ada pekerja yang tidak punya pemberi upah, bekerja sendiri, namun tidak mampu bayar iuran. Bagaimana posisi zakat bisa hadir di sini, ini yang perlu difatwakan,” tambah Ni’am.

MUI menegaskan, seluruh aspirasi masyarakat akan dijaring terlebih dahulu untuk dipetakan. Setelahnya, akan dilakukan konsinyering, FGD dengan pakar, hingga penyusunan draft yang kemudian disirkulasikan ke MUI provinsi. Finalisasi baru akan dilakukan dalam forum Munas XI.

“Jadi, bukan hanya pajak, tapi ada banyak problem riil umat yang akan kita jawab lewat fatwa. Hasil Munas XI ini diharapkan memberi kepastian, kejelasan, dan arah bagi umat maupun negara,” pungkas Ni’am. (alf)

Shadow Economy Bisa Jadi “Tambang Pajak Baru”, Mantan Direktur DJP: Harus Berani Out of The Box

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, menyebut shadow economy atau ekonomi bayangan sebagai “tambang pajak baru” yang tidak boleh dibiarkan terus di luar radar negara.

Hal ini disampaikan Dodik saat menjadi panelis dalam diskusi panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara hybrid, di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan serta melalui Zoom Meeting, Jumat (26/9/2025). Acara ini diikuti ratusan peserta dari kalangan anggota IKPI hingga masyarakat umum yang mengikuti secara gratis.

Menurut Dodik, selama ini terdapat gap yang sangat besar antara potensi ekonomi yang berjalan di luar sistem dan penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan negara. “Potensi itu luar biasa. Kalau kita mau bicara angka, ada sekitar Rp1.600 triliun nilai shadow economy. Dan ini baru sebagian yang mulai bisa kita sentuh lewat regulasi digital,” ujar Dodik.

Ia mencontohkan langkah-langkah konkret yang sudah dilakukan DJP, seperti penerapan pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), pengenaan pajak atas kripto, hingga aturan bagi platform fintech. Semua itu, menurutnya, merupakan bukti nyata bahwa digitalisasi bisa membuka pintu baru penerimaan negara.

“Bayangkan, hanya dari satu exchanger kripto saja, perputaran transaksinya pernah tembus Rp400 triliun setahun. Kalau setiap transaksi dikenai pajak sesuai aturan, berapa besar pemasukan yang bisa kita bawa ke kas negara,” tegas Dodik.

Namun ia mengingatkan, menggarap shadow economy tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa. “Kalau kita memakai cara yang sama, hasilnya juga akan sama. Tapi kalau kita ingin hasil luar biasa, maka cara kita juga harus out of the box. Harus ada keberanian untuk masuk ke wilayah yang selama ini dianggap sulit disentuh,” kata Dodik.

Ia menambahkan, dengan dukungan teknologi, data yang semakin komprehensif, serta kolaborasi lintas lembaga, DJP bisa menjadikan shadow economy sebagai sumber penerimaan baru yang nyata.

“Ini bukan sekadar potensi di atas kertas. Kalau DJP serius, ini bisa jadi tambang pajak yang baru,” ujarnya. (bl)

id_ID