Malaysia Tunda Perluasan Pajak Penjualan dan Layanan

IKPI, Jakarta: Malaysia resmi menunda rencana perluasan pajak penjualan dan layanan (SST) yang sedianya berlaku mulai 1 Mei 2025. Penundaan ini memberi ruang bernapas bagi para produsen nasional yang tengah dihimpit kekhawatiran atas ancaman tarif impor Amerika Serikat sebesar 24%.

Dikutip dari Bloomberg, Selasa (29/4/2025), Kementerian Keuangan Malaysia mengonfirmasi kabar ini lewat pesan resmi, sejalan dengan laporan Edge Malaysia. Pemerintah menyatakan bahwa pedoman dan cakupan perluasan pajak saat ini masih dalam tahap penyempurnaan untuk memastikan pelaksanaan yang lebih mulus.

Sektor manufaktur, yang menjadi penyumbang utama penerimaan pajak negara, tengah berada di bawah tekanan berat. Presiden Federasi Produsen Malaysia, Soh Thian Lai, menegaskan bahwa penambahan beban pajak tahun ini dapat memperparah beban industri yang sudah terpukul oleh ancaman tarif AS.

Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump telah mengenakan tarif 10% terhadap produk Malaysia, sembari membuka negosiasi selama 90 hari untuk mencegah kenaikan lebih lanjut menjadi 24%. Tekanan ini turut memicu ketidakpastian atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Malaysia yang ditargetkan di kisaran 4,5%-5,5% untuk tahun 2025.

Menurut Anis Rizana Mohd Zainudin, Direktur Jenderal Departemen Bea Cukai Kerajaan Malaysia, perubahan pajak baru akan diumumkan pada 1 Juni mendatang. Perluasan SST rencananya akan mencakup barang-barang impor premium seperti salmon dan alpukat, serta berbagai layanan komersial yang sebelumnya tidak dikenai pajak. (alf)

 

Presiden Prabowo Bentuk Pansel Pemilihan Calon Anggota Dewan Komisioner LPS 2025–2030

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih Calon Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2025 dan Keputusan Presiden Nomor 42/P Tahun 2025. Pembentukan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UUP2SK).

Ketua Pansel yang juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati secara resmi mengumumkan dibukanya proses seleksi untuk satu posisi jabatan Wakil Ketua merangkap Anggota Dewan Komisioner LPS untuk masa jabatan 2025–2030.

Pansel ini diketuai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dengan anggota sebagai berikut:

  • Thomas A.M. Djiwandono (perwakilan Kementerian Keuangan)
  • Aida S. Budiman (perwakilan Bank Indonesia)
  • Dian Ediana Rae (perwakilan Otoritas Jasa Keuangan)
  • Fauzi Ichsan (perwakilan profesional di sektor perbankan)
  • Rizal Bambang Prasetijo (perwakilan profesional di sektor asuransi)

Dikutip dari Instagram @smidrawati, Selasa (29/4/2025) dijelaskan, Pansel akan menyusun jadwal, menetapkan mekanisme seleksi, dan mengumumkan penerimaan calon. Mereka juga bertugas menyampaikan sedikitnya tiga nama calon kepada Presiden untuk setiap jabatan yang dibutuhkan, serta memberikan laporan pelaksanaan tugas. Seluruh proses seleksi dijadwalkan selesai dalam waktu maksimal 20 hari kerja.

Setelah menerima nama-nama calon dari Pansel, Presiden akan memilih dan meneruskan minimal dua nama untuk setiap jabatan kepada DPR RI dalam waktu 10 hari kerja. Selanjutnya, DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan, dan menyampaikan hasilnya kembali kepada Presiden.

Pendaftaran seleksi dilakukan secara daring mulai 29 April hingga 6 Mei 2025 melalui laman resmi: https://seleksi-dklps.kemenkeu.go.id. (alf)

 

 

Mau Bebas PPN untuk Rumah Subsidi? Ini Syarat yang Harus Dipenuhi

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberikan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah subsidi. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023, khususnya dalam Pasal 4.

Berikut penjelasan tentang isi Pasal 4:

Pertama, untuk bisa mendapatkan fasilitas ini, pemerintah menetapkan syarat penghasilan. Penghasilan rata-rata dalam satu bulan calon penerima harus dihitung berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan perumahan dan kawasan permukiman.

Kedua, rumah yang dibeli harus melalui program kepemilikan rumah umum dari pemerintah, yang menawarkan bantuan berupa subsidi bunga, subsidi uang muka, atau pembiayaan tabungan perumahan rakyat.

Ketiga, pembebasan PPN hanya diberikan jika pembeli sudah terdaftar sebagai penerima manfaat program tersebut.

Menariknya, pembebasan PPN ini tetap berlaku untuk pembayaran atau penyerahan rumah yang terjadi sebelum atau sesudah pembeli resmi terdaftar.

Namun, ada batas waktunya. Jika:

  • Dalam 3 bulan setelah akad kredit, pembeli belum terdaftar sebagai penerima manfaat, atau
  • Permohonan pembeli ditolak,
    maka PPN harus dibayarkan sesuai aturan perpajakan.

Masih ada solusi jika terjadi keterlambatan pendaftaran atau penolakan. Pembeli bisa tetap menggunakan fasilitas bebas PPN, asalkan:

  • Ia mengajukan pemberitahuan elektronik melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak,
  • Dan mengirimkannya paling lambat 1 bulan setelah batas waktu pendaftaran atau setelah mendapatkan keputusan penolakan.

Untuk pembeli yang belum punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pemberitahuan tersebut dapat dilakukan oleh pengembang atau pengusaha kena pajak yang menjual rumah, menggunakan sistem elektronik yang sudah disediakan pemerintah. (alf)

 

PMK 81/2024 Buka Peluang Refund Pajak Lebih Luas, Ini Daftar Pajaknya!

IKPI, Jakarta: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 membuka peluang baru bagi Wajib Pajak untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Ketentuan ini diatur secara rinci dalam Pasal 122 regulasi tersebut.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa Wajib Pajak kini bisa mengajukan permohonan pengembalian jika terbukti telah membayar pajak atas objek yang seharusnya tidak dikenakan pajak, atau terjadi kesalahan pemotongan dan pemungutan yang melebihi kewajiban sebenarnya.

Beberapa kondisi yang memungkinkan pengajuan pengembalian antara lain: pembayaran atas objek yang bukan pajak, kelebihan pembayaran terkait impor, hingga kekeliruan dalam penerapan tarif pajak akibat fasilitas perpajakan atau perjanjian penghindaran pajak berganda.

Tak hanya itu, PMK ini memperluas cakupan jenis pajak yang bisa dikembalikan, termasuk Pajak Penghasilan, PPN, PPnBM, hingga pajak karbon yang baru diterapkan. Bahkan, kelebihan pembayaran atas deposit pajak yang tidak digunakan pun bisa diminta kembali.

Kebijakan ini dipandang sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan transparan. Diharapkan, langkah ini mampu meningkatkan kepercayaan wajib pajak serta kepatuhan sukarela dalam jangka panjang. (alf)

 

Wajib Pajak Diberi Kesempatan Koreksi Data, Tapi Ada Batas Waktu Ketat!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk melakukan koreksi atas Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah mereka sampaikan. Namun, dalam regulasi baru ini, pembetulan tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu yang ketat.

Mengacu Pasal 87 PMK tersebut, Wajib Pajak dapat memperbaiki SPOP dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan. Koreksi ini wajib disampaikan paling lambat 15 hari setelah berakhirnya masa 30 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1).

Menariknya, apabila Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengirimkan surat permintaan klarifikasi setelah periode tersebut berakhir, Wajib Pajak diberikan kesempatan tambahan. Mereka harus mengajukan pembetulan dalam waktu 7 hari sejak surat klarifikasi diterima melalui Akun Wajib Pajak.

Namun demikian, ketentuan di Pasal 88 menegaskan, bila pembetulan disampaikan melewati batas waktu yang ditentukan, maka pembetulan tersebut dianggap tidak pernah disampaikan. Ini berarti, data yang terlanjur dilaporkan tetap menjadi acuan DJP, berpotensi berdampak pada penghitungan pajak yang kurang akurat dan sanksi administrasi.

Kebijakan ini bertujuan meningkatkan ketertiban administrasi perpajakan dan memberi kesempatan adil bagi Wajib Pajak untuk memperbaiki kekeliruan, selama tetap memenuhi tenggat yang diatur.

Dengan aturan ini, para Wajib Pajak diimbau untuk lebih cermat dan cepat dalam menindaklanjuti kekeliruan laporan pajaknya demi menghindari konsekuensi hukum yang bisa merugikan. (alf)

 

Indef: Pemberian Isentif Pajak Harus Berbasis Kinerja

IKPI, Jakarta: Di tengah tekanan global dan koreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi 4,7%, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendorong pemerintah untuk segera mereformasi kebijakan pajak. Kepala Departemen Makroekonomi Indef, M. Rizal Taufikurahman, menekankan perlunya revisi insentif pajak agar lebih berbasis pada kinerja perusahaan, bukan sekadar mengacu pada sektor prioritas.

“Salah satu oleh-oleh dari negosiasi dengan Amerika Serikat adalah reformasi pajak. Tax holiday harus diberikan secara lebih selektif dan berbasis performa, bukan formalitas sektor,” ujar Rizal dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin (28/4/2025).

Menurut Rizal, pendekatan berbasis kinerja akan membuat insentif pajak lebih tepat sasaran dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Ia juga menegaskan bahwa perbaikan iklim investasi melalui optimalisasi sistem OSS (Online Single Submission) menjadi penting agar insentif pajak yang diberikan benar-benar menarik investor produktif.

Selain reformasi pajak, Rizal menekankan pentingnya menjaga stabilitas makroekonomi, meningkatkan konsumsi berkualitas melalui kenaikan upah riil, serta memperkuat sektor keuangan domestik lewat pembiayaan inklusif ke UMKM dan startup teknologi.

Seiring dinamika global, Rizal memperingatkan bahwa stabilitas harga pangan dan percepatan reindustrialisasi berbasis teknologi menengah hingga tinggi harus menjadi bagian dari agenda besar pemerintah.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia telah mengambil langkah-langkah responsif, termasuk negosiasi tarif dengan AS dan mempercepat reformasi regulasi demi menjaga potensi pertumbuhan jangka panjang. (alf)

Marketplace dan Platform Digital Harus Tarik PPN, Ini Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus memperkuat pengawasan terhadap sektor perdagangan digital yang kian berkembang pesat. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 60/PMK.03/2022, aturan ini mengatur lebih rinci tentang penunjukan Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Dalam Pasal 4 regulasi tersebut, disebutkan bahwa pelaku usaha yang dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi dua hal utama:

• Nilai transaksi dengan pembeli barang dan/atau penerima jasa di Indonesia yang melebihi jumlah tertentu dalam kurun waktu 12 bulan.

• Jumlah traffic atau pengakses ke platform mereka yang melebihi batas tertentu dalam periode yang sama. Baik batasan nilai transaksi maupun jumlah traffic ini nantinya akan ditetapkan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak.

Penunjukan pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, yang sebelumnya menjadi wewenang Menteri Keuangan, kini dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Artinya, keputusan penunjukan dapat dilakukan lebih cepat dan adaptif terhadap dinamika dunia digital.

Penunjukan ini akan mulai berlaku pada awal bulan berikutnya setelah keputusan dikeluarkan. Setelah ditunjuk, pelaku usaha PMSE akan diberikan nomor identitas perpajakan khusus yang berfungsi sebagai tanda pengenal administrasi perpajakan mereka.

Menariknya, PMK ini juga memberi peluang bagi pelaku usaha digital yang merasa telah memenuhi kriteria namun belum ditunjuk. Mereka dapat secara proaktif mengajukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk ditetapkan sebagai pemungut PPN.

Langkah ini menegaskan bahwa kepatuhan pajak di sektor digital tidak hanya bersifat “top-down”, tetapi juga bisa datang dari kesadaran para pelaku usaha sendiri. (alf)

 

 

 

Perpajakan untuk Dorong Kelancaran Perdagangan Indonesia-AS

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tengah memperkuat upaya meningkatkan impor komoditas strategis dari Amerika Serikat, termasuk minyak, gas alam cair (LNG), dan produk pertanian seperti gandum, kedelai, dan jagung. Namun, lebih dari sekadar perdagangan barang, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya reformasi perpajakan untuk mendukung kelancaran perdagangan internasional.

Menkeu mengungkapkan bahwa selain tarif yang relatif rendah, hambatan non-tarif seperti prosedur perpajakan masih menjadi perhatian. “Kita mengakui bahwa proses administrasi, termasuk perpajakan saat mengimpor barang, dapat menjadi kendala yang perlu kita benahi,” ujarnya, Senin (28/4/2025).

Sri Mulyani menekankan bahwa Pemerintah secara berkelanjutan mengevaluasi prosedur perpajakan impor, termasuk pengenaan pajak bea masuk, PPN impor, serta tata cara pelaporan yang dinilai bisa memperlambat arus barang. Penyederhanaan proses ini, menurutnya, penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di mata mitra dagang internasional, terutama Amerika Serikat.

“Kita ingin memastikan sistem perpajakan kita mendukung efisiensi, tanpa mengorbankan kepatuhan dan penerimaan negara. Ini juga bagian dari reformasi besar perpajakan nasional yang tengah kita lakukan,” tegas Menkeu.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengaitkan pentingnya kerja sama dagang dengan AS pada kebutuhan domestik Indonesia akan energi dan pangan. Impor produk seperti LNG dan komoditas pertanian dinilai vital bagi ketahanan energi dan pangan nasional. Di sisi lain, dengan reformasi perpajakan yang lebih ramah perdagangan, Indonesia berharap dapat mempersempit defisit perdagangan sekaligus meningkatkan investasi asing.

Dalam konteks hubungan bilateral, Sri Mulyani juga menyinggung perlunya negosiasi yang adil, khususnya setelah kebijakan tarif resiprokal Presiden Donald Trump berdampak pada arus perdagangan global. Ia menegaskan bahwa penyempurnaan prosedur bea cukai dan perpajakan adalah bagian dari upaya menjaga kepercayaan mitra dagang seperti Amerika Serikat.

“Dengan proses administrasi dan perpajakan yang lebih sederhana, transparan, dan akuntabel, kita tidak hanya memperlancar perdagangan, tetapi juga menunjukkan komitmen Indonesia sebagai negara yang pro-investasi dan pro-perdagangan bebas,” ujarnya. (alf)

 

Kanwil DJP Jabar II Sita Truk, Emas, hingga Rekening Bank Senilai Rp1,9 Miliar

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat II menggelar kegiatan Pekan Sita Serentak pada 23–24 April 2025. Dalam aksi ini, sejumlah aset milik penunggak pajak disita, mulai dari truk, logam mulia, hingga rekening bank, dengan total taksiran nilai mencapai Rp1,9 miliar.

Berdasarkan informasi dari situs resmi DJP, Senin (28/4/2025), penyitaan dilakukan oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) dari sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jawa Barat II. Tindakan ini diambil setelah berbagai upaya persuasif sebelumnya tidak membuahkan hasil.

“Upaya persuasif telah kami tempuh maksimal, mulai dari penyampaian Surat Teguran, Surat Peringatan, hingga Surat Paksa. Karena tunggakan tetap tidak dilunasi, kami melaksanakan penyitaan,” tulis DJP dalam keterangannya.

Rincian aset yang disita meliputi:

• 1 unit truk Mitsubishi Colt Diesel

• 1 unit Baby Roller

• 1 unit Nissan Livina

• 1 keping emas logam mulia 10 gram

• 1 unit truk Mitsubishi Fuso tahun 2018

• 1 unit truk Mitsubishi Colt Diesel tahun 2019

• 1 unit mobil Corolla tahun 1994

• 1 keping emas logam mulia 1 gram

• 1 unit telepon genggam baru Oppo A3X

• 1 unit truk Dyna 110ST

• 1 unit Vespa Sprint 16 ET 150

• 1 unit Honda T4G02T31L0

• 1 unit Ford Ecosport

• 1 unit Honda Blade

• 7 rekening bank

DJP berharap melalui langkah tegas ini, para wajib pajak semakin sadar dan patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

“Kanwil DJP Jawa Barat II mengimbau seluruh Wajib Pajak untuk segera memenuhi kewajiban perpajakan sebelum tindakan penegakan hukum dilakukan. Kami tetap mengedepankan pendekatan persuasif, namun akan bertindak tegas terhadap yang mengabaikan kewajibannya,” tegas DJP.

 

 

UMKM Omzet Rp500 Juta Masih Bebas Pajak, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia masih bisa tersenyum masi. Hingga saat ini,  melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164 Tahun 2023, tepatnya dalam Pasal 6, diatur bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto hingga Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final.

Aturan ini memperjelas dasar pengenaan pajak, yaitu jumlah peredaran bruto dari usaha setiap bulan, sebelum dipotong potongan penjualan atau diskon sejenis. Namun, untuk pelaku usaha dengan omzet kumulatif hingga Rp500 juta per tahun, pendapatan tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar PPh final.

Menariknya, kemudahan ini juga berlaku bagi suami-istri yang memiliki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan tertulis, atau jika istri memilih menjalankan hak dan kewajiban pajaknya sendiri. Dalam kasus tersebut, batas Rp500 juta berlaku masing-masing, bukan digabungkan.

Bagi yang memiliki omzet di atas batas tersebut, PPh final tetap wajib dibayarkan atas kelebihan omzet, dihitung berdasarkan tarif yang sudah ditetapkan dalam peraturan ini. Pemerintah juga menyediakan contoh perhitungan lengkap dalam lampiran resmi PMK tersebut untuk memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung kewajibannya.

Kebijakan ini diharapkan bisa semakin mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia, serta memperkuat kepatuhan pajak dengan prinsip keadilan yang lebih baik. (alf)

 

 

id_ID