Hippindo Desak Pemerintah Berikan Insentif Pajak untuk Pekerja Ritel

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, mendesak pemerintah agar segera memberikan stimulus perpajakan bagi pekerja di sektor ritel. Ia menilai pekerja ritel juga masuk dalam kategori padat karya, sama halnya dengan sektor industri manufaktur yang selama ini sudah lebih dulu mendapat dukungan.

“Selama ini yang dapat stimulus kebanyakan pabrik-pabrik. Padahal ritel juga padat karya, tapi belum tersentuh. Restoran memang sudah, tapi toko baju, department store, supermarket, itu belum dapat insentif sama sekali,” ungkap Budihardjo, Kamis (18/9/2025).

Menurutnya, kebijakan pemerintah berupa pengurangan beban biaya, khususnya melalui insentif pajak, akan memberi dampak signifikan terhadap perekonomian domestik. Dukungan fiskal akan membantu pelaku ritel bertahan di tengah tekanan pasca-pandemi, sekaligus menjaga daya beli masyarakat.

“Harusnya sektor padat karya itu nggak cuma pabrik, tapi juga jasa seperti ritel. Apapun yang bisa mengurangi biaya, itu akan kembali mendorong ekonomi dalam negeri,” jelasnya.

Sejauh ini, pemerintah baru memperluas insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja di sektor padat karya dan pariwisata. Insentif tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 dan belakangan mencakup sekitar 552 ribu pekerja di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Namun, pekerja di toko ritel modern belum masuk dalam daftar penerima manfaat.

“Retail belum dapat, tapi kita sedang mengajukan kembali,” tegas Budihardjo.

Lebih lanjut, ia menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan Kementerian Keuangan yang menitikberatkan pada penguatan sektor riil dan perdagangan dalam negeri. Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan kepada sektor produktif akan langsung menciptakan lapangan kerja baru sekaligus memperkuat ekosistem perdagangan.

“Kita mendukung program pemerintah untuk memperkuat sektor riil. Kalau perdagangan dalam negeri makin kuat, otomatis tercipta lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi akan ikut terdorong,” ujarnya.

Hippindo menilai pasar domestik Indonesia yang sangat besar harus dilindungi dengan kebijakan yang tepat sasaran. Dengan adanya stimulus pajak bagi pekerja ritel, daya beli masyarakat bisa meningkat dan roda ekonomi nasional bergerak lebih cepat.

“Pasar kita besar, kita harus amankan. Dengan stimulus, daya beli bisa tercipta, dan itu akan menguntungkan ekonomi nasional,” pungkas Budihardjo. (alf)

 

DJP Jawab Kritik “Berburu di Kebun Binatang”, Fokus Ekstensifikasi dan CRM

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan strategi pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya mengandalkan wajib pajak eksisting, tetapi juga diarahkan untuk memperluas basis pajak di masa depan. Pernyataan ini disampaikan menyusul kritik sejumlah pihak yang menilai kebijakan pajak nasional masih berorientasi semata pada penerimaan negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menuturkan pihaknya terus mengedepankan keseimbangan antara ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi dilakukan melalui pemanfaatan data pihak ketiga, peningkatan literasi, serta inklusi perpajakan yang menyasar calon wajib pajak baru. Sementara intensifikasi ditempuh lewat penerapan Compliance Risk Management (CRM).

“Sejak 2019, CRM digunakan untuk memetakan wajib pajak berdasarkan risiko ketidakpatuhan dan dampak fiskalnya. Dari pemetaan itu, wajib pajak dibagi ke dalam sembilan kuadran untuk menentukan perlakuan yang tepat,” jelas Rosmauli, Kamis (18/9/2025).

Menurutnya, wajib pajak yang patuh dengan kontribusi fiskal rendah hanya perlu mendapatkan pelayanan dan edukasi. Sebaliknya, bagi yang berisiko tinggi dan berdampak besar, DJP menyiapkan langkah penegakan hukum.

Kritik terbaru datang dari Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu yang menilai strategi perpajakan saat ini masih seperti “berburu di kebun binatang”. Menurut Mari, DJP terlalu fokus pada peningkatan penerimaan tanpa menekankan kepatuhan berkelanjutan.

“Fakta bahwa targetnya adalah revenue, itu berarti berburu di kebun binatang. Intensifikasi dilakukan hanya dengan memungut dari orang yang sama, bukan memperluas basis,” kata Mari dalam diskusi Indonesia Update di kanal YouTube ANU Indonesia Project, Jumat (12/9/2025).

Mari juga menyoroti turunnya rasio pajak Indonesia yang hanya 8,4 persen terhadap PDB pada semester I 2025, jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara yang mencapai 16 persen. Ia menilai ada masalah struktural dalam administrasi perpajakan yang perlu segera diperbaiki.

Suara serupa juga muncul dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dalam laporan bertajuk “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”.

Penerimaan Masih Tumbuh

Meski dihantam kritik, DJP mengklaim penerimaan pajak tetap menunjukkan tren positif. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memaparkan realisasi penerimaan hingga September 2025 mencapai Rp1.269,44 triliun, dengan angka bersih setelah restitusi sebesar Rp990,01 triliun.

“Realisasi bruto konsisten tumbuh sejak Maret 2025. Angka ini meningkat 1,67 persen dibandingkan periode sama tahun lalu,” ujar Bimo dalam RDP bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Meski demikian, capaian itu baru menyumbang sekitar 45,2 persen dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,3 triliun. Rinciannya, penerimaan dari PPh Badan Rp174,47 triliun (turun 9,1 persen), PPh Orang Pribadi Rp14,98 triliun (naik 37,7 persen), PPN dan PPnBM Rp350,62 triliun (turun 12,8 persen), serta PBB Rp12,53 triliun (melonjak 129,7 persen). (alf)

 

 

 

 

Permana Agung Ingatkan Bahaya Pajak Jika Salah Desain

IKPI, Jakarta: Pajak tidak sekadar angka penerimaan negara. Pajak bisa menjadi instrumen pembangunan, tapi juga bisa berubah menjadi sumber kerugian sosial-ekonomi bila salah didesain. Pesan itulah yang disampaikan cendekiawan pajak, Permana Agung Dradjatun, saat menjadi panelis dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Permana memulai paparannya dengan contoh sederhana: harga sebuah pizza senilai 10 dolar. Bagi konsumen A, nilainya 16 dolar, sedangkan bagi konsumen B hanya 12 dolar. Ketika pajak dikenakan dan harga naik menjadi 14 dolar, A masih bisa membeli, tapi dengan surplus lebih kecil. Sedangkan B langsung keluar dari pasar karena nilai yang ia rasakan lebih rendah dari harga baru.

“Negara memang mendapat penerimaan pajak, tapi ada fenomena dimana penerimaan itu lebih kecil dibandingkan total kerugian konsumen. Inilah yang disebut deadweight loss,” ujar Permana.

Ia menjelaskan, ada tiga beban pajak yang ditanggung masyarakat. Pertama, beban finansial berupa uang yang harus disetor. Kedua, administrative burden, yaitu waktu, tenaga, dan biaya untuk mengurus kewajiban pajak. Ketiga, kerugian ekonomi berupa hilangnya efisiensi pasar akibat pajak.

“Para pembuat kebijakan harus sadar, di balik angka penerimaan, ada pengorbanan nyata masyarakat. Jangan sampai kebijakan hanya fokus ke target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi menutup mata pada beban rakyat,” tegasnya.

Lebih jauh, Permana menekankan pentingnya memahami titik keseimbangan tarif pajak. Ia mengingatkan, jika tarif pajak terlalu tinggi hingga masuk prohibitive range, maka penerimaan justru turun. “Kalau dipaksa naik, bukan hanya penerimaan jeblok, tapi juga semangat kerja masyarakat hilang. Bahkan bisa memicu pengangguran,” katanya.

Menurutnya, kunci reformasi pajak terletak pada keseimbangan antara efisiensi dan keadilan. “Di negara maju, efisiensi sudah tidak diperdebatkan, tinggal bicara soal equity. Di Indonesia, dua-duanya masih jadi masalah besar,” ujarnya.

Permana mengajak mahasiswa dan peserta diskusi untuk tidak melihat pajak sekadar alat fiskal. Pajak, katanya, bisa menjadi instrumen perubahan perilaku, insentif pertumbuhan ekonomi, hingga alat mengoreksi eksternalitas negatif.

“Pajak bukan hanya mesin pemungut uang. Pajak harus dirancang sebagai alat pembangunan sosial dan ekonomi bangsa,” ujarnya. (bl)

 

DPR Restui Budi Nugroho dan Diana Ginting Jadi Hakim Agung Pajak

IKPI, Jakarta: Komisi III DPR RI resmi merestui penunjukan 10 calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung (MA) dalam rapat pleno di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (16/9/2025). Dari sepuluh nama yang disetujui, dua di antaranya dipilih khusus untuk mengisi Kamar Tata Usaha Negara (TUN) bidang pajak, yaitu Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting.

Persetujuan ini merupakan hasil dari rangkaian uji kelayakan dan kepatutan yang berlangsung sejak 9 hingga 15 September 2025. Delapan fraksi di Komisi III kompak menyatakan setuju, menyusul urgensi penambahan hakim di kamar pajak MA.

Budi Nugroho, hakim Pengadilan Pajak yang berlatar belakang akuntansi dan perpajakan, menegaskan perlunya kamar khusus pajak di MA. Menurutnya, hukum pajak memiliki karakteristik unik yang tidak bisa disamakan dengan hukum administrasi umum.

“Kalau asas presumptio iustae causa dipaksakan dalam sengketa pajak, negara bisa dirugikan. Hakim harus mencari kebenaran materiil, bukan sekadar formal,” jelas Budi.

Ia juga memperingatkan potensi praktik mafia pajak yang bisa terjadi lewat penetapan pajak yang sengaja dibuat lemah. “Penetapan itu bisa lemah, tapi tetap dipajang sebagai temuan triliunan. Itu bisa jadi pola mafia pajak,” ungkapnya.

Sementara itu, Diana Malemita Ginting, auditor utama di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, menegaskan kesiapannya menjaga independensi meski lama berkarier di Kemenkeu.

“Begitu saya pindah ke peradilan, kepentingan dengan kementerian sudah putus. Saya akan bekerja profesional,” ujarnya di hadapan Komisi III.

Diana menilai sengketa pajak sering muncul akibat perbedaan tafsir hukum atau dokumen wajib pajak yang tidak lengkap. Ia juga menekankan perlunya pemerintah segera menyiapkan aturan teknis pajak karbon, seperti monitoring reporting verification (MRV) dan sertifikat izin emisi, agar kebijakan ini dapat berjalan efektif.

Selain Budi dan Diana, Komisi III juga menyetujui nama lain untuk kamar berbeda:

• Suradi (Pidana),

• Ennid Hasanuddin dan Heru Pramono (Perdata),

• Lailatul Arofah dan Muhayah (Agama),

• Agustinus Purnomo Hadi (Militer),

• Hari Sugiharto (TUN), dan

• Moh Puguh Haryogi (Hakim Ad Hoc HAM).

Dengan persetujuan ini, jumlah hakim agung TUN khusus pajak di MA bertambah dari satu menjadi tiga, bersama dengan Cerah Bangun yang telah lebih dulu menjabat. Selanjutnya, hasil rapat pleno Komisi III akan dibawa ke paripurna DPR sebelum ditetapkan melalui Keputusan Presiden. (alf)

 

 

PMK Ini Atur Pembekuan Izin Praktik Konsultan Pajak “Nakal”

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan sikap tegas terhadap konsultan pajak yang melanggar aturan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 175/PMK.01/2022 tentang Konsultan Pajak, konsultan yang dianggap “nakal” bisa dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga pembekuan izin praktik. Aturan ini diperjelas dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 13/PJ/2015 sebagai petunjuk pelaksanaannya.

Pasal 27 PMK 175/2022 menyebutkan, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan dapat menjatuhkan teguran tertulis setelah mempertimbangkan usulan asosiasi profesi.

Teguran diberikan jika konsultan pajak:

• melanggar kode etik atau standar profesi,

• memberikan jasa di luar tingkat keahliannya,

• tidak memenuhi kewajiban pengembangan profesional berkelanjutan (SKPPL),

• tidak aktif selama dua tahun berturut-turut, atau

• tidak mengurus perpanjangan izin praktik.

Bagi konsultan pajak yang tetap abai, ancaman lebih berat menanti. Pasal 28 PMK 175/2022 mengatur bahwa izin praktik bisa dibekukan selama tiga bulan bila:

• teguran tertulis diabaikan lebih dari tiga bulan,

• tidak menyampaikan laporan tahunan,

• tidak aktif selama tiga tahun berturut-turut,

• terlambat memperpanjang izin praktik,

• ditetapkan sebagai tersangka pidana perpajakan, atau

• menangani klien yang tersangkut kasus pidana perpajakan.

Selain itu, pembekuan juga berlaku bagi konsultan pajak yang berulang kali melanggar kode etik atau tidak memenuhi SKPPL sesuai ketentuan.

Meski demikian, pemerintah memberi celah pengecualian. Konsultan pajak yang melaporkan dugaan tindak pidana perpajakan oleh kliennya ke Direktorat Jenderal Pajak dapat terbebas dari pembekuan izin.

Namun, jika kewajiban laporan tahunan belum dipenuhi atau proses hukum masih berlangsung, masa pembekuan bisa diperpanjang lebih dari tiga bulan. Selama izin dibekukan, konsultan pajak dilarang memberikan layanan konsultasi dalam bentuk apa pun. (alf)

 

Cak Imin: Pajak UMKM Harus Sekecil Mungkin, Sesuai Arahan Presiden Prabowo

IKPI, Jakarta: Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus meringankan beban pajak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, yang menyatakan dukungan penuh atas instruksi Presiden Prabowo Subianto.

Menurutnya, keberpihakan terhadap UMKM diwujudkan melalui kebijakan PPh Final 0,5 persen bagi wajib pajak UMKM. Langkah ini menjadi bagian dari paket stimulus ekonomi 8+4+5 yang digagas pemerintah, mencakup delapan program percepatan di 2025, empat program lanjutan di 2026, serta lima program yang berfokus pada penyerapan tenaga kerja.

“Pak Prabowo sudah jelas mengarahkan agar UMKM dikenakan pajak serendah mungkin. Pemerintah ingin memastikan usaha kecil dapat berkembang tanpa terbebani pajak yang besar,” ujar Cak Imin, Selasa (16/9/2025).

Ia juga menilai, pemberlakuan tarif ringan tersebut bukan sekadar insentif sementara, melainkan bentuk perlindungan agar UMKM bisa tumbuh konsisten dan naik kelas. “Pajak rendah untuk UMKM harus dijadikan prinsip jangka panjang. Itu cara negara hadir mendampingi rakyat kecil,” tegasnya.

Lebih jauh, Cak Imin memastikan pihaknya akan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, juga langsung bersama para pelaku UMKM, untuk menjamin efektivitas program stimulus tersebut.

“Kami semua, sesuai arahan Presiden, akan berkolaborasi dan bergerak bersama agar target pertumbuhan ekonomi tercapai, kemiskinan berkurang, dan lapangan kerja semakin luas,” jelasnya.

Dengan adanya dukungan fiskal ini, pemerintah berharap UMKM tetap menjadi motor penggerak ekonomi nasional sekaligus penopang kesejahteraan masyarakat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. (alf)

 

Hore! Pemerintah Perpanjang Tanggungan PPh untuk 2,2 Juta Pekerja hingga 2026

IKPI, Jakarta: Kabar gembira datang bagi jutaan pekerja di sektor padat karya dan pariwisata. Pemerintah memastikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) akan terus berlanjut hingga 2026. Dengan kebijakan ini, sekitar 2,2 juta pekerja berpenghasilan hingga Rp10 juta per bulan tetap terbebas dari potongan PPh.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, keputusan perpanjangan ini merupakan upaya menjaga kepastian berusaha sekaligus melindungi daya beli pekerja. “Akan dilanjutkan tahun depan, jadi ada kepastian sampai tahun depan,” ujarnya usai rapat terbatas stimulus ekonomi bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Senin (15/9/2025).

Insentif PPh 21 DTP sebelumnya telah berjalan sejak Februari 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025. Sektor yang masuk kategori padat karya, seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi, kulit, barang kulit, hingga furnitur, menjadi penerima utama. Pada 2026, program ini ditargetkan menjangkau 1,7 juta pekerja dengan alokasi dana Rp800 miliar.

“Yang gajinya sampai Rp10 juta ditanggung pemerintah, targetnya 1,7 juta pekerja. Alokasi Rp800 miliar sudah disiapkan untuk tahun depan,” tegas Airlangga.

Selain padat karya, pekerja di sektor pariwisata yang meliputi hotel, restoran, dan katering (horeka) juga akan mendapatkan insentif serupa. Mereka mulai menikmatinya sejak kuartal IV-2025, dengan target 552 ribu pekerja. Anggaran yang disiapkan mencapai Rp120 miliar pada 2025 dan melonjak menjadi Rp480 miliar pada 2026.

“Jadi ada kepastian sampai tahun depan PPh pekerja sektor horeka juga ditanggung pemerintah,” jelas Airlangga.

Secara total, pada 2026 akan ada 2,22 juta pekerja penerima manfaat dengan anggaran Rp1,28 triliun. Setiap individu diperkirakan menerima tambahan penghasilan bersih antara Rp60 ribu hingga Rp400 ribu per bulan.

Airlangga berharap kebijakan ini bukan hanya meringankan beban pekerja, tetapi juga menjaga roda perekonomian tetap berputar. “Benefitnya bisa dirasakan langsung oleh pekerja, dan daya beli masyarakat tetap terjaga,” tuturnya. (alf)

 

Pemerintah Perpanjang PPh Final 0,5% untuk UMKM hingga 2029

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) orang pribadi masih bisa menikmati fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 0,5 persen hingga tahun 2029. Kepastian itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/9/2025).

“PPh Final UMKM yang pendapatannya Rp4,8 miliar setahun, pajak finalnya 0,5 persen, kita lanjutkan sampai 2029,” tegas Airlangga.

Airlangga menjelaskan, saat ini pemerintah sedang menyiapkan revisi peraturan pemerintah (PP) untuk memperpanjang fasilitas tersebut. Dengan perubahan regulasi ini, wajib pajak tidak lagi harus menunggu perpanjangan tahunan, melainkan mendapat kepastian sampai lima tahun ke depan.

“Jadi tidak kita perpanjang satu tahun satu tahun, tetapi diberikan kepastian sampai dengan 2029,” ujarnya.

Berdasarkan data pemerintah, hingga kini terdapat sekitar 542.000 wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas PPh Final UMKM. Untuk tahun 2025, anggaran yang dialokasikan pemerintah guna mendukung kebijakan ini mencapai Rp2 triliun.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, PPh Final 0,5 persen dapat digunakan oleh wajib pajak orang pribadi dengan omzet usaha maksimal Rp4,8 miliar per tahun. Selain itu, omzet hingga Rp500 juta dibebaskan dari pengenaan pajak.

Fasilitas ini pertama kali diberikan sejak 2018 dengan masa pemanfaatan tujuh tahun. Artinya, bagi wajib pajak orang pribadi yang terdaftar sejak awal, seharusnya fasilitas berakhir pada 2024. Namun dengan perpanjangan ini, para pelaku UMKM masih bisa mendapatkan keringanan pajak hingga 2029.

Kebijakan ini diharapkan memberi kepastian dan ruang tumbuh bagi UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Apresiasi Pelatihan Aplikasi Keuangan, Tekankan Pentingnya Laporan Tepat Waktu

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperkuat tata kelola organisasinya dengan mendorong pemanfaatan teknologi keuangan di seluruh tingkatan pengurus.

Dalam sambutannya membuka kegiatan Sosialisasi Internalisasi dan Praktik Aplikasi Akuntansi IKPI yang digelar secara Hybrid pada Rabu (17/9/2025), Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, menyampaikan apresiasi mendalam kepada jajaran pengurus pusat, pengurus daerah (pengda), dan pengurus cabang (pengcab) yang telah menginisiasi pelatihan tersebut.

“Kami sangat mengapresiasi langkah pengurus pusat, pengda, maupun pengcab yang telah menyempatkan waktu sibuknya untuk mengikuti pelatihan aplikasi akuntansi ini. Aplikasi keuangan menjadi instrumen penting bagi IKPI dalam memastikan pencatatan keuangan lebih tertib, transparan, dan akurat,” ujar Vaudy.

Menurutnya, pelatihan yang digagas oleh Bendahara Umum IKPI, Emanuel Ali ini bukan sekadar kegiatan teknis, melainkan bagian dari komitmen organisasi untuk terus meningkatkan akuntabilitas. Dengan sistem yang lebih modern, IKPI diharapkan dapat menyiapkan laporan keuangan yang tepat waktu dan bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam arahannya, Vaudy menyampaikan tiga poin utama yang harus menjadi perhatian seluruh pengurus. Pertama, seluruh jajaran organisasi – mulai dari pusat, daerah, hingga cabang perlu memahami dan memanfaatkan aplikasi keuangan ini secara maksimal agar pengelolaan keuangan berjalan lebih sistematis.

Kedua, pengurus pusat diminta menyiapkan person in charge (PIC) khusus yang siap mendampingi jika ada pertanyaan teknis, baik mengenai cara membuka aplikasi, proses input data, maupun pencatatan jurnal. Dengan adanya PIC, diharapkan para bendahara di daerah maupun cabang tidak mengalami kesulitan ketika mengoperasikan sistem baru ini.

Ketiga, Vaudy menekankan bahwa pada rapat koordinasi (rakor) yang direncanakan berlangsung pada Januari atau Februari 2026, laporan keuangan dari pengurus daerah harus sudah tersampaikan. Rakor tersebut nantinya tidak hanya membahas evaluasi program dan rencana kerja 2026, tetapi juga memastikan laporan keuangan 2025 sudah terkumpul dan dapat dipresentasikan secara transparan.

“Harapannya jelas, laporan keuangan bisa disampaikan tepat waktu. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab bersama sebagai pengurus, baik di tingkat pusat, pengda, maupun pengcab. Ketepatan waktu ini penting agar organisasi tetap dipercaya dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik,” tegasnya.

Lebih jauh, Vaudy juga menekankan pentingnya keseriusan seluruh pengurus dalam mengikuti pelatihan ini. Menurutnya, konsistensi dan kemauan untuk belajar menggunakan aplikasi keuangan akan sangat menentukan keberhasilan IKPI dalam menjaga akuntabilitas organisasi.

“Saya berterima kasih kepada Bapak Ibu yang sudah meluangkan waktu di tengah kesibukan masing-masing untuk mengikuti kegiatan ini. Ini adalah wujud nyata dari komitmen kita semua sebagai pengurus,” tambahnya.

Kegiatan sosialisasi ini sendiri merupakan bagian dari upaya IKPI untuk menginternalisasikan praktik akuntansi berbasis teknologi, sekaligus memperkuat peran bendahara dalam menjalankan fungsi keuangan organisasi. Dengan adanya aplikasi ini, diharapkan proses pencatatan, penyusunan laporan, hingga audit dapat berjalan lebih cepat, tepat, dan efisien.

Ia menegaskan, dengan komitmen bersama untuk menguasai aplikasi keuangan dan menjaga disiplin dalam pelaporan, IKPI berharap dapat semakin menunjukkan diri sebagai organisasi profesi yang profesional, transparan, dan akuntabel. (bl)

Kepala Grup Tax BCA Singgung Maraknya Penghindar Pajak yang Nikmati Fasilitas Negara

IKPI, Jakarta: Kepala Grup Tax PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Yuandri Martua Philip, menyampaikan kritik tajam terhadap rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia. Ia mengibaratkan sistem perpajakan seperti sebuah teko penerimaan negara hanya akan penuh apabila “diisi” dengan wajib pajak yang taat, sekaligus tidak “bocor” karena praktik penghindaran pajak.

“Bayangkan kalau di dunia ini ada 100 orang, hanya 11 yang benar-benar membayar pajak. Sisanya, 89 orang, menikmati fasilitas yang dibangun dari pajak, tetapi tidak ikut menanggung beban. Ini kondisi yang tidak adil,” ujarnya dalam Seminar Perpajakan di Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).

Yuandri, yang juga tercatat sebagai anggota tetap dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengungkapkan ada dua hal mendasar yang harus dikejar pemerintah. Pertama, menutup celah kebocoran pajak, terutama praktik profit shifting oleh perusahaan multinasional yang memindahkan keuntungan ke luar negeri. Ia menilai penerapan Global Minimum Tax 15 persen melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136 menjadi salah satu senjata penting.

Kedua, memperluas basis data wajib pajak, agar pemerintah tidak hanya tahu siapa “11 orang” yang sudah bayar, tetapi juga bisa mengidentifikasi “nomor 12 sampai 100” yang belum tersentuh.

“Kalau hanya fokus pada yang sudah membayar, penerimaan pajak tidak akan pernah optimal. Data base yang lebih luas sangat penting. Pasca tax amnesty 2017, perbankan diwajibkan melaporkan saldo rekening setiap April, termasuk laporan cross border untuk rekening warga negara asing. Itu semua memperkaya basis data, dan harus dimanfaatkan maksimal oleh DJP,” jelas Yuandri.

Ia menegaskan bahwa meningkatkan penerimaan pajak bukan semata-mata soal menciptakan jenis pajak baru atau menaikkan tarif. Justru yang lebih mendesak adalah memastikan seluruh potensi ekonomi tercatat dalam sistem perpajakan. “Kalau semua sektor terdata dengan benar, yang nomor 12 sampai 100 itu bisa ikut menanggung beban, sehingga tidak hanya segelintir orang saja yang menopang negara,” katanya.

Ia juga menyinggung soal rasa keadilan. “Kalau 11 orang saja yang bayar, sementara yang lain tidak, itu ibarat segelintir orang memikul beban untuk 100 orang. Yang membayar jadi terbebani, sementara yang lain enak-enak saja. Itu sebabnya perlu ada reformasi basis pajak yang serius,” tandasnya.(bl)

id_ID