Pemerintah Terbitkan PMK 15/2025, Berikan Kepastian Hukum Proses Pemeriksaan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan peraturan terkait pemeriksaan pajak, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2025. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan terpisah.

Dalam peraturan tersebut, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa diterbitkannya PMK ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. PMK 15 Tahun 2025 ini mengatur penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak guna menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak.

“Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” bunyi PMK No. 15 Tahun 2025 yang dikutip Rabu (19/2/2025).

Jenis Pemeriksaan Pajak

PMK ini memberikan rincian mengenai jenis-jenis pemeriksaan pajak yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemeriksaan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksaan spesifik.

1. Pemeriksaan Lengkap
Merupakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak secara menyeluruh pada seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, dengan pendekatan yang mendalam.

2. Pemeriksaan Terfokus
Pemeriksaan ini berfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang diuji secara lebih mendalam.

3. Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan yang dilakukan secara sederhana dan terfokus pada satu atau beberapa pos tertentu dalam Surat Pemberitahuan, data, atau kewajiban perpajakan lainnya.

Ruang Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan pajak yang diatur dalam PMK ini mencakup berbagai jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak tertentu. Pemeriksaan juga bisa mencakup satu atau beberapa Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Adapun jenis pajak yang dikenakan kebijakan pemeriksaan antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, PBB, Pajak Penjualan, Pajak Karbon, dan pajak lainnya yang diadministrasikan oleh DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pemeriksaan dapat dilakukan untuk tujuan lainnya, seperti penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan tersebut.

Dengan diterbitkannya PMK 15 Tahun 2025 ini, diharapkan proses pemeriksaan pajak dapat berjalan lebih efisien, transparan, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, memberikan kejelasan bagi wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. (alf)

“IKPI Gathering Partnership 2025”: DJP Tekankan Pentingnya Peran Konsultan Pajak dalam Edukasi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam mendukung kepatuhan wajib pajak. Hal ini disampaikan dalam acara “IKPI Gathering Partnership 2025” yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Dalam sambutannya, Dwi mengapresiasi kerja sama yang terjalin antara DJP dan IKPI. Menurutnya, konsultan pajak memiliki peran krusial dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan pendampingan dalam memahami kewajiban perpajakan mereka.

“Kami mengapresiasi kerja sama yang selama ini telah terjalin dengan baik. Konsultan pajak tidak hanya berperan dalam membantu wajib pajak memenuhi kewajibannya, tetapi juga dalam menyampaikan hak-hak wajib pajak secara seimbang,” ujar Dwi .

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa DJP terus berupaya meningkatkan kualitas layanan perpajakan dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk asosiasi profesi seperti IKPI. Sosialisasi dan edukasi yang masif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional.

“Pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk partisipasi kita dalam pembangunan. Banyak fasilitas yang kita nikmati hari ini, seperti pendidikan dan infrastruktur, bersumber dari pajak yang kita bayarkan,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar dalam menjalankan profesinya, para konsultan pajak selalu menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Dwi menegaskan bahwa DJP akan terus meningkatkan pengawasan terhadap praktik perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Sekadar informasi, “IKPI Gathering Partnership 2025” ini dihadiri oleh Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, sejumlah ketua departemen, serta para anggota dan mitra IKPI dari berbagai daerah.

Hadir juga pada kesempatan tersebut, 206 asosiasi usaha dan asosiasi di sektor keuangan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara DJP dan konsultan pajak dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. (bl)

Indonesia Berpeluang Batalkan Pajak Minimum Global 15%, Airlangga: Kita Ikuti Trump 2.0

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengisyaratkan bahwa Indonesia bisa saja batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini berkaitan dengan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menolak kebijakan tersebut.

“Kita juga belajar bagaimana bekerja untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kita cukup positif karena Trump 2.0 tidak mau ini diterapkan, jadi saya kira kita ikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam Indonesia Economic Summit by IBC di Shangri-La Hotel Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Sebelumnya, Indonesia telah menetapkan kebijakan pajak minimum global melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Aturan ini mengacu pada kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung lebih dari 140 negara. Penerapan kebijakan tersebut dijadwalkan mulai berlaku untuk tahun pajak 2025, mengikuti jejak lebih dari 40 negara lainnya.

Namun, keputusan Donald Trump untuk menarik AS dari kesepakatan ini berpotensi mengubah peta kebijakan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa langkah AS tersebut akan berdampak luas.

“Karena AS negara terbesar dunia, pasti akan berdampak ke seluruh dunia. Tapi masalah taxation maupun tarif, kita lihat Presiden Trump berlakukan policy-policy yang sudah dan telah dijanjikan, dan kita akan terus perbaiki serta perkuat resiliensi perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, belum lama ini.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia tetap berupaya menciptakan iklim investasi yang kompetitif dengan mengoptimalkan kebijakan tax holiday dan tax allowance. Airlangga pun mengajak para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, sebelumnya menegaskan bahwa pajak minimum global bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak melalui tax haven. “Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujar Febrio dalam keterangan tertulis, baru-baru ini.

Pajak minimum global telah diperjuangkan selama lima tahun terakhir sebagai langkah untuk mencegah praktik “race to the bottom” dalam tarif pajak. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan multinasional dengan omzet global minimal 750 juta Euro untuk membayar pajak minimal 15% di negara tempat mereka beroperasi.

Kini, dengan dinamika global yang dipengaruhi oleh kebijakan AS, Indonesia tampaknya masih mempertimbangkan langkah selanjutnya terkait implementasi aturan ini. (alf)

 

Indonesia Berpotensi Tambah Penerimaan Pajak Rp 3-8 Triliun dari Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan penerapan pajak minimum global sesuai kesepakatan Pilar Dua dapat menambah penerimaan negara antara Rp 3 triliun hingga Rp 8 triliun. Namun, angka tersebut bergantung pada kebijakan serupa yang diterapkan oleh negara lain.

“Kalau berdasarkan asesmen kita, rangenya Rp 3 triliun sampai Rp 8 triliun (tambahan penerimaan),” ujar pegawai Direktorat Perpajakan Internasional, Frans Hans, dalam webinar yang diselenggarakan MUC Consulting, Senin (17/2/2025).

Frans menjelaskan bahwa potensi penerimaan ini akan terjadi jika negara lain tidak menerapkan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT). Jika negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework menerapkan QDMTT secara serentak, maka dampak penerimaan tambahan dari kebijakan ini akan menjadi netral.

Sekadar informasi, pemerintah Indonesia telah resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024, yang diterbitkan pada 31 Desember 2024.

Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya global yang telah diinisiasi selama lima tahun terakhir untuk mencegah praktik “race to the bottom”, di mana negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak demi menarik investasi.

Dengan pajak minimum global, perusahaan multinasional yang memiliki omzet konsolidasi global minimal €750 juta diwajibkan membayar pajak sekurang-kurangnya 15% di negara tempat mereka beroperasi.

Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif, sekaligus memastikan perusahaan multinasional berkontribusi secara adil terhadap penerimaan negara. (alf)

 

Pemerintah Beri Insentif PPN DTP Pembelian Rumah, Ini Skemanya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerapkan kebijakan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) bagi pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025.

Berdasarkan informasi dari akun Instagram resmi @ditjenpajakri, insentif ini diberikan dengan beberapa syarat, antara lain harga jual rumah maksimal Rp 5 miliar, rumah memiliki kode identitas, merupakan rumah baru dalam kondisi siap huni, dan pertama kali diserahkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) developer.

Besaran Insentif PPN DTP

Insentif PPN DTP dibedakan berdasarkan waktu penyerahan rumah:

• 100% PPN DTP diberikan untuk rumah yang diserahkan dalam periode 1 Januari – 30 Juni 2025.

• 50% PPN DTP diberikan untuk rumah yang diserahkan dalam periode 1 Juli – 31 Desember 2025.

Namun, insentif ini hanya berlaku untuk bagian harga jual hingga Rp 2 miliar. Jika harga rumah lebih dari Rp 2 miliar, maka insentif hanya diberikan untuk batas maksimal tersebut.

Simulasi Penghitungan Insentif

Untuk memahami skema insentif ini, berikut beberapa contoh penghitungannya:

• Wibi membeli rumah seharga Rp 500 juta dengan penyerahan pada Februari 2025. Karena harga rumah di bawah Rp 2 miliar dan penyerahan dilakukan dalam semester pertama 2025, ia berhak mendapatkan 100% PPN DTP sebesar: 12% x 11/12 x Rp 500 juta = Rp 55 juta

• Naya membeli rumah seharga Rp 5 miliar dengan penyerahan pada Maret 2025. Karena harga rumah melebihi Rp 2 miliar, insentif hanya diberikan untuk bagian Rp 2 miliar. Dengan skema 100% PPN DTP, insentif yang diperoleh sebesar: 12% x 11/12 x Rp 2 miliar = Rp 220 juta

• Cenna membeli rumah seharga Rp 5 miliar dengan penyerahan pada Oktober 2025. Karena transaksi dilakukan di semester kedua 2025, ia hanya mendapatkan 50% PPN DTP dari bagian Rp 2 miliar. Maka, insentif yang didapat: 50% x (12% x 11/12 x Rp 2 miliar) = Rp 110 juta

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap dapat mendorong daya beli masyarakat terhadap properti serta mendukung sektor perumahan di Indonesia. (alf)

DJP Catatkan Penerimaan Pajak Rp 33,39 Triliun dari Usaha Ekonomi Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai total Rp 33,39 triliun hingga 31 Januari 2025. Angka ini berasal dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), fintech (P2P lending), dan transaksi kripto.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dalam keterangannya, Senin (17/2/2025) menjelaskan bahwa penerimaan tersebut berasal dari beberapa sumber pajak, yakni:

– PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) Rp 26,12 triliun
– Pajak Kripto Rp 1,19 triliun
– Pajak Fintech (P2P Lending) Rp 3,17 triliun
– Pajak atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,90 triliun.

Rincian Penerimaan Pajak PMSE

Penerimaan pajak dari sektor PMSE menjadi yang terbesar, dengan jumlah mencapai Rp 26,12 triliun. Jumlah ini dikumpulkan dari 181 pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Berdasarkan data DJP, setoran PPN PMSE tersebar dalam beberapa tahun, dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 731,4 miliar (tahun 2020)
– Rp 3,90 triliun (tahun 2021)
– Rp 5,51 triliun (tahun 2022)
– Rp 6,76 triliun (tahun 2023)
– Rp 8,44 triliun (tahun 2024)
– Rp 774,8 miliar (tahun 2025, hingga Januari).

Penerimaan Pajak Kripto

Dwi juga mencatatkan penerimaan pajak kripto yang tercatat sebesar Rp 1,19 triliun. Angka ini diperoleh dari transaksi penjualan kripto di exchanger, yang menyumbang penerimaan pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar Rp 560,55 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp 634,24 miliar. Penerimaan ini tersebar dari tahun 2022 hingga 2025 dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 246,45 miliar (tahun 2022)
– Rp 220,83 miliar (tahun 2023)
– Rp 620,4 miliar (tahun 2024)
– Rp 107,11 miliar (tahun 2025).

Sektor fintech (P2P lending) juga menunjukkan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak, yang tercatat sebesar Rp 3,17 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp 720,74 miliar, serta PPN DN atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun.

Pajak atas Transaksi Pengadaan Barang/Jasa

Selain itu, DJP juga mencatatkan penerimaan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang tercatat sebesar Rp 2,90 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PPh sebesar Rp 195,54 miliar dan PPN sebesar Rp 2,71 triliun.

Dwi menegaskan bahwa pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan keadilan dalam berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital. Oleh karena itu, pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, DJP berencana menggali potensi penerimaan pajak lainnya dari sektor ekonomi digital, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan terus berkembangnya ekonomi digital, DJP berharap sektor ini dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara dan memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. (alf)

PMK 10/2025 Diberlakukan, Ini Klasifikasi Industri dan Karyawan Penerima Insentif PPh 21 DTP!

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025, yang mengatur pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk karyawan dengan penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan di sektor-sektor usaha tertentu. Keputusan ini diambil untuk memberikan dukungan kepada sektor industri yang terdampak oleh kondisi ekonomi global maupun domestik.

Berdasarkan PMK tersebut, insentif ini hanya dapat dinikmati oleh karyawan atau pegawai yang memiliki penghasilan bruto tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau setara dengan Rp500 ribu per hari. Pemberian insentif ini hanya berlaku untuk karyawan yang bekerja di sektor industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit.

Industri yang Berhak Mendapatkan Insentif PPh 21 DTP
Berikut adalah klasifikasi lapangan usaha yang dapat menikmati insentif PPh 21 DTP berdasarkan PMK Nomor 10 Tahun 2025:

1.Industri Persiapan Serat Tekstil
2.Industri Pemintalan Benang
3.Industri Pemintalan Benang Jahit
4.Industri Pertenunan
5.Industri Kain Tenun Ikat
6.Industri Bulu Tiruan Tenunan
7.Industri Penyempurnaan Benang
8.Industri Penyempurnaan Kain
9.Industri Pencetakan Kain
10.Industri Batik
11.Industri Kain Rajutan
12.Industri Kain Sulaman
13.Industri Bulu Tiruan Rajutan
14.Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Rumah Tangga
15.Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman
16.Industri Bantal dan Sejenisnya
17.Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman
18.Industri Karung Goni
19.Industri Karung Bukan Goni
20.Industri Barang Jadi Tekstil Lainnya
21.Industri Karpet dan Permadani
22.Industri Tali
23.Industri Barang dari Tali
24.Industri Kain Pita (Narrow Fabric)
25.Industri yang Menghasilkan Kain Keperluan Industri
26.Industri Non Woven (Bukan Tenunan)
27.Industri Kain Ban
28.Industri Kapuk
29.Industri Kain Tulle dan Kain Jaring
30.Industri Tekstil Lainnya YTDL
31.Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Tekstil
32.Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit
33.Penjahitan dan Pembuatan Pakaian Sesuai Pesanan
34.Industri Perlengkapan Pakaian dari Tekstil
35.Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit
36.Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Berbulu
37.Industri Pakaian Jadi Rajutan
38.Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir
39.Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya
40.Industri Pengawetan Kulit
41.Industri Penyamakan Kulit
42.Industri Pencelupan Kulit Bulu
43.Industri Kulit Komposisi
44.Industri Barang dari Kulit dan Kulit Komposisi untuk Keperluan Pribadi
45.Industri Barang dari Kulit dan Kulit Komposisi untuk Keperluan Teknik/Industri

Insentif PPh 21 DTP ini mulai berlaku pada masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja pada tahun 2025. Tujuan utama dari insentif ini adalah untuk membantu daya beli para pegawai atau buruh di sektor industri padat karya tertentu, yang sangat terdampak oleh kondisi ekonomi saat ini. Dengan insentif ini, diharapkan para pekerja dapat lebih mudah menghadapi kondisi ekonomi yang penuh tantangan, terutama dengan adanya kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi 12% per Januari 2025.

Dalam siaran pers yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak, Sri Mulyani menjelaskan bahwa latar belakang diterbitkannya PMK ini adalah untuk mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya mereka yang bekerja di sektor industri padat karya. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah kebijakan kenaikan tarif PPN yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

“Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu. Dengan insentif PPh 21 DTP, kami berharap dapat membantu meningkatkan konsumsi dan daya beli masyarakat, serta menjaga stabilitas perekonomian,” ujar Sri Mulyani.

Insentif ini diharapkan dapat meringankan beban para pekerja, serta mendukung pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.(bl)

Validasi PPh PHTB Wajib Pajak Beralih ke Coretax, Ini Panduannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa mulai 1 Januari 2025, proses validasi Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh PHTB) akan sepenuhnya dilakukan melalui sistem Coretax. Dengan sistem ini, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan validasi secara daring tanpa harus datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Ketentuan Validasi PHTB

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2020, setiap individu atau badan yang telah menyetor PPh PHTB wajib mengajukan permohonan validasi ke DJP.

Sebelumnya, validasi dilakukan melalui aplikasi e-PHTB di DJP Online atau secara langsung di KPP. Namun, dengan implementasi Coretax, validasi akan lebih cepat dan efisien.
Meski demikian, untuk pembayaran PPh PHTB yang dilakukan sebelum 1 Januari 2025, proses validasi tetap menggunakan e-PHTB.

Panduan Validasi PPh PHTB Melalui Coretax

DJP menyediakan tiga subjenis layanan dalam sistem Coretax untuk memudahkan Wajib Pajak:

* AS.01-03: Validasi otomatis bagi pembayaran yang menggunakan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), pemindahbukuan (Pbk), atau bukti potong.
* AS.01-03A: Validasi manual untuk pembayaran melalui Surat Ketetapan Pajak (SKP), tax amnesty, PPS, atau metode lain yang memerlukan penelitian lebih lanjut oleh petugas DJP.
* AS.01-04: Validasi khusus oleh notaris yang terdaftar di DJP.

Langkah-Langkah Validasi PPh PHTB

* Pastikan Pembayaran Tercatat
* Cek apakah pembayaran PPh PHTB telah masuk ke dalam taxpayer ledger di core tax.
Akses Akun Coretax
* Login ke akun Wajib Pajak di sistem Coretax.
* Masuk ke menu “Layanan Wajib Pajak” dan pilih “Layanan Administrasi.”
* Pilih Subkategori Layanan
* Pilih layanan validasi yang sesuai (AS.01-03, AS.01-03A, atau AS.01-04).
* Ajukan Permohonan Validasi
* Isi formulir validasi sesuai dengan data pembayaran yang telah dilakukan.
* Verifikasi Data dan Submit Permohonan
* Pastikan data yang dimasukkan benar sebelum mengajukan permohonan.
* Proses Validasi dan Penerbitan Surat Keterangan
* Jika validasi berhasil, sistem akan menerbitkan Surat Keterangan Validasi sebagai bukti pemenuhan kewajiban pajak.

Dengan sistem Coretax, DJP berharap proses validasi PPh PHTB menjadi lebih cepat, transparan, dan efisien bagi seluruh Wajib Pajak. (alf)

Efisiensi Anggaran Diyakini Berdampak Terhadap Penerimaan PPN

IKPI, Jakarta: Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah diyakini akan berdampak luas terhadap penerimaan negara, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rachmat, mengatakan banyak program pemerintah terpaksa ditangguhkan atau ditinjau ulang akibat efisiensi ini, termasuk proyek infrastruktur yang sedang berjalan atau masih dalam perencanaan.

“Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan PPN ke depannya. Terlebih lagi, banyak alokasi pemerintah untuk program makan bergizi gratis (MBG) yang mayoritas jasa dan barangnya mendapat insentif PPN,” ujar Ariawan, Minggu (16/2/2025).

Sekadar informasi, efisiensi anggaran ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, di mana Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pemangkasan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun. Langkah ini dilakukan di tengah banyaknya kebutuhan alokasi anggaran untuk berbagai program prioritas.

Namun, konsekuensi dari kebijakan ini adalah tersendatnya aliran dana yang sebelumnya menggerakkan roda pembangunan. Proyek-proyek yang diharapkan memberikan efek berantai terhadap perekonomian kini terhambat, sehingga berpotensi mengurangi pemasukan dari PPN.

“Itu sebabnya, meski mengalami banyak penolakan, pemerintah tetap menjalankan skema kenaikan PPN menjadi 12% untuk barang mewah. Salah satunya adalah untuk mitigasi tergerusnya penerimaan dari PPN ini,” kata Ariawan.

Meski begitu, ia menilai kebijakan efisiensi anggaran ini merupakan langkah yang tepat di tengah tantangan fiskal yang dihadapi pemerintah.

Namun, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak berdampak pada layanan publik yang dibutuhkan masyarakat serta tidak mengganggu stabilitas makroekonomi.

“Pekerjaan rumah pemerintah adalah mencari sumber penerimaan baru dari sektor-sektor yang selama ini belum optimal. Salah satunya sektor perkebunan sawit. IEF saat ini sedang melakukan kajian terhadap sektor ini,” tambahnya.

Sebagai catatan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun, di mana penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi salah satu kontributor utama dengan target sebesar Rp 945,1 triliun. (alf)

DPR Desak Kemenkeu Turunkan PPN Tiket Pesawat Domestik

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto menegaskan keinginannya untuk menurunkan harga tiket pesawat demi meringankan beban masyarakat. Menindaklanjuti hal ini, Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi PKB, Syaiful Huda, mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menurunkan atau bahkan menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tiket pesawat domestik.

Huda menjelaskan bahwa selain efisiensi yang telah dilakukan maskapai dan Kementerian Perhubungan, faktor pajak juga berperan penting dalam menekan harga tiket.

“Ada komponen lain yang memungkinkan untuk diturunkan, dan ini peranannya dari Kemenkeu, yaitu PPN tiket pesawat domestik. Kalau tiket luar negeri kan memang tidak dikenakan PPN. Begitu Kemenkeu merelaksasi PPN ini, harga tiket pasti turun,” ujar Huda, Sabtu (15/2/2025).

Menurutnya, langkah efisiensi dari maskapai sudah membuahkan hasil, terbukti dengan turunnya harga tiket pesawat hingga 10-15 persen selama libur Natal dan Tahun Baru 2025. Namun, untuk mencapai penurunan hingga 30 persen atau lebih, relaksasi PPN sangat diperlukan.

“Kalau mau turun lagi sampai 30 persen, Kemenkeu harus melakukan relaksasi terhadap PPN tiket dan pajak lainnya,” tegasnya.

Huda juga menyatakan bahwa jika pemerintah benar-benar ingin harga tiket turun drastis, maka PPN untuk tiket domestik sebaiknya dihapus seperti halnya tiket internasional.

“Kalau PPN tiket pesawat domestik dihapus, pasti penurunannya signifikan,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam peringatan HUT ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Centre, Bogor, Sabtu (15/2/2025), Prabowo menyoroti harga tiket pesawat yang dinilainya masih bisa ditekan lebih jauh.

“Harga pesawat terbang turun dan harus turun lagi kalau bisa,” kata Prabowo.

Pernyataan Prabowo ini memperkuat dorongan agar pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam menekan harga tiket pesawat, terutama menjelang libur Lebaran 2025 yang diharapkan bisa memberikan keringanan bagi masyarakat yang ingin mudik. (alf)

id_ID