DJP Catatkan Penerimaan Pajak Rp 33,39 Triliun dari Usaha Ekonomi Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai total Rp 33,39 triliun hingga 31 Januari 2025. Angka ini berasal dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), fintech (P2P lending), dan transaksi kripto.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dalam keterangannya, Senin (17/2/2025) menjelaskan bahwa penerimaan tersebut berasal dari beberapa sumber pajak, yakni:

– PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) Rp 26,12 triliun

– Pajak Kripto Rp 1,19 triliun

– Pajak Fintech (P2P Lending) Rp 3,17 triliun

– Pajak atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,90 triliun.

Rincian Penerimaan Pajak PMSE

Penerimaan pajak dari sektor PMSE menjadi yang terbesar, dengan jumlah mencapai Rp 26,12 triliun. Jumlah ini dikumpulkan dari 181 pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Berdasarkan data DJP, setoran PPN PMSE tersebar dalam beberapa tahun, dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 731,4 miliar (tahun 2020)

– Rp 3,90 triliun (tahun 2021)

– Rp 5,51 triliun (tahun 2022)

– Rp 6,76 triliun (tahun 2023)

– Rp 8,44 triliun (tahun 2024)

– Rp 774,8 miliar (tahun 2025, hingga Januari).

Penerimaan Pajak Kripto

Dwi juga mencatatkan penerimaan pajak kripto yang tercatat sebesar Rp 1,19 triliun. Angka ini diperoleh dari transaksi penjualan kripto di exchanger, yang menyumbang penerimaan pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar Rp 560,55 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp 634,24 miliar. Penerimaan ini tersebar dari tahun 2022 hingga 2025 dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 246,45 miliar (tahun 2022)

– Rp 220,83 miliar (tahun 2023)

– Rp 620,4 miliar (tahun 2024)

– Rp 107,11 miliar (tahun 2025).

Sektor fintech (P2P lending) juga menunjukkan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak, yang tercatat sebesar Rp 3,17 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp 720,74 miliar, serta PPN DN atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun.

Pajak atas Transaksi Pengadaan Barang/Jasa

Selain itu, DJP juga mencatatkan penerimaan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang tercatat sebesar Rp 2,90 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PPh sebesar Rp 195,54 miliar dan PPN sebesar Rp 2,71 triliun.

Dwi menegaskan bahwa pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan keadilan dalam berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital. Oleh karena itu, pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, DJP berencana menggali potensi penerimaan pajak lainnya dari sektor ekonomi digital, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan terus berkembangnya ekonomi digital, DJP berharap sektor ini dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara dan memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. (alf)

Pemerintah Perpanjang Insentif PPN DTP untuk Rumah dan Rusun

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang pemberian insentif fiskal berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun (rusun). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK-13/2025) yang mulai berlaku pada 4 Februari 2025.

Perpanjangan insentif ini merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa yang telah diterapkan pada tahun 2023 dan 2024. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat menjaga daya beli masyarakat serta mendorong pertumbuhan sektor properti dan industri terkait lainnya.

“Pemberian insentif PPN ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melalui keterangan tertulisnya, diterima Sabtu (22/2/2025).

Rincian Insentif PPN DTP

• Periode 1 Januari – 30 Juni 2025

• Insentif PPN DTP sebesar 100% atas PPN terutang dari bagian harga jual hingga Rp2 miliar.

• Berlaku untuk rumah dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

• Periode 1 Juli – 31 Desember 2025

• Insentif PPN DTP sebesar 50% atas PPN terutang dari bagian harga jual hingga Rp2 miliar.

• Berlaku untuk rumah dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2 miliar pada 14 Februari 2025, seluruh PPN-nya akan ditanggung pemerintah. Namun, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2,5 miliar pada 15 Februari 2025, maka PPN yang harus dibayar adalah 11% dari Rp500 juta atau sebesar Rp55 juta.

Dwi, perwakilan dari DJP, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku bagi rumah atau rusun yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.

“Pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki rumah sekaligus mendukung geliat ekonomi nasional di sektor properti dan sektor-sektor pendukungnya,” kata Dwi.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berupaya memberikan stimulus bagi industri properti, mendorong investasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kepemilikan hunian yang lebih terjangkau. (alf)

BKF dan IBFD Kolaborasi Bahas Implementasi Pajak Minimum Global di ASEAN

IKPI, Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan bekerja sama dengan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) menggelar workshop pemerintahan yang membahas implementasi Pajak Minimum Global di kawasan ASEAN. Acara ini dihadiri oleh para pakar perpajakan internasional IBFD serta perwakilan pemangku kepentingan dari berbagai negara ASEAN yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut.

Bertempat di Gedung BKF Kementerian Keuangan, workshop ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas negara-negara ASEAN dalam menerapkan Pajak Minimum Global. Selain itu, forum ini juga menjadi wadah untuk memperkuat kerja sama regional serta berbagi pengalaman antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam mengelola kebijakan pajak ini. Dengan meningkatnya koordinasi antarnegara, diharapkan implementasi Pajak Minimum Global dapat berjalan dengan lebih efektif dan adil di seluruh kawasan.

Dikutip dari website resmi BKF (fiskal.kemenkeu.go.id), selama tiga hari pelaksanaan (17-19 Februari), workshop membahas berbagai agenda penting, termasuk implementasi Pajak Minimum Global di tingkat internasional, perkembangan terkini serta isu-isu yang muncul di berbagai negara, desain Pajak Top-Up Minimum Dalam Negeri yang memenuhi syarat, desain aturan inklusi perpajakan dan administrasi Pajak Minimum Global, serta strategi dalam mengelola sengketa dan kompetisi pasca penerapan Pajak Pilar Dua.

Para peserta juga mendapatkan wawasan mendalam mengenai tantangan yang mungkin dihadapi dalam penerapan kebijakan ini, termasuk harmonisasi regulasi antarnegara dan kesiapan infrastruktur pajak yang mendukung.

Selain sesi diskusi panel dengan para ahli, workshop ini juga menyajikan studi kasus dari beberapa negara yang telah lebih dahulu mengadopsi Pajak Minimum Global. Hal ini memberikan gambaran konkret mengenai implementasi kebijakan, kendala yang dihadapi, serta solusi yang diterapkan di negara-negara tersebut. Dengan adanya studi kasus ini, peserta workshop dapat mempelajari pengalaman nyata dan menyesuaikannya dengan kondisi fiskal di negara masing-masing.

Di samping itu, workshop juga menyoroti pentingnya digitalisasi dalam administrasi perpajakan, khususnya dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengumpulan pajak. Pemanfaatan teknologi dalam sistem perpajakan diharapkan mampu mendukung pelaksanaan Pajak Minimum Global secara optimal, sehingga negara-negara ASEAN dapat menghindari praktik penghindaran pajak yang merugikan perekonomian regional.

Dengan diselenggarakannya workshop ini, diharapkan negara-negara ASEAN dapat semakin siap dalam menghadapi tantangan dan peluang terkait implementasi Pajak Minimum Global, serta memperkuat koordinasi dalam merumuskan kebijakan fiskal yang efektif dan berkeadilan di kawasan. Ke depan, kolaborasi lintas negara ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan pajak yang lebih solid dan mampu menciptakan lingkungan usaha yang lebih stabil bagi investor serta memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat. (alf)

 

CEO INDODAX Soroti Tantangan dalam Implementasi Pajak Kripto di Indonesia

IKPI, Jakarta: CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menegaskan bahwa meskipun regulasi pajak kripto telah diberlakukan sejak 2022, masih terdapat tantangan signifikan dalam implementasinya. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar biaya transaksi di INDODAX digunakan untuk membayar pajak.

“Sebagian besar biaya transaksi di INDODAX digunakan untuk membayar pajak,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/2/2025).

Penerapan pajak atas aset kripto di Indonesia bermula pada tahun 2017, ketika pemerintah mengakui kripto sebagai komoditas yang sah untuk diperdagangkan berdasarkan ketetapan Kementerian Perdagangan. Hingga tahun 2022, sistem perpajakan yang berlaku masih mengandalkan mekanisme self-reporting, di mana para investor melaporkan pendapatan dari kripto melalui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan dikenai pajak penghasilan progresif.

Namun, sejak 2022, pemerintah Indonesia beralih ke sistem pajak final bagi transaksi aset kripto melalui platform exchange berizin. Dalam skema baru ini, transaksi kripto dikenakan pajak penghasilan final sebesar 0,1% serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11%. Meski tarif ini relatif rendah dibandingkan negara lain, Oscar Darmawan menyoroti beberapa kendala yang masih dihadapi oleh para pelaku industri.

Salah satu tantangan utama adalah penerapan PPN yang dianggap kurang ideal, sebab tetap dikenakan meskipun trader mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan mekanisme capital gains tax yang umumnya hanya berlaku saat terjadi keuntungan.

Selain itu, masih terdapat kesulitan dalam pemungutan pajak bagi trader yang menggunakan platform exchange luar negeri. Hingga saat ini, belum ada mekanisme yang jelas terkait pemungutan pajak atas transaksi yang dilakukan melalui platform asing, sehingga para trader harus melaporkan kewajiban pajaknya secara mandiri.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Oscar Darmawan menyarankan agar para trader berkonsultasi dengan account representative (AR) di kantor pajak masing-masing guna memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Lebih lanjut, ia berharap agar revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 dapat mempertimbangkan penghapusan PPN pada transaksi kripto.

Menurutnya, dengan status kripto yang kini diklasifikasikan sebagai aset keuangan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seharusnya transaksi kripto tidak lagi dikenakan PPN, seperti halnya produk keuangan lainnya.

“Diharapkan ke depannya kripto sudah tidak lagi dikenakan PPN layaknya produk keuangan lainnya,” ujarnya. (alf)

Update: 4,4 Juta Wajib Pajak Telah Lapor SPT Tahunan, DJP Ingatkan Jangan Terlambat!

IKPI, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 4,4 juta wajib pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) per 19 Februari 2025. DJP mengimbau wajib pajak yang belum melapor untuk segera melakukan pelaporan agar lebih nyaman dan tenang.

“Hingga saat ini sudah 4,4 juta SPT Tahunan disampaikan. Terima kasih atas partisipasi #KawanPajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan!” tulis DJP dalam pengumuman resmi di akun Instagram @ditjenpajakri, Jumat (21/2/2025).

Dari total pelaporan yang masuk, sebanyak 4,27 juta merupakan wajib pajak orang pribadi, sedangkan 130,5 ribu berasal dari wajib pajak badan. Adapun mayoritas pelaporan dilakukan melalui saluran elektronik e-Filing di djponline.pajak.go.id dengan total 4,31 juta laporan, sementara 97,8 ribu lainnya dilakukan secara manual.

DJP menegaskan bahwa pelaporan SPT Tahunan merupakan bentuk kontribusi nyata wajib pajak dalam pembangunan negara. Oleh karena itu, masyarakat yang belum melapor diimbau segera menyampaikan SPT Tahunan melalui e-Filing agar proses lebih mudah dan nyaman.

Sebagai informasi, SPT Tahunan 2024 dapat mulai dilaporkan sejak 1 Januari 2025. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2025, sedangkan untuk wajib pajak badan paling lambat 30 April 2025.

Bagi wajib pajak yang belum melapor, DJP mengingatkan agar segera melakukan pelaporan di https://djponline.pajak.go.id untuk menghindari kendala di akhir batas waktu pelaporan.(alf)

Ragam Pilihan Registrasi Pada Coretax DJP Mudahkan Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan berbagai pilihan menu registrasi dalam sistem Coretax DJP untuk mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan adanya sistem ini, wajib pajak dapat memilih menu registrasi sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pilihan Menu Registrasi

Terdapat beberapa menu registrasi yang disesuaikan dengan kondisi wajib pajak, antara lain:

• Pendaftaran dengan Aktivasi NIK

• Ditujukan bagi wajib pajak yang ingin mendaftarkan NPWP baru.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Pengecualian: Wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami.

• Hanya Registrasi

• Ditujukan bagi wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami.

• Status: Tidak Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: VA

• Lupa Kata Sandi

• Khusus bagi pengguna DJP Online yang mengalami kendala dalam mengakses akun mereka.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

Pilihan Registrasi Lanjutan

Selain itu, terdapat beberapa opsi lain bagi wajib pajak yang sudah memiliki NPWP tetapi memerlukan aktivasi akun di Coretax DJP:

• Aktivasi Akun untuk Pemilik NPWP Aktif

• Ditujukan bagi pemilik NPWP aktif namun bukan pengguna DJP Online.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Aktivasi Akun bagi Pengguna DJP Online yang Lupa Email atau Nomor Telepon

• Ditujukan bagi wajib pajak yang mengalami kendala akses karena lupa email atau nomor telepon seluler.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• Aktivasi Akun untuk Wanita Kawin yang Gabung NPWP Suami tetapi Membutuhkan Akses Coretax DJP

• Ditujukan bagi wanita yang telah bergabung dengan NPWP suami namun memiliki peran sebagai wakil atau kuasa wajib pajak.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Perubahan Data Unit Keluarga Perpajakan (Tax Family Unit)

• Khusus bagi wanita menikah yang bergabung dengan NPWP suami atau anak yang belum memiliki e-KTP.

• Status: Tidak Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: Ya

Dengan berbagai pilihan registrasi ini, DJP berharap dapat memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam mengelola kewajiban perpajakannya dengan lebih efisien dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (alf)

DJP Banten Imbau Wajib Pajak Perbarui Data Sebelum Gunakan Coretax

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Banten mengimbau wajib pajak untuk memperbarui data kependudukan mereka sebelum menggunakan aplikasi perpajakan digital, Coretax. Imbauan ini disampaikan Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Banten Dedi Kusnadi, guna menghindari kendala teknis akibat ketidaksesuaian data saat proses validasi.

Coretax, yang diluncurkan pada awal tahun 2025, mengintegrasikan sistem perpajakan dengan database dari berbagai instansi, seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Online Single Submission (OSS), dan Administrasi Hukum Umum (AHU). Dedi menekankan bahwa jika data wajib pajak tidak sinkron, sistem akan menolak akses, sehingga mereka tidak dapat mendaftar atau melaporkan pajaknya secara online.

“Pastikan data KTP sudah diperbarui di Dukcapil, terutama jika ada perubahan status pernikahan atau pekerjaan. Jika data berbeda, Coretax tidak akan mengenali wajib pajak,” ujar Dedi dikutip dari dialog RRI, Jumat (21/2/2025).

Selain itu, fitur pengenalan wajah (face recognition) dalam Coretax juga berpotensi menjadi tantangan bagi beberapa wajib pajak. Jika foto di KTP lama tidak sesuai dengan penampilan terkini, sistem tidak dapat memverifikasi identitas pengguna. Oleh karena itu, DJP menyarankan agar wajib pajak memperbarui foto di Dukcapil agar proses validasi berjalan lancar.

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, DJP telah menyediakan video tutorial, buku panduan, dan materi edukasi lainnya di situs pajak.go.id. Selain itu, bagi kelompok atau asosiasi yang membutuhkan pendampingan lebih lanjut, DJP membuka kesempatan untuk bimbingan teknis yang dapat diajukan melalui surat resmi ke kantor wilayah DJP setempat.

Dengan adanya digitalisasi ini, DJP berharap semakin banyak masyarakat yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan lebih mudah, aman, dan transparan. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 11/2025, Atur PPN Transaksi Aset Kripto

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025) yang mengatur penyesuaian nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak serta besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk pada transaksi aset kripto. PMK-11/2025 ini ditetapkan dan mulai berlaku pada 4 Februari 2025.

Melansir situs Direktorat Jenderal Pajak (DJP), regulasi ini menyesuaikan tarif PPN baru sebesar 12% yang telah diterapkan sejak 1 Januari 2025. Dalam regulasi terbaru ini, pemerintah menetapkan skema penghitungan PPN untuk transaksi aset kripto sebagai berikut:

• Penyerahan aset kripto oleh penjual melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dikenakan tarif [1% x (11/12)] x 12% x nilai transaksi aset kripto.

• Penyerahan aset kripto oleh penjual melalui PMSE yang bukan Pedagang Fisik Aset Kripto, dikenakan tarif [2% x (11/12)] x 12% x nilai transaksi aset kripto.

• Penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto, dikenakan tarif [10% x (11/12)] x 12% x nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima oleh penambang, termasuk aset kripto yang diterima dari sistem aset kripto (block reward).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyatakan bahwa dengan berlakunya PMK-11/2025, aturan hukum mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain dan Besaran Tertentu PPN menjadi lebih sederhana karena terkumpul dalam satu dasar hukum.

“Harapannya, masyarakat lebih mudah memahami skema penghitungan PPN terutang,” ujar Dwi.

Sementara itu, DJP Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Januari 2025, penerimaan pajak dari transaksi kripto mencapai Rp1,19 triliun. Sejak pertama kali diberlakukan pada 2022, penerimaan pajak kripto menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, total pajak yang dikumpulkan sebesar Rp246,45 miliar, mengalami penurunan menjadi Rp220,83 miliar pada 2023. Namun, pada 2024 jumlahnya melonjak signifikan menjadi Rp620,4 miliar, dan hingga Januari 2025 telah mencapai Rp107,11 miliar.

Dengan adanya kepastian regulasi ini, diharapkan transaksi aset kripto di Indonesia semakin meningkat, karena pengguna memiliki pemahaman yang lebih jelas terkait kewajiban pajak mereka. Regulasi ini juga diharapkan dapat menarik lebih banyak investor serta mendorong pertumbuhan industri aset kripto di Indonesia secara berkelanjutan. (alf)

Kanwil DJP dan Polres Metro Jakut Perkuat Penegakan Hukum Perpajakan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Utara (Kanwil DJP Jakut) memperkuat sinergi dengan Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Utara melalui audiensi yang digelar di Kanwil DJP Jakut, Gedung Altira Business Park, Sunter. Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat koordinasi dalam menangani serta mencegah perkara tindak pidana perpajakan yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga.

Kepala Kanwil DJP Jakut Wansepta Nirwanda, berharap audiensi ini dapat mengoptimalkan sinergi antara DJP dan Polres Jakut dalam penegakan hukum perpajakan sehingga efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kedua lembaga semakin meningkat.

“DJP dalam mencapai target penerimaan tidak bisa bekerja sendiri, butuh dukungan dari berbagai pihak dan stakeholder agar kinerja kami maksimal,” ujar Wansepta Nirwanda dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat (21/2/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Polres Metro Jakut, Kombes Polisi H. Ahmad Fuady, memperkenalkan jajarannya serta menyampaikan beberapa tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh Polres Jakut. Ia juga menyampaikan apresiasi atas undangan dan penerimaan dari Kanwil DJP Jakut.

“Kami berterima kasih sudah diundang dan diterima oleh Kepala Kanwil DJP Jakarta Utara beserta jajaran. Semoga kegiatan ini menjadi ajang sinergi yang dapat memaksimalkan tugas kita masing-masing,” kata Ahmad Fuady.

Kedua pimpinan berharap audiensi ini dapat menghasilkan kerja sama yang optimal, salah satunya dengan adanya permintaan asistensi dari Polres Jakut terkait pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.

Audiensi ini juga dihadiri oleh sejumlah pejabat dari Kanwil DJP Jakut, antara lain:

• Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kanwil DJP Jakut, Abdul Manan

• Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Jakut, Widodo

• Kepala Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, dan Penilaian, Donna Dian Sukma Zulfrieda

• Kepala Bidang Keberatan, Banding, dan Pengurangan Kanwil DJP Jakut, Krisnawiryawan Wisnu Hananto

• Kepala Bagian Umum Kanwil DJP Jakut, Alexander Ginting

Hadir pula sejumlah Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah Jakarta Utara, yakni:

• Kepala KPP Jakarta Tanjung Priok, Zulkarnaen Pasaribu

• Kepala KPP Jakarta Pademangan, Sony Sujati

• Kepala KPP Jakarta Koja, Marasi Napitupulu

• Kepala KPP Jakarta Kelapa Gading, Vadri Usman

• Kepala KPP Madya Dua Jakut, Saefudin

• Kepala KPP Jakarta Penjaringan, Iwan Setyawan

Sementara dari Polres Metro Jakut, hadir:

• Wakil Kepala Polres Jakut, AKBP James H. Hutajulu

• Kepala Seksi Keuangan, Kompol Lus Triningsih

• Kepala Seksi Pengawasan, AKP Margono

• Kepala Polsek Tanjung Priok, Kompol R. Sigit Kumono

• Kanit Intel Polsek Tanjung Priok, IPDA Reza

Dengan adanya sinergi yang lebih erat antara Kanwil DJP Jakut dan Polres Metro Jakut, diharapkan pelaksanaan penegakan hukum perpajakan semakin efektif, serta mampu memberikan kontribusi positif dalam peningkatan kepatuhan pajak di Jakarta Utara. (alf)

 

Hingga Pertengahan Februari 2025, DJP Terima 4,75 Juta Laporan SPT Tahunan 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan telah menerima 4,75 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2024 hingga pertengahan Februari 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa hingga 20 Februari 2025, jumlah SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan mencapai angka tersebut. Dari jumlah tersebut, 4,6 juta merupakan pelaporan dari wajib pajak orang pribadi, sementara 141.000 berasal dari wajib pajak badan.

“Target kepatuhan SPT Tahunan PPh untuk tahun 2025 masih dalam proses penghitungan. Sebagai gambaran, pada tahun 2024, DJP menetapkan target kepatuhan sebanyak 16,04 juta SPT atau sekitar 83,22% dari total wajib pajak yang diwajibkan untuk melapor,” ujar Dwi, Jumat (21/2/1025).

Dwi juga menekankan bahwa pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2024 masih dapat dilakukan melalui e-filing di situs djponline.pajak.go.id. Sistem Coretax, yang akan diterapkan pada tahun pajak 2025, tidak akan mempengaruhi pelaporan SPT tahun ini.

Sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, batas waktu pelaporan SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah hingga 31 Maret 2025, sedangkan bagi Wajib Pajak Badan, batas waktu pelaporan ditutup pada 30 April 2025. Wajib pajak yang terlambat melaporkan SPT akan dikenai sanksi sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administrasi maupun pidana.

Menurut Pasal 39 UU KUP, setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara dapat dikenakan sanksi pidana.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan mereka sebelum tenggat waktu guna menghindari sanksi dan mendukung kepatuhan pajak nasional. (alf)

id_ID