Demo Berkepanjangan Berpotensi Gerus Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Gelombang aksi demonstrasi yang meluas dalam beberapa hari terakhir diperkirakan tidak hanya mengganggu aktivitas perekonomian, tetapi juga dapat mengurangi penerimaan pajak negara.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai dunia usaha menjadi sektor paling terdampak dari stagnasi aktivitas akibat demonstrasi. Menurunnya produksi, terhambatnya distribusi, hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dipastikan akan mempersempit basis pajak yang bisa dipungut pemerintah.

“Penerimaan perpajakan pasti akan berkurang. Pertama, karena ekonomi melemah akibat demo yang berlarut. Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan ikut menurun,” ujar Huda, Selasa (2/9/2025).

Menurutnya, pelemahan ekonomi akan langsung berimbas pada turunnya setoran pajak penghasilan badan, sementara melemahnya daya beli masyarakat akan menekan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN). “Orang akan menahan konsumsi karena situasi ke depan makin tidak pasti. Akibatnya, kepatuhan pajak juga berpotensi jatuh,” tambahnya.

Lebih jauh, Huda menekankan bahwa krisis kepercayaan publik menjadi ancaman serius bagi fiskal negara. Gelombang aksi yang dipicu ketidakadilan sosial menumbuhkan sinisme terhadap kebijakan pajak. “Masyarakat merasa terbebani pajak, sementara pengelolaan uang negara dianggap tidak transparan,” jelasnya.

Ia juga memperingatkan, bila tensi politik dan sosial tidak segera reda, maka pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini berisiko lebih rendah dari proyeksi lembaga internasional yang memperkirakan 4,7%. “Saya rasa realisasinya bisa jauh di bawah itu, kecuali pemerintah benar-benar memulihkan stabilitas. Kalau tidak, target optimistis pertumbuhan hampir mustahil tercapai,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

 

Sri Mulyani Pastikan 2026 Tanpa Pajak Baru, Fokus Tingkatkan Kepatuhan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak pada tahun 2026. Kendati demikian, target pendapatan negara tetap naik 9,8% menjadi Rp 3.147,7 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp 2.357,7 triliun atau tumbuh 13,5% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Sering kali muncul persepsi seolah-olah untuk meningkatkan pendapatan negara berarti harus menaikkan tarif pajak. Padahal, tidak ada kebijakan baru. Pajaknya tetap sama,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja virtual bersama DPD RI, Selasa (2/9/2025).

Ia menjelaskan, strategi utama pemerintah adalah memperkuat kepatuhan pajak. Wajib pajak yang mampu dan memiliki kewajiban tetap harus taat, sementara kelompok masyarakat dengan kemampuan terbatas akan diberikan perlindungan.

Contohnya, kebijakan perpajakan bagi UMKM masih berlanjut. Usaha dengan omzet hingga Rp 500 juta dibebaskan dari PPh, sedangkan omzet di atas Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar hanya dikenakan pajak final 0,5%. “Itu bentuk keberpihakan pemerintah, sebab bila mengikuti PPh Badan, tarifnya 22%,” jelas Sri Mulyani.

Selain itu, sejumlah sektor juga mendapatkan keringanan pajak, seperti pendidikan, kesehatan, serta masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 60 juta per tahun yang tidak dipungut PPh. Menurutnya, kebijakan tersebut mencerminkan prinsip gotong royong dalam menjaga penerimaan negara sekaligus melindungi kelompok rentan.

Dari sisi pelayanan, pemerintah menyiapkan penyempurnaan Coretax System, memperluas pertukaran data, hingga memastikan perlakuan yang sama antara transaksi digital dan non-digital. “Kita terus meningkatkan joint program, termasuk pengawasan berbasis data dan intelijen, agar lebih konsisten,” tegasnya. (alf)

 

 

 

 

 

Pemkab Badung Temukan 19 Ribu Lebih Potensi Wajib Pajak Baru

IKPI, Jakarta: Program pendataan potensi pajak daerah yang digerakkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung membuahkan hasil di luar ekspektasi. Melalui Tim Terpadu Optimalisasi Pajak Daerah (TOPD), Badung berhasil mengidentifikasi 19.829 potensi wajib pajak baru dari hasil pemetaan lapangan.

Padahal, berdasarkan data awal Sistem Online Single Submission (OSS), jumlah izin usaha yang tercatat hanya 40.060. Setelah dilakukan pendataan serentak sejak Juli 2025 selama 45 hari, total usaha yang terdata mencapai 46.074 unit. Setelah melalui tahap quality control (QC), data yang tervalidasi berjumlah 42.294 usaha.

Rinciannya, sebanyak 8.588 usaha sudah terdaftar sebagai wajib pajak, 19.829 usaha teridentifikasi sebagai potensi baru, sementara 13.905 usaha belum masuk kategori potensial pajak.

Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa mengapresiasi capaian tersebut saat rapat finalisasi pendataan di Puspem Badung, Senin (1/9/2025).

“Kami bangga dengan dedikasi tim di lapangan. Hasil ini menunjukkan kerja keras yang nyata. Proses validasi dan penerbitan NPWPD/NOPD selanjutnya harus segera ditindaklanjuti, agar potensi pajak ini bisa benar-benar memberi kontribusi bagi daerah,” tegas Adi.

Ke depan, tahapan lanjutan yang akan dilakukan yakni validasi data, penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah/Nomor Objek Pajak Daerah (NPWPD/NOPD), penetapan nilai pajak, hingga proses penagihan.

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Badung, Made Agus Aryawan, menegaskan pendataan TOPD berjalan sukses.

Menurutnya, ada empat poin penting dari hasil kegiatan ini. Pertama, realisasi pendataan tercapai 100 persen tepat waktu. Kedua, jumlah usaha yang terdata melampaui target awal. Ketiga, data yang masuk sudah melewati QC sehingga risiko kesalahan lebih kecil. Keempat, masih ada kendala teknis di lapangan, terutama karena sulit bertemu langsung dengan pemilik usaha, sehingga perlu validasi lanjutan sebelum NPWPD/NOPD diterbitkan.

Dengan hasil ini, Pemkab Badung optimistis optimalisasi pajak daerah dapat meningkatkan kemandirian fiskal sekaligus memperkuat sumber pendapatan asli daerah (PAD). (alf)

 

 

 

 

 

Kalender Pajak September 2025: Tenggat Bergeser, Regulasi Kripto Baru Berlaku

IKPI, Jakarta: Bulan September 2025 menghadirkan sejumlah agenda perpajakan penting yang perlu dicermati Wajib Pajak. Selain rutinitas bulanan, terdapat pula regulasi baru yang mulai berlaku, khususnya terkait aset kripto. Beberapa tenggat juga mengalami pergeseran lantaran bertepatan dengan hari libur, sehingga otomatis dimundurkan ke hari kerja berikutnya.

1 September 2025

Awal bulan ini langsung dibuka dengan kewajiban bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masa Agustus. Semestinya jatuh pada 31 Agustus, namun karena bertepatan dengan hari libur, tenggat bergeser ke 1 September.

Momentum ini juga ditandai dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Regulasi tersebut menghapus pungutan PPN atas transaksi aset kripto, sejalan dengan perubahan status kripto dari komoditas menjadi aset keuangan digital sebagaimana diatur dalam UU P2SK. Sebelumnya, transaksi kripto dikenai PPN 0,11% melalui platform terdaftar dan 0,22% di luar itu.

Meski bebas dari PPN, aktivitas layanan exchange, penyimpanan, mining, hingga transaksi antar e-wallet tetap tunduk pada ketentuan PPh.

15 September 2025

Pertengahan bulan menjadi tenggat penting penyetoran dan pelaporan beberapa jenis Pajak Penghasilan (PPh), antara lain:

• PPh Pasal 21 atas gaji dan penghasilan karyawan,

• PPh Pasal 23 atas jasa maupun dividen,

• PPh Pasal 26 untuk penghasilan yang diterima pihak luar negeri,

• serta PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan tertentu, termasuk sewa tanah dan bangunan.

Masih terkait kripto, PMK 50/2025 menetapkan tarif baru PPh Pasal 22 final sebesar 0,21% atas penghasilan penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan, maupun penambang. Angka ini lebih tinggi dibanding ketentuan lama dalam PMK 68/2022 yang sebesar 0,1%.

Selain itu, PMK 51/2025 yang berlaku sejak 1 Agustus juga membawa perubahan skema pemungutan PPh Pasal 22 atas impor, ekspor, hingga pembelian barang oleh BUMN maupun instansi pemerintah. Tarif bervariasi, misalnya impor emas batangan dipungut 0,25% dan ekspor tambang dikenai 1,5% dari nilai FOB.

22 September 2025

Tenggat pelaporan SPT Masa PPh yang seharusnya pada 20 September mundur ke 22 September karena jatuh pada hari libur. Meski memberi waktu tambahan, Wajib Pajak tetap diingatkan agar memanfaatkan momen ini untuk menyiapkan laporan dengan cermat, bukan sekadar menunda.

30 September 2025

Akhir bulan kembali menjadi agenda penting bagi PKP dengan batas waktu pembayaran dan pelaporan PPN Masa September. Karena bertepatan dengan penutupan kuartal ketiga, pelaporan kali ini juga kerap dijadikan evaluasi kinerja internal perusahaan.

Sejak penerapan Coretax awal tahun, pelaporan SPT Masa PPN kini dibagi lebih detail: SPT Normal, Pembetulan, dan Nihil. Sistem baru ini terintegrasi dengan e-Faktur dan dilengkapi validasi real-time, sehingga menuntut PKP menyesuaikan sistem akuntansi internal agar terhindar dari kesalahan maupun sanksi. (alf)

 

 

Buruh Dukung Reformasi Pajak, Prabowo Janji Percepat Agenda Strategis

IKPI, Jakarta: Dukungan kuat datang dari kalangan serikat pekerja terhadap agenda pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, termasuk percepatan reformasi pajak yang dinilai krusial bagi keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan. Hal ini mengemuka dalam pertemuan silaturahmi antara Presiden Prabowo dan perwakilan buruh di Istana Negara, Jakarta, Senin (1/9/2025).

Dalam forum yang berlangsung hingga malam hari itu, isu pajak menjadi salah satu sorotan utama selain pembahasan RUU Ketenagakerjaan dan RUU Perampasan Aset. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menegaskan, gerakan buruh siap mendukung penuh langkah Presiden, termasuk dalam memastikan reformasi pajak berpihak pada rakyat kecil.

“Gerakan Buruh Indonesia mendukung penuh Presiden Prabowo Subianto. Kami berdiri di samping Presiden, bukan di belakang. Dukungan ini juga termasuk komitmen agar reformasi pajak benar-benar memberi manfaat bagi pekerja, rakyat kecil, dan perekonomian nasional,” ujar Andi Gani.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menekankan, perombakan sistem perpajakan harus diarahkan untuk memperkuat perlindungan sosial serta mengurangi beban buruh dan masyarakat berpenghasilan rendah. Menurutnya, keadilan pajak akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan kesejahteraan.

“Reformasi pajak tidak boleh hanya fokus pada peningkatan penerimaan negara, tetapi juga bagaimana beban itu dibagi secara adil. Buruh berharap kebijakan pajak mampu melindungi kelompok bawah sekaligus mendorong perekonomian tumbuh sehat,” jelas Iqbal.

Menanggapi aspirasi tersebut, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk mempercepat agenda reformasi pajak. Ia menyampaikan bahwa langkah ini akan diintegrasikan dengan strategi pembangunan inklusif dan penguatan ruang demokrasi. “Prinsipnya, ruang demokrasi tetap terjaga, dan reformasi pajak segera dibahas bersama parlemen untuk memberi manfaat seluas-luasnya bagi rakyat,” kata Prabowo.

Pertemuan yang dihadiri berbagai elemen buruh itu berlangsung dalam suasana cair dan penuh optimisme. Dengan dukungan serikat pekerja, pemerintah diharapkan dapat mempercepat pembahasan reformasi pajak sekaligus memastikan kebijakan tersebut benar-benar pro rakyat. (alf)

 

Pakar Desak Prabowo Segera Lakukan Reformasi Fiskal, Pajak Kekayaan Jadi Sorotan

IKPI. Jakarta: Gelombang aksi demonstrasi di sejumlah daerah belakangan ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret. Sejumlah pakar ekonomi dan kebijakan publik pun mendorong Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi fiskal sebagai prioritas utama.

Manajer Riset dan Pengetahuan The Prakarsa, Roby Rushandie, menekankan pentingnya penerapan pajak kekayaan bagi kelompok super kaya sebagai bentuk redistribusi.

“Reformasi yang paling mendesak adalah segera melakukan reformasi fiskal. Presiden Prabowo perlu menerapkan pajak kekayaan pada kelompok super kaya untuk menjalankan fungsi redistribusi,” ujar Roby dalam diskusi publik yang digelar secara daring, Senin (1/9/2025).

Roby juga mengingatkan agar pemerintah daerah menunda kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta menghentikan subsidi PPh Pasal 21 untuk pejabat negara maupun anggota DPR. Ia menilai anggaran negara sebaiknya dialihkan untuk memperkuat program jaminan sosial, seperti bantuan sosial tunai bagi warga miskin dan perluasan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, mengusulkan moratorium kebijakan yang menambah beban pajak masyarakat, termasuk PPN dan PBB.

“Yang kaya harus membayar pajak lebih besar agar subsidi silang berjalan. Dengan begitu fasilitas publik bagi kelompok tidak mampu bisa ditingkatkan,” ujarnya.

Esther juga mengkritisi pemotongan transfer ke daerah yang dianggap memicu lonjakan pajak. Menurutnya, realokasi anggaran nonproduktif seperti belanja pejabat, DPR, hingga militer lebih baik dialihkan untuk penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, serta riset.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menilai strategi belanja pemerintah harus direvisi agar lebih tepat sasaran. Ia menyoroti pemborosan anggaran, termasuk pembentukan lembaga baru dan fasilitas berlebih untuk pejabat publik.

“Fokus belanja negara seharusnya diarahkan pada penciptaan lapangan kerja dan memperkuat sektor padat karya yang tengah tertekan, bukan pada pos belanja yang sifatnya seremonial dan tidak produktif,” tegas Faisal.

Faisal juga mengingatkan agar pemerintah tidak sekadar mengandalkan bansos, tetapi mampu menyentuh akar persoalan kemiskinan. Selain itu, ia menyoroti potensi tekanan eksternal akibat kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS) yang bisa berdampak pada perekonomian nasional.

Dorongan berbagai pihak tersebut memperlihatkan urgensi bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk mengambil langkah fiskal yang lebih progresif. Tujuannya bukan hanya menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga meredam ketidakpuasan sosial yang belakangan semakin menguat. (alf)

 

Afrika Selatan Desak Uni Eropa Beri Keringanan Pajak Karbon Seperti AS

IKPI, Jakarta: Afrika Selatan resmi mengajukan permohonan kepada Uni Eropa (UE) pada Rabu (27/8/2025) untuk meninjau ulang rencana penerapan pajak tambahan terhadap impor barang berintensitas karbon tinggi. Melalui surat resmi yang dikirimkan Departemen Perdagangan, Industri, dan Kompetisi, pemerintah Afrika Selatan meminta perlakuan khusus yang setara dengan fleksibilitas yang dijanjikan Uni Eropa kepada Amerika Serikat (AS).

Dalam surat tersebut, Afrika Selatan menyoroti mekanisme penyesuaian pajak karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan Uni Eropa. Menurut pemerintah setempat, kebijakan ini berpotensi menghambat upaya negara berkembang dalam menurunkan emisi sekaligus mendekarbonisasi ekonominya.

“CBAM berpotensi membatasi kemampuan Afrika Selatan dan negara berkembang lainnya untuk berkontribusi pada pengurangan emisi,” demikian isi surat yang dikutip dari Bloomberg, Senin (1/9/2025).

Afrika Selatan menegaskan, jika Uni Eropa dapat memberikan opsi lebih fleksibel bagi usaha kecil dan menengah di AS, maka negara berkembang juga sepatutnya mendapatkan keringanan serupa.

Permintaan ini tidak lepas dari pernyataan bersama yang diterbitkan pekan lalu oleh Uni Eropa dan AS. Dalam dokumen bertajuk Framework of Reciprocal, Fair, and Balanced Trade Agreement, kedua pihak sepakat untuk meninjau ulang sejumlah kebijakan keberlanjutan yang selama ini dikeluhkan AS, termasuk CBAM.

Kesepakatan itu menyebutkan Uni Eropa akan mencari jalan agar penerapan pajak karbon lebih fleksibel, misalnya dengan memangkas beban administrasi dan memperhatikan kondisi usaha kecil menengah. Inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Afrika Selatan untuk menuntut perlakuan serupa.

CBAM dikhawatirkan akan menekan daya saing produk ekspor Afrika Selatan, khususnya di sektor baja, aluminium, semen, pupuk, hidrogen, dan listrik—industri yang sebagian besar masih bergantung pada energi berbasis batubara.

Data terbaru menunjukkan, sekitar 2,13% dari total ekspor Afrika Selatan ke Uni Eropa berpotensi terdampak CBAM. Jika kebijakan ini diberlakukan penuh, risiko penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) Afrika Selatan diperkirakan bisa mencapai 0,62%.

Karena itu, pemerintah Afrika Selatan mendorong agar Uni Eropa mempertimbangkan kebijakan karbon domestik yang telah diterapkan secara nasional sebelum mengenakan tarif tambahan pada ekspor mereka. (alf)

 

Pemprov DKI Tawarkan Diskon Pajak Hotel dan Restoran, Begini Mekanismenya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menggulirkan insentif pajak daerah untuk sektor perhotelan serta makanan dan minuman. Melalui Keputusan Gubernur Nomor 722 Tahun 2025, para pelaku usaha kini berkesempatan menikmati keringanan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) hingga 50%. Kebijakan ini berlaku mulai 25 Agustus 2025 sampai 31 Januari 2026.

Langkah tersebut diambil untuk menjaga roda perekonomian Ibu Kota tetap berputar, sekaligus membantu daya tahan bisnis di tengah tantangan ekonomi global. Sektor hotel dan restoran dipilih karena kontribusinya yang signifikan terhadap pendapatan daerah sekaligus penyerapan tenaga kerja.

Rincian Insentif Pajak

Jasa perhotelan: potongan pajak sebesar 50% untuk masa pajak Agustus–September 2025, lalu berlanjut 20% pada Oktober–Desember 2025.

Makanan/minuman: pengurangan pajak sebesar 20% yang berlaku sejak Agustus hingga Desember 2025.

Dengan skema ini, Pemprov berharap pelaku usaha memiliki ruang lebih untuk bertahan dan tumbuh, tanpa mengurangi kontribusi sektor tersebut terhadap pendapatan daerah.

Cara Memanfaatkan Insentif

Wajib Pajak tidak perlu mengajukan permohonan khusus. Cukup mengunggah Surat Pernyataan Kesediaan untuk melaporkan data transaksi usaha secara elektronik melalui sistem Electronic Transaction Perporation Agent (E-TRAPT) di situs pajakonline.jakarta.go.id. Surat ini harus ditandatangani oleh direksi perusahaan yang berwenang.

Bagi pemilik lebih dari satu objek pajak, hanya perlu membuat satu surat pernyataan dengan melampirkan daftar seluruh objek usahanya. Untuk mempermudah, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta juga menyiapkan panduan lengkap melalui video tutorial di situs resmi maupun akun YouTube resminya.

Pemprov DKI menegaskan bahwa insentif ini diberikan secara otomatis dan transparan. Tujuannya tidak hanya meringankan beban pelaku usaha, tetapi juga memastikan ekosistem bisnis perhotelan dan restoran tetap kondusif, stabil, dan berdaya saing.

Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah daerah mengajak seluruh pengusaha hotel dan restoran agar memanfaatkan fasilitas pajak tersebut seoptimal mungkin. Diharapkan, langkah ini akan menciptakan iklim usaha yang sehat, menjaga stabilitas ekonomi Jakarta, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. (alf)

 

 

 

 

 

KPP di Jakarta Tetap Buka Normal Meski Ada Imbauan WFH dari Pemprov

IKPI, Jakarta: Di tengah imbauan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta agar perusahaan mengaktifkan skema work from home (WFH) akibat aksi demonstrasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan pelayanan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetap berjalan normal.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Rosmauli, menegaskan seluruh KPP di wilayah Jakarta tetap melayani Wajib Pajak pada Senin, 1 September 2025, mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB.

“Pelayanan di kantor pajak berjalan normal hari ini. Namun, DJP menyiapkan mekanisme fleksibel agar layanan bisa terus diakses sesuai kondisi lapangan. Kami berkomitmen memberikan layanan perpajakan yang efisien, aman, dan nyaman,” ujar Rosmauli.

Selain layanan tatap muka di KPP, Wajib Pajak juga bisa memanfaatkan berbagai kanal digital maupun layanan jarak jauh. Misalnya melalui Kring Pajak 1500200 yang beroperasi pukul 08.00–16.00 WIB. Di luar jam tersebut, sistem interactive voice response akan mengambil alih dengan layanan informasi dasar, seperti kurs pajak, data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), hingga status Surat Pemberitahuan (SPT).

Layanan lain yang dapat diakses melalui Kring Pajak mencakup perubahan data Wajib Pajak, pengaktifan kembali NPWP non-efektif, pemadanan data mandiri, pemberitahuan norma perhitungan penghasilan neto, serta panduan penggunaan aplikasi elektronik DJP seperti e-Filing, e-Billing, hingga e-Faktur.

Secara simultan, Wajib Pajak juga bisa bertanya melalui kanal resmi DJP, mulai dari fitur Tanya Fiska Fisko di laman www.pajak.go.id, akun X @kring_pajak, hingga e-mail informasi@pajak.go.id.

Sementara itu, imbauan WFH Pemprov Jakarta tercantum dalam Surat Edaran Nomor E-0014/Se/2025. Edaran tersebut meminta perusahaan yang berlokasi di sekitar titik demonstrasi menerapkan WFH.

Untuk sektor yang wajib beroperasi penuh, seperti layanan masyarakat 24 jam, aturan WFH dapat dikombinasikan dengan sistem work from office (WFO).

Perusahaan juga diminta melaporkan penerapan kebijakan tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi Jakarta melalui tautan resmi yang telah disediakan.

Dengan demikian, meski ibu kota diramaikan demonstrasi, Wajib Pajak tetap bisa mengakses layanan perpajakan tanpa hambatan, baik secara langsung maupun melalui berbagai saluran daring. (alf)

 

Pajak Tinggi vs Pajak Rendah, Negara Mana yang Paling Sejahtera?

IKPI, Jakarta: Isu pajak selalu menjadi perbincangan hangat di banyak negara, termasuk Indonesia. Perdebatan biasanya berputar pada besaran tarif yang dianggap membebani masyarakat. Namun, pengalaman internasional menunjukkan, kesejahteraan warga ternyata tidak semata ditentukan oleh tinggi rendahnya tarif pajak, melainkan bagaimana dana publik itu digunakan.

Finlandia, Denmark, dan Jepang misalnya, mematok pajak penghasilan di atas 50 persen. Meski begitu, warganya menikmati layanan publik kelas dunia. Finlandia menyediakan pendidikan gratis dari sekolah dasar hingga universitas, sementara Denmark dikenal dengan jaminan sosial bagi pengangguran. Jepang pun mampu menjaga kualitas hidup di tengah tantangan populasi lansia melalui sistem kesehatan nasional dan pensiun publik.

Berbeda dengan Belanda dan Swiss yang tarif pajaknya sedikit lebih rendah masing-masing sekitar 49,5 persen dan 40 persen namun hasilnya tetap serupa: masyarakat memperoleh akses kesehatan, pendidikan, serta transportasi umum yang modern dan efisien. Bahkan Belanda diakui UNICEF sebagai salah satu negara dengan anak-anak paling bahagia di dunia.

Menariknya, Singapura membuktikan bahwa pajak relatif rendah, sekitar 21 persen, juga bisa menopang kesejahteraan. Kuncinya terletak pada investasi berkelanjutan di pendidikan, pelatihan tenaga kerja, dan digitalisasi layanan publik. Negara kota ini bahkan menjadi salah satu pusat perdagangan paling maju di Asia.

Model berbeda terlihat di Uni Emirat Arab. Tanpa pajak penghasilan sama sekali, negara ini mampu membiayai layanan publik melalui pendapatan minyak dan gas. Subsidi listrik, air, dan perumahan membuat warganya tetap nyaman meski tidak menyetor pajak dari gaji.

Perbandingan ini memberi pelajaran penting bagi Indonesia. Tarif pajak yang tinggi atau rendah bukanlah penentu utama kesejahteraan. Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan dalam pengelolaan dana publiklah yang menentukan apakah masyarakat merasa terbebani atau justru terlindungi. (alf/berbagai sumber)

 

 

id_ID