DJP Blokir Serentak 3.443 Rekening Penunggak Pajak di Jawa Timur

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan aksi serentak penegakan hukum di bidang penagihan pajak melalui pemblokiran rekening Wajib Pajak pada 24–26 Juni 2025. Langkah ini dilakukan secara menyeluruh oleh seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III.

Diketahui, total terdapat 3.443 berkas penunggak pajak yang menjadi sasaran dalam operasi ini. Pemblokiran dilakukan terhadap rekening di 11 bank besar yang berkantor pusat di Jakarta dan Tangerang, sebagai tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang telah menerima surat teguran dan surat paksa, namun belum juga menyelesaikan kewajiban perpajakannya.

“Pemblokiran rekening ini merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan penagihan aktif yang telah didahului pendekatan persuasif. Ini adalah upaya terakhir setelah berbagai tahapan imbauan tidak diindahkan,” kata Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, mewakili seluruh Kanwil DJP di Jawa Timur, Agustin Vita Avantin, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/6/2025).

Ia menegaskan bahwa langkah pemblokiran telah sesuai dasar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak.

Tak hanya rekening bank, DJP juga menyasar aset keuangan lainnya milik penunggak pajak, seperti subrekening efek, polis asuransi, serta instrumen keuangan yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan.

Agustin mengimbau, untuk Wajib Pajak yang akunnya diblokir segera menghubungi KPP tempat terdaftar untuk klarifikasi dan penyelesaian utang. Fasilitas permohonan angsuran maupun penghapusan sanksi tetap tersedia sesuai ketentuan yang berlaku.

Melalui tindakan ini, DJP berharap bisa mendorong peningkatan kepatuhan sukarela, menjaga momentum penerimaan negara, serta memberikan kepastian hukum dengan tetap mengedepankan asas keadilan, kemanusiaan, dan efisiensi dalam pelaksanaan hukum perpajakan. (bl)

 

 

DJP Tegaskan Larangan Gratifikasi: Parsel hingga Hadiah Bukan Bentuk Terima Kasih yang Dibenarkan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan seluruh wajib pajak agar tidak memberikan hadiah dalam bentuk apa pun kepada pegawai pajak, termasuk parsel, uang, atau bingkisan lainnya. Imbauan tegas tersebut disampaikan melalui Pengumuman Nomor PENG-2/PJ/2025 tentang Imbauan Antigratifikasi di Lingkungan DJP Tahun 2025.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menekankan bahwa tindakan memberi atau menerima gratifikasi bisa masuk kategori tindak pidana suap apabila tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya merupakan tindak pidana jika tidak dilaporkan ke KPK,” tegas DJP dalam dokumen resmi tersebut.

Selain larangan gratifikasi, DJP juga menegaskan bahwa semua layanan administrasi perpajakan diberikan secara gratis, dan merupakan hak wajib pajak. Karena itu, tidak ada kewajiban ataupun keharusan memberikan imbalan kepada pegawai pajak dalam bentuk apa pun, meski dengan maksud ‘tanda terima kasih’.

DJP mengajak masyarakat dan wajib pajak untuk aktif menjaga integritas institusi. Bila menemukan pelanggaran etika atau gratifikasi oleh pegawai DJP, masyarakat dapat segera melaporkannya melalui beberapa saluran:

  • Kring Pajak 1500200
  • Email ke: kode.etik@pajak.go.id
  • Laman resmi: wise.kemenkeu.go.id

DJP juga mengimbau para pegawai agar menolak dan melaporkan segala bentuk pemberian yang dikategorikan sebagai gratifikasi. Laporan dapat disampaikan melalui dua saluran:

1. Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) masing-masing unit kerja, maksimal 10 hari kerja sejak penerimaan atau penolakan.

2. Sarana pelaporan daring Gratifikasi Online (GOL KPK) di laman gol.kpk.go.id atau melalui aplikasi mobile GOL KPK, paling lambat 30 hari kerja.

“Kami berterima kasih kepada seluruh pegawai dan wajib pajak yang tetap menjaga integritas dan menjunjung nilai-nilai Kementerian Keuangan, dengan tidak memberi, tidak menerima, dan aktif melaporkan gratifikasi,” tutup DJP. (alf)

 

 

 

 

 

 

Kemenkeu Fokus Jaga Fiskal dan Daya Beli, Siapkan Strategi APBN Redam Dampak Perang Iran-Israel

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengencangkan strategi fiskal sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel. Pemerintah menyadari potensi dampak konflik ini terhadap stabilitas ekonomi domestik, terutama melalui lonjakan harga minyak dunia dan volatilitas pasar keuangan global.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menjelaskan bahwa APBN 2025 disiapkan untuk menjadi peredam (shock absorber) dari gejolak global. Pemerintah telah memperkuat koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta berbagai kementerian dan lembaga untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul.

“Pemerintah terus mewaspadai perkembangan global dan transmisi risikonya ke dalam negeri, terutama terhadap inflasi, nilai tukar, dan daya beli masyarakat. APBN menjadi instrumen utama untuk menjaga stabilitas tersebut,” ujar Deni, Senin (23/6/2025).

Menurut Deni, kondisi pasar dalam negeri hingga saat ini masih cukup stabil. Tekanan harga minyak global belum melebihi batas asumsi makro dalam APBN 2025, yang dipatok pada level US$ 82 per barel. Ia mencatat bahwa harga minyak Brent akhir pekan lalu berada di kisaran US$ 77,27, dan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) year to date masih di bawah US$ 73 per barel.

Hal ini memberikan ruang fiskal bagi pemerintah untuk menjaga harga energi melalui skema subsidi dan kompensasi, guna mencegah inflasi yang bisa membebani masyarakat.

“Kebijakan subsidi masih menjadi bantalan penting untuk mengendalikan gejolak harga. Pemerintah juga siap mengoptimalkan belanja sosial dan perlindungan masyarakat berpendapatan rendah jika tekanan meningkat,” jelasnya.

Sinergi antara kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan terus diperkuat untuk memastikan sistem ekonomi tetap resilien. Selain itu, Deni menegaskan bahwa strategi penguatan sektor strategis nasional terus digencarkan, mulai dari pangan, energi, hingga industri padat karya.

“Kami berkomitmen menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi serta daya beli masyarakat. Langkah ini penting agar pemulihan tetap berada di jalur yang inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya.

Dengan ketidakpastian global yang belum mereda, pemerintah berharap bauran kebijakan yang adaptif dan responsif mampu menjadi penopang utama dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah ancaman konflik internasional yang meluas. (alf)

 

 

 

Defisit APBN 2025 Diperkirakan Naik, AMRO Soroti Efek Batalnya Kenaikan PPN

IKPI, Jakarta: Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun 2025 diperkirakan melebar dari target semula. Dalam laporan terbarunya, ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyebut proyeksi defisit fiskal Indonesia akan mencapai 2,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari target resmi pemerintah sebesar 2,53%.

Peningkatan ini, menurut AMRO dalam Annual Consultation Report: Indonesia-2025, tak lepas dari tekanan di dua sisi: pelemahan penerimaan negara dan membengkaknya belanja pemerintah.

Pajak Tak Sesuai Harapan

Salah satu pemicu utama pelemahan penerimaan adalah batalnya implementasi tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% secara menyeluruh. Pemerintah hanya memberlakukan tarif baru ini untuk barang dan jasa mewah sejak 1 Januari 2025, sementara sebagian besar transaksi lainnya tetap dikenai tarif 11%. Kebijakan ini diambil seiring dengan penerapan skema Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12, namun dampaknya langsung terasa.

Dalam dua bulan pertama 2025, APBN telah mencatat defisit sebesar Rp31 triliun atau sekitar 0,1% dari PDB. Ini merupakan defisit bulanan pertama sejak 2021. “Kontraksi signifikan dalam penerimaan fiskal menjadi penyebab utama,” tulis tim ekonom AMRO dalam laporan tersebut dikutip Rabu (25/6/2025).

Belanja Negara Meningkat

Di sisi lain, pengeluaran negara kian besar, terutama untuk mendanai program-program prioritas pemerintah. Salah satu yang paling menyita anggaran adalah program makan bergizi gratis (MBG) bagi anak-anak, ibu hamil, dan menyusui, serta perluasan subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

AMRO memperkirakan lonjakan belanja ini tidak akan tertutupi oleh kenaikan pendapatan dari PPN barang mewah. Meski demikian, mereka menilai kondisi fiskal Indonesia masih dalam batas aman.

Masih Dalam Kendali

Meski defisit diperkirakan naik, nilainya masih jauh di bawah ambang batas 3% yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. AMRO juga menilai pemerintah memiliki ruang fiskal untuk merespons tekanan ekonomi maupun memberikan insentif tambahan bagi sektor-sektor strategis seperti UMKM atau bantuan sosial tambahan jika dibutuhkan.

Kementerian Keuangan juga menegaskan komitmen untuk menjaga kesehatan fiskal. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pertemuan dengan First Deputy Managing Director IMF Gita Gopinath menegaskan, “APBN terus dikelola secara hati-hati dan bijaksana. Pemerintah berkomitmen menjaga defisit tetap sesuai batas yang ditentukan dalam UU.”

Pemerintah optimistis bahwa kombinasi antara pengelolaan anggaran yang hati-hati dan program perlindungan sosial yang tepat sasaran akan membantu menjaga stabilitas fiskal di tengah ketidakpastian ekonomi global. (alf)

 

 

Potensi Ekonomi Digital Capai US$146 Miliar, DJP Siapkan Aturan Baru 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperkuat strategi pemajakan sektor digital seiring melonjaknya nilai ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai US$ 146 miliar pada tahun 2025. Salah satu langkah konkret yang tengah digodok adalah penyusunan regulasi baru untuk memperjelas ketentuan perpajakan atas transaksi digital.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, mengatakan regulasi tersebut akan menjadi fondasi hukum yang kuat untuk memastikan kepatuhan pajak pelaku usaha digital, baik dalam maupun luar negeri.

“Regulasi ini akan mengatur jenis layanan digital yang dikenai pajak, mekanisme pemungutannya, serta dokumen yang perlu disiapkan pelaku usaha terkait kewajiban pajak digital,” ungkap Rosmauli, baru-baru ini.

Hingga 31 Maret 2025, penerimaan pajak dari ekonomi digital, termasuk pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), telah menyentuh angka Rp 34,91 triliun. Pemerintah sendiri telah menunjuk sejumlah pelaku usaha PMSE luar negeri sebagai pemungut PPN atas produk dan layanan digital yang dijual ke Indonesia.

Namun, sejumlah kalangan menilai masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum tergarap maksimal. Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, mendukung langkah DJP dan menekankan pentingnya evaluasi ambang batas penunjukan pemungut PPN PMSE.

“Ambang Rp 600 juta per tahun bisa jadi terlalu tinggi. Penurunan batas ini akan membuka ruang untuk menjaring lebih banyak pelaku digital skala kecil dan menengah yang selama ini luput dari radar pajak,” kata Ariawan.

Ia juga menyoroti empat sektor digital dengan potensi pajak besar namun masih belum digarap optimal:

  1. Aset Kripto: Meski sudah dikenai PPN dan PPh, kepatuhan pelaku pasar dinilai masih rendah.
  2. Peer-to-Peer (P2P) Lending: Kontributor pajak signifikan dengan penerimaan Rp 3,28 triliun per Maret 2025, dan bisa menjadi contoh bagi subsektor fintech lain seperti insurtech, regtech, hingga wealthtech.
  3. Ekonomi Gig: Dari pekerja lepas hingga layanan ride-hailing, sektor ini diperkirakan mampu menyumbang Rp 28–75 triliun per tahun jika dikenakan PPh 5–10%. Namun, pengawasan masih menjadi tantangan besar.
  4. Kecerdasan Buatan (AI): Ariawan menilai AI adalah frontier baru yang perlu cepat dipetakan oleh otoritas pajak untuk memastikan tidak ada potensi penerimaan yang terlewat.

Dengan lonjakan nilai transaksi digital dan kompleksitas jenis usaha yang terus berkembang, Ariawan mengingatkan bahwa pemerintah harus adaptif dan progresif.

“Kita tidak bisa lagi menunggu. Pajak digital adalah keniscayaan, bukan opsi,” tegasnya. (alf)

 

Oman Berlakukan Pajak Penghasilan Pribadi Mulai 2028, Pertama di Kawasan Teluk

IKPI, Jakarta: Pemerintah Oman resmi mengumumkan rencana pemberlakuan pajak penghasilan pribadi mulai tahun 2028. Kebijakan ini tercantum dalam dekrit kerajaan yang disampaikan pada Minggu (23/6/2025) dan dilaporkan oleh Kantor Berita Resmi Oman.

Pajak ini akan dikenakan sebesar 5 persen dan hanya berlaku bagi individu dengan penghasilan tahunan di atas USD 109.000 atau sekitar Rp1,76 miliar. Jumlah tersebut mewakili sekitar 1 persen populasi dengan penghasilan tertinggi di negara tersebut.

Langkah ini menjadikan Oman sebagai negara pertama di antara enam anggota Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) yang akan memungut pajak penghasilan pribadi. Negara-negara kaya minyak ini selama ini dikenal karena tidak mengenakan pajak penghasilan, sehingga menjadi magnet bagi para ekspatriat dan pekerja asing.

“Pengenaan pajak ini akan memperkuat stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar energi global yang fluktuatif,” kata Menteri Ekonomi Oman Said bin Mohammed Al-Saqri, seperti dikutip dari Associated Press (AP), Rabu (25/6/2025).

Al-Saqri mengungkapkan bahwa pendapatan negara dari minyak dan gas saat ini bisa mencapai hingga 85 persen dari total penerimaan publik, tergantung harga pasar. Maka dari itu, pajak penghasilan pribadi dinilai sebagai salah satu strategi diversifikasi sumber pemasukan negara.

Rencana ini merupakan bagian dari transformasi ekonomi jangka panjang Oman yang terangkum dalam Visi 2040. Sejak 2020, negara tersebut telah meluncurkan program reformasi fiskal guna menekan utang publik dan mendorong pembangunan sektor non-migas.

Meski belum jelas apakah negara GCC lainnya seperti Arab Saudi, UEA, atau Qatar akan mengikuti langkah Oman, Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan bahwa negara-negara di kawasan ini perlu mulai mengevaluasi skema pendapatan mereka, termasuk potensi pemungutan pajak baru.

Kebijakan pajak ini, menurut AP, sekaligus menjadi penanda pergeseran besar dalam kebijakan fiskal kawasan yang selama ini mengandalkan daya tarik bebas pajak sebagai strategi pertumbuhan ekonomi. (alf)

 

Kanwil DJP: Penerimaan Pajak NTB Tembus Rp1,07 Triliun per Mei 2025

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan tren positif. Hingga akhir Mei 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) NTB mencatat pendapatan pajak mencapai Rp1,07 triliun atau 29,15 persen dari total target APBN sebesar Rp3,68 triliun.

Kepala Kanwil DJP NTB, Samon Jaya, mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan terjadi dalam waktu satu bulan terakhir. “Pertumbuhan penerimaan dari April ke Mei 2025 melonjak 43,2 persen. Ini sinyal positif bahwa penerimaan tetap terjaga di tengah gejolak ekonomi nasional dan regional,” ujar Samon dalam konferensi pers di Mataram, Selasa (24/6).

Ia merinci bahwa pada April 2025, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp747,27 miliar. Angka ini kemudian melonjak Rp323,9 miliar dalam sebulan, hingga menembus angka Rp1,07 triliun di akhir Mei.

Dua jenis pajak utama menjadi penopang capaian tersebut. Pajak penghasilan (PPh) menyumbang Rp598,31 miliar atau 30,38 persen dari targetnya, sementara pajak pertambahan nilai (PPN) mencapai Rp244,83 miliar atau 15,47 persen dari target.

“Dominasi PPh dan PPN menunjukkan bahwa sektor-sektor produktif tetap menjadi tulang punggung ekonomi NTB dan berperan penting dalam menopang penerimaan negara,” jelas Samon, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/6/2025).

Selain itu, jenis pajak lainnya mencatatkan kontribusi sebesar Rp181,52 miliar. Adapun sektor kepabeanan dan cukai juga turut menyumbang: bea masuk sebesar Rp23,06 miliar, bea keluar Rp17,23 miliar, cukai Rp8,19 miliar, dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp40 juta.

Sementara itu, dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), NTB mencatatkan realisasi sebesar Rp331,71 miliar atau 53,46 persen dari target tahunan Rp620,53 miliar. PNBP paling dominan berasal dari jasa pelayanan pendidikan sebesar Rp139,42 miliar, diikuti pendapatan dari paspor (Rp13,51 miliar) dan penerbitan BPKB (Rp13,07 miliar).

Jika digabungkan, total realisasi pendapatan negara di wilayah NTB hingga 31 Mei 2025 mencapai Rp1,4 triliun atau setara 32,65 persen dari target keseluruhan APBN sebesar Rp4,3 triliun.

“Tren ini harus kita jaga bersama. Kolaborasi dan kepatuhan semua pihak sangat dibutuhkan untuk mengawal pemulihan ekonomi nasional, khususnya di NTB,” kata Samon. (alf)

 

 

DJP Kini Bisa Tetapkan Besaran Angsuran PPh Pasal 25, Ini Syarat dan Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki wewenang penuh untuk menetapkan besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang dianggap tidak melakukan penghitungan sesuai ketentuan. Kewenangan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, khususnya dalam Pasal 121 ayat (1).

“Apabila Wajib Pajak tidak melakukan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan penetapan besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak yang bersangkutan,” demikian bunyi pasal tersebut.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya otoritas pajak dalam memperkuat pengawasan serta memastikan kepatuhan perpajakan, terutama dalam penghitungan angsuran bulanan yang menjadi dasar penerimaan PPh.

65 Kondisi Khusus Dapat Diintervensi

Tak sembarang diterbitkan, keputusan penetapan tersebut hanya dapat dikeluarkan dalam kondisi tertentu. PER-11/PJ/2025 mengidentifikasi sebanyak 65 kondisi khusus yang dapat menjadi dasar intervensi DJP dalam penghitungan angsuran.

Beberapa di antaranya adalah:

• Wajib Pajak memiliki kompensasi kerugian.

• Penghasilan yang diterima bersifat tidak teratur.

• SPT Tahunan disampaikan melewati batas waktu yang ditentukan.

• Wajib Pajak mendapat perpanjangan penyampaian SPT.

• Terjadi pembetulan SPT Tahunan yang menyebabkan angsuran bertambah.

• Ada perubahan signifikan dalam kondisi usaha.

Ketentuan lebih rinci mengenai skema penghitungan dalam kondisi-kondisi tersebut telah diatur dalam Pasal 114 hingga Pasal 120 PER-11/PJ/2025.

Pelimpahan Wewenang ke KPP

Menariknya, DJP juga menetapkan pelimpahan kewenangan untuk menerbitkan keputusan ini kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Hal ini tertuang dalam Pasal 121 ayat (3) peraturan yang sama, sebagai bentuk desentralisasi pelaksanaan administrasi perpajakan.

Untuk mendukung implementasi di lapangan, PER-11/PJ/2025 juga menyediakan format keputusan penetapan dalam lampiran resminya, agar tidak terjadi kebingungan dalam penerbitan dokumen.

Penegakan dan Kepatuhan

Kebijakan ini memberi sinyal bahwa DJP semakin proaktif dalam menjaga kedisiplinan perpajakan. Wajib Pajak diimbau agar melakukan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 secara benar, terutama dalam menghadapi kondisi-kondisi khusus yang mempengaruhi kewajiban perpajakan mereka. (alf)

 

DJP Siapkan Regulasi Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah merampungkan regulasi baru yang akan mengatur secara komprehensif pajak atas transaksi digital. Langkah ini merupakan respons strategis terhadap pertumbuhan pesat ekonomi digital serta bagian dari upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan rasio perpajakan nasional.

“Perlu kami sampaikan bahwa saat ini Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan regulasi terkait pajak digital,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Senin (23/6/2025).

Regulasi yang sedang disusun ini akan mencakup sejumlah ketentuan krusial, termasuk pengenaan pajak atas berbagai jenis transaksi dan layanan digital, skema pemungutan, serta jenis dokumen dan informasi yang wajib disampaikan oleh pelaku usaha digital.

Kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian hukum sekaligus memperkuat pengawasan terhadap aktivitas digital yang selama ini berkembang sangat dinamis.

Pemerintah sebelumnya telah menunjuk pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) luar negeri sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan produk dan layanan digital kepada konsumen di Indonesia. Hingga 31 Maret 2025, penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun.

Rinciannya, PPN dari transaksi PMSE menyumbang Rp27,48 triliun, diikuti oleh pajak aset kripto sebesar Rp1,2 triliun, pajak dari penyelenggara financial technology (fintech) seperti P2P lending sebesar Rp3,28 triliun, serta pajak SIPP dari transaksi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tercatat sebesar Rp2,94 triliun.

Jumlah pelaku usaha digital luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN juga terus bertambah. Hingga Maret 2025, tercatat 211 entitas telah ditunjuk, dengan 190 di antaranya aktif memungut dan menyetorkan PPN.

Salah satu pemungut, Zoom Communications, Inc., mengalami pembaruan data administratif dalam sistem DJP.

Regulasi baru yang tengah disiapkan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha digital, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi ekonomi digital. (alf)

 

DJP Keluhkan Minimnya Partisipasi Wajib Pajak Dalam Kegiatan Edukasi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menghadapi tantangan klasik: minimnya partisipasi Wajib Pajak dalam kegiatan edukasi perpajakan, meskipun topik yang diangkat menyangkut langsung insentif yang dapat meringankan beban usaha mereka.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kanwil DJP Jawa Tengah II, Herlin Sulismiyarti, mengungkapkan bahwa upaya edukasi telah dilakukan secara konsisten dan menyasar berbagai kalangan. Sayangnya, tingkat keterlibatan peserta masih jauh dari ideal.

“Undangan kami sebar ke 100 Wajib Pajak, tapi yang hadir di Zoom atau nonton lewat YouTube bisa dihitung jari,” ujarnya, dikutip, Selasa (24/6/2025).

Ironisnya, materi yang dibahas sering kali mencakup insentif fiskal dan regulasi baru yang bisa memberikan manfaat besar bagi pelaku usaha, mulai dari pedagang emas, pemilik toko bangunan, hingga profesi dokter.

Beragam kanal komunikasi sudah dibuka, mulai dari media sosial seperti Instagram dan Facebook, hingga program interaktif seperti Sapa Warga (Swarga) dan Belajar Asik Soal Perpajakan (Balapan). Namun, tanpa antusiasme dari para penerima manfaat, edukasi menjadi kurang efektif.

“Edukasi itu dua arah. Kami sudah konsisten memberikan materi, tapi Wajib Pajak juga perlu meluangkan waktu dan menyadari pentingnya informasi ini bagi kelangsungan usahanya,” tambah Herlin.

Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada efektivitas penyaluran insentif perpajakan yang sebenarnya dirancang untuk membantu sektor usaha tetap bertahan dan tumbuh. DJP pun berharap pelaku usaha dapat lebih proaktif dalam mencari tahu informasi yang berkaitan langsung dengan kewajiban dan hak perpajakannya. (alf)

 

id_ID